Sayonara, Tuan Fumikiri

Fitra Firdaus Aden
Chapter #7

Sidang Tuan Fumikiri

 

Ruang pengadilan yang sempit ini dijejali puluhan orang yang terus bergumam sedari tadi. Mereka yang berdesak-desakan di luar sana lebih banyak lagi. Jika tidak ada prajurit militer yang bertugas, semua akan merangsek masuk untuk menyaksikan hukuman apa yang akan diberikan kepada Tuan Fumikiri. Iya, Tuan Fumikiri yang terbukti bersalah melanggar aturan dunia ruh.

Sosok yang disebutkan namanya itu kini duduk di kursi terpidana. Tepat di tengah ruangan berbentuk lingkaran ini. Tangannya diikat ke belakang dengan rantai khusus yang tak mungkin dilepas lagi. Punggungnya membungkuk, menatap ke arah meja hakim yang masih kosong belum terisi. Setelan jas biru gelapnya tampak kumal. Celana kainnya juga demikian. Tepat di kedua lutut celana, tampak ada robekan-robekan panjang, dengan warna biru yang pudar.

Hanya satu yang tidak berubah: wajahnya yang tersenyum. Makhluk berkepala palang pintu kereta api itu seakan lupa dia sekarang menjadi pesakitan. Atau mungkin sengaja lupa. Sengaja melupakan ini adalah hari penghakiman. Hari dia akan dijatuhi hukuman.

"Tuan Fumikiri sudah menyebabkan 2 kematian lagi di dunia sana," seseorang berbisik. Bapak-bapak berkumis persegi panjang seperti Hitler menyodorkan surat kabar yang baru saja dibaca kepada kawan di sebelahnya.

"Apa dia sudah gila? Dia bisa dihukum dengan hukuman paling kejam," kata yang diajak bicara. Bapak-bapak berjenggot kambing dengan setelan jas rapi warna hitam, baju putih, yang dipadu dengan dasi kupu-kupu.

"Biasanya dia hanya bisa menyebabkan 1 kematian untuk 1 nama. Sekarang 2. Kalau bisa sampai 7 kematian untuk satu nama, akan ada malapetaka yang menimpa kita semua," ibu-ibu gemuk, yang dari tadi mengunyah apel hijau, mulai bersuara.

"Kalau bisa menyebabkan 2 kematian, berarti di antara penduduk Centro Fia ada yang bekerjasama," temannya urun komentar. Seorang ibu yang bergaya rambut seperti Madame de Pompadour. "Soalnya, hanya mereka yang tahu seluruh nama yang ada di dunia sana."

"Wah, yang bekerjasama dengan Tuan Fumikiri bisa terkena hukuman lebih berat lagi," ibu-ibu gemuk pengunyah apel meningkahi.

"Masuk Neraka?" komentar sang Madame de Pompadour palsu.

"Ssstt .... jangan keras-keras!" Bapak-bapak berkumis Hitler menepuk mereka berdua, "Saya tahu siapa yang bekerjasama dengan Tuan Fumikiri. Dia memang salah satu petugas pencatat di Centro Fia. Jabatannya tinggi sehingga dia tidak dibawa ke ruang pengadilan ini."

"Siapa?" Madame de Pompadour palsu berbisik pelan.

"Tuan Mim!"

"Astaga," Nyonya pengunyah apel kaget, tidak percaya nama itu yang disebut Pak Hitler. Apelnya bekas sekian gigitannya jatuh menggelinding ke lantai, melewati batas area penonton siang, lalu berhenti tepat di depan pintu masuk hakim.


"Semua hadirin diminta diam," terdengar suara perempuan yang menggema di seluruh ruangan. Penonton sidang tiba-tiba saja diam membisu. Mereka bergerak merapikan barisan. Yang tadinya duduk, berdiri. Yang tadinya masih membaca koran, melipatnya. Yang tadinya melirik kesana-kemari, langsung fokus ke pintu masuk.

"Hadirin diminta menyanyikan lagu wajib Bangsa Ruh," suara perempuan yang sama kembali terdengar. Semua orang menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Sesaat berselang, terdengar lantunan musik yang sudah akrab di telinga mereka. Mulut para penonton sidang terbuka, mengikuti irama.

 

Dengan tangan kananmu, Kau genggam kenyataan

Dengan tanganmu yang lain, Kau pegang akal dan perasaan.

Kanyalakan cinta jauh di dalam setiap ruh

Kau timbang segalanya dengan ketetapan ukuran

Di dalam kegelapan yang pekat dan gelap,

Tiada cahaya terang selain engkau Penegak Keadilan

 

Siapa yang tahu arti hidup di sini

Siapa yang tahu arti hidup di sana

Siapa yang tahu esok dan kemarin

 

Kami kelak 'kan mati suatu hari nanti,

Segala tawa 'tuk Engkau yang abadi

Segala derita 'tuk Engkau yang abadi

Biar matahari terbit ke dunia fana ini

 

Lihat selengkapnya