Aku memang pulang dengan kekalahan. Pulang sebagai bukan siapa-siapa. Dalam usia yang sudah tidak muda lagi, apa yang bisa kulakukan selain menjadi beban orang tua? Aku beruntung masih punya tempat berteduh setelah hujan berbulan-bulan yang menguyupkan. Aku beruntung masih punya tempat kembali, sedangkan teman-teman satu divisiku di sana, entah bagaimana.
“Namamu Gagah Berani karena Ayah ingin kamu gagah berani,” kata ayahku dahulu, ketika kami duduk di sebuah warung mi ayam pinggir kampung, ketika aku masih SMP, ketika hubungan kami tidak serenggang sekarang.
“Ayah ingin aku jadi tentara atau polisi?”
“Tidak, Nak. Ayah ingin kamu bebas memilih jadi apa saja, yang penting kamu selalu berani, seperti namamu ini. Ayah ingin kamu gagah berani, seperti seseorang yang membuat ayahmu menamai kamu dengan nama ini,” ayahku lantas tersenyum tipis, memandang ke luar tirai bambu warung mi ayam, mencari-cari sesuatu di celah-celahnya, bisa jadi kenangan.
“Seorang pahlawan?”
“Bukan, seorang yang biasa saja. Ayah agak lupa-lupa ingat namanya. Dia seorang perempuan yang mengubah sejarah demi orang-orang yang mencintainya.”
Kini, dalam usiaku yang sudah 31 tahun, kadang terbersit pikiran jangan-jangan perempuan itu adalah cinta pertama ayah. Cinta tersembunyi yang ditimbun dalam kedalaman jutaan inci, karena ayah tak pernah mengungkapkan apa pun lagi soal perempuan tadi di depanku, atau di depan ibuku.
Tapi ayah, aku tampaknya tidak bisa menjadi gagah berani seperti perempuan yang tidak kukenal namanya itu.
Aku gagal bertarung di kota besar yang keras itu, pulang tanpa membawa apa-apa setelah 2 tahun berjuang sia-sia.
Aku datang kembali ke rumah ini, bukan untuk melepaskan rindu kepada ibu pada setiap lebaran, bukan pula untuk menyantap mi ayam mengenang kedekatan yang hilang dari sosok ayah yang semakin keras. Aku datang bukan untuk hal-hal itu, tetapi berlari kabur dari kenyataan.
Penerbit tempatku bekerja kolaps hanya 3 bulan setelah pandemi Covid-19. Perusahaan seperti penerbit tersebut hanya bisa mengandalkan pemasukan dari penjualan buku. Ketika semua toko buku diutup demi pencegahan menularnya virus SARS Cov-2, apa yang bisa diperbuat? Pameran buku di berbagai kota pun tiada. Awalnya, yang terjadi adalah pengurangan gaji hingga 50 persen. Namun, akhirnya pemangkasan pegawai harus dilakukan. Divisiku, yang paling tidak berguna untuk dipertahankan, disikat habis. Tidak terkecuali aku yang ketua divisi. Aku masih ingat kalimat bos seminggu lalu, “Gagah, sementara istirahatlah dulu, cari ide-ide segar untuk buku berikutnya. Siapa tahu di kotamu yang lengang akan ada inspirasi. Kami pasti akan menghubungimu secepatnya.”
Mudah saja mengetahui seseorang tengah berbohong atau tidak, terutama seorang lelaki. Untuk menutupi kebohongannya, ia pasti akan mengatakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Semakin besar kebohongan yang dibuatnya, janjinya, kalimatnya, akan semakin mustahil mewujud. Tapi, bosku bisa jadi tahu bahwa aku tahu dia tengah berbohong. Jadi, selesailah begitu saja. Dia tidak akan pernah menghubungiku lagi.
Butuh waktu seminggu bagiku untuk bisa pulang ke kota kecil ini. Selain karena mengurus banyak berkas dan syarat perjalanan, aku harus mengumpulkan nyali. Bagaimana pendapat ayah-ibuku? Bagaimana dengan warga kampung tempatku bernaung? Apa mereka akan mengecapku gagal? Apa aku bisa hidup menanggung malu setelah ini?
Aku, Gagah Berani, yang selama ini dikagumi dan dijadikan contoh oleh pemuda-pemuda di sekelilingku. Aku, Gagah Berani, yang ketika bertolak ke kota besar itu, ditangisi, sampai-sampai Pak Dukuh berkata, karang taruna padukuhan tampaknya akan mati suri dalam waktu lama. Aku, Gagah Berani, yang beberapa hari sebelum keberangkatan ke kota besar itu, menolak untuk dimasukkan sebagai salah satu calon pamong desa, meski ketika itu beberapa petinggi kampung sepakat mendorongku. Aku, Gagah Berani, yang 2 tahun lalu demikian pongah, yakin masa depanku tidak lagi di tempat ini, sekarang kembali. Kembali ke Gowangan.
“Bapak Mas Gagah sudah nggak ngisi khotbah Jumat lagi ... nggak berminat untuk menggantikan beliau, Mas? Sekarang yang ngisi Jumatan kebanyakan dari orang luar,” Pak Yusuf, penjual mie ayam langganan kami, berkata demikian dalam kunjungan keempatku ke warung ini. Bukan untuk makan di tempat, hanya sekadar pesan saja untuk dimakan di rumah. Di warung mi ayam ini, seperti di warung makan lain, ada poster dan stiker imbauan protokol kesehatan yang dikeluarkan kabupaten.
“Wah, nggak berani, Pak. Belum cukup ilmunya,” kataku membenahi letak masker agar benar-benar menutup hidung dengan sempurna.
“Kalau Mas Gagah yang putranya Pak Dahlan saja bilang belum cukup ilmu, bagaimana dengan yang lain dong? Berarti nggak pantes semua, he he he,” Pak Yusuf dengan telaten menuangkan saus merah dari botol ke plastik kecil, tidak mencampurkannya ke plastik berisi mie ayam.
Ayahku sejak dulu dikenal sering mengisi pengajian di berbagai kampung, tidak hanya di desa kami, tetapi di desa-desa lain sekecamatan. Saat kecil, aku sering menggantikan dia kalau ada kuliah tujuh menit saat Ramadan. Namun, setelah kuliah, sejak hubungan kami merenggang, segalanya jadi berbeda. Ayahku kecewa padaku, yang dari dulu diyakininya akan mengikuti jejaknya. Ayahku kecewa padaku, yang kini menyeberang terlalu jauh. Jika dia ada di kutub utara, aku di kutub selatan.
Kembali ke kampung berarti kembali menjalani kebiasaan lama yang mulai kulupakan. Hanya 2 tahun tinggal di kota besar yang mengizinkanku untuk ‘membunuh orang lain’ asal bisa makan, sudah cukup untuk membentuk jiwaku jadi lain. Aku tidak menyebut bahwa kampung lebih baik daripada kota, atau sebaliknya.
Namun, setelah terbiasa beradaptasi ke dalam situasi yang sama selama lebih dari 730 hari, aku jadi asing di sini. Caraku bicara, caraku berpikir, caraku melihat orang-orang, tak lagi sama.
Ketakutan akan perubahan itu yang menjadi salah satu faktor merenggangnya hubunganku dengan ayah. Kami bertengkar hebat ketika aku menerima tawaran penerbit terkenal di kota besar tersebut. Tawaran yang mungkin tidak akan datang lagi pada kemudian hari. Dia ingin aku tetap menjadi aku. Dia ingin aku tetap menjadi Gagah yang bisa dijangkaunya. Dia tidak ingin aku jadi orang lain.
“Bukankah masih banyak penerbit di kota kita ini? Kenapa kamu berkeras ke kota itu? Ayah sudah bilang, kota itu buruk untuk perkembangan jiwamu! Sudah berapa teman seperjuangan ayah dulu yang ketika ke sana, berubah jadi makhluk lain, makhluk yang tidak bisa dijelaskan masuk jenis apa karena menghalalkan segala cara untuk hidup. Ayah nggak mau kamu begitu, Gagah.”
Kubilang kala itu, ayah hanya takut berpisah denganku. Kubilang itu hanya kecemasan berlebihan ayah setelah anaknya dalam 28 tahun hidup bagai katak dalam tempurung. Kubilang cara berpikir ayahku itu akan mematikan kreativitasku. Sebagai seseorang yang berkutat di kota kecil ini hampir 3 dasawarsa, aku merasa mampu untuk berbuat lebih, menjangkau hal-hal tinggi di luar sana. Aku merasa ayah menghambatku. Semakin ia berceramah, semakin kuat pula keinginanku untuk pergi membuktikan omongannya hanyalah kata-kata kosong belaka.
Tinggal di kota itu bagai neraka. Lebih tepatnya aku tidak siap. Terbiasa hidup berbasa-basi, tidak to the point, dan memilih jalan ketenangan membuatku tersiksa. Orang-orang lain, termasuk rekan kerjaku, tak segan unjuk gigi, sekaligus tunjuk hidung jika ada yang bisa dipersalahkan. Kehidupan saling sikut saling tusuk, dan saling memangsa harus kunikmati. Lambat laun aku jadi bagian mereka juga.
“Sejak kapan kamu jadi nggak salat? Apa itu model hidup di kota raksasa yang kamu kejar-kejar?” itu ucapan Ayah pada libur lebaran pertamaku kembali ke rumah. Kudengar sudah 9 bulan dia tidak mau lagi mengisi khutbah jumat di masjid kampung, dengan dalih ingin “pensiun” dan lebih banyak bermuhasabah.
“Aku membesarkanmu bukan untuk jadi orang semacam ini. Apa artinya uang-uang yang kamu kirimkan setiap bulan itu?” itu ucapan Ayah pada libur lebaran keduaku kembali ke rumah. Ucapan yang mencipakan pertengkaran hebat kami berdua, hingga ibu menangis dan berkata “sudah, sudah, sudah”.
Hidup menjadi seorang ayah memang berat, apalagi jika umurmu panjang, dan kau punya anak laki-laki. Awalnya, ketika anakmu masih kecil hingga remaja, kau adalah pahlawannya. Kau jadi panutannya. Kau jadi orang yang selalu dicarinya. Namun, setelah anakmu mendewasa, kau akan jadi musuhnya, kau akan jadi sosok yang bayang-bayangmu sekalipun najis baginya. Kau akan jadi orang yang selalu dihindarinya. Dan dengan kesimpulan demikian, bisa jadi takdirku kelak juga serupa: dengan syarat jika aku menikah, jika aku punya anak.
----o0O0o---
“Ada lowongan jadi kamituwa dan kaur pangripta di desa kita tahun depan Mas, Mas Gagah ikut saja, biar kita-kita dari padukuhan Gowangan ada wakilnya,” kata Pak Yusuf sembari membuka panci besar tempat mie direbus. Uap air keluar dari sana, membubung tinggi ke atap warung yang berwarna kelam.
“Pak Suwignyo dan Pak Darwanto sudah mau pensiun ya Pak?” tanyaku basa-basi.
“Iya, Mas. Sekarang balai desa isinya bapak-bapak muda semua. Malah tahun kemarin, Mas Wahid terpilih jadi Carik. Mas Wahid temannya Mas Gagah dulu di karang taruna desa. Makanya, kalau Mas Gagah maju, pasti desa ini makin maju,” Pak Yusuf selalu bicara dengan semangat, penuh optimisme. Selalu seperti itu. Selalu selama belasan tahun ini.
“Nggak kepikiran, Pak ...”
“Ya, sekalian mencari jodoh juga, Mas. Ada itu, yang masih single, cantik, pintar, dan sedang banyak diobrolkan di desa kita. Mbak Nirwana namanya.”
Nirwana? Nama yang unik. Tapi, untuk mengenal perempuan saja saat ini aku tidak berminat. Ini hari ke-29 aku resmi tidak bekerja apa-apa. Sudah mendaftar kemana-mana, menghubungi kawan-kawan penulis, dan kolega penerbit di kota ini, tetapi tidak ada yang menyambut. Teman-teman dekatku hanya berkata “diusahakan”. Dalam pandemi Covid-19 seperti ini, ketika segala pengeluaran harus dihemat, menambah karyawan baru jelas bukan pilihan terbaik.
Faktor lain, aku juga baru saja merasakan pedihnya berhubungan. Selama setahun awal di kota besar itu, aku menjalin cinta dengan Laras, seorang kasir minimarket yang letaknya dekat dengan kantor tempatku bekerja. Namun, dia berselingkuh. Di belakangku berbulan-bulan. Luka diduakan, hanya menjadi batu loncatan, lantas dicampakkan begitu saja, ternyata lama pulih. Aku kehilangan rasa dengannya, tapi lebih jauh, aku juga seperti mati rasa untuk semua yang mungkin datang menyapa.
----o0O0o---
Sudah 2 bulan berlalu tinggal di tempat ini tanpa penghasilan tetap. Tabunganku mulai menipis. Aku makan dengan uang pensiunan ayah, sosok yang masih saja membenciku dan kubenci. Aku mulai bisa mengais uang dari proyek yang ditawarkan teman, tetapi tentu itu sama sekali tidak menjanjikan, tidak dapat diandalkan, dan tidak mungkin akan terus-terusan.
Dalam suasana penuh ketidakpastian semacam itu, Wira, teman sekampungku, berkunjung. Usianya lebih muda dariku. Jika aku 31 tahun, Wira baru 26 tahun. Dia baru saja diangkat sebagai dukuh Gowangan, sekitar setengah tahun lalu, menggantikan ayahnya yang meninggal mendadak.