Aku mengenalnya sejak kecil.
Aku yang memanggilnya ke dunia ini.
Hari itu adalah salah satu hari paling sedih dalam hidupku, bahkan hingga saat ini. Melebihi pagi pertama selepas Laras mencampakkanku. Melebihi pahitnya jam kedua usai aku resmi menganggur. Melebihi beberapa detik setelah aku melangkahkan kaki turun dari bus yang mengantar kembali ke kota ini.
Usiaku sekitar 8 tahun ketika aku dan Tuan Fumikiri saling berbicara untuk pertama kali. Saat itu, aku yang menangis berlari ke perlintasan rel kereta api. Letaknya di perbatasan dusun kami. Di ujung jalanan panjang yang sepi. Dahulu, jalannya tidak sebaik sekarang. Meski sudah beraspal, jalan itu tidaklah halus, penuh lubang khas jalanan Indonesia.
Aku yang berlari, jatuh. Lututku berdarah. Ketika itulah aku merasa asing. Aku seperti berada di dekat palang pintu perlintasan kereta api itu, sekaligus juga berada di tempat lain. Aku bagai berada di dua dunia yang menjadi satu.
Meski siang menjelang sore, tidak siapa-siapa di sana. Aku merasa, jika berteriak sekencang apa pun, meminta pertolongan sebanyak apa pun, akan percuma. Tidak ada orang lain yang akan membantu.
Dalam keadaan putus asa, aku berkhayal jika palang pintu perlintasan itu hidup. Andai dia jadi manusia, maka selamatlah aku. Benar saja, dalam hitungan detik, palang pintu itu berubah wujud. Seorang lelaki berjas biru gelap, berdandan rapi, dan berdasi. Hanya, kepalanya adalah palang pintu perlintasan kereta api. Matanya adalah dua lampu yang berkedap-kedip. Di ujung kepalanya, ada toa kecil, yang aku tidak bisa membedakan apakah itu jadi topinya, atau otaknya.
"Hi hi hi, ada apa Tuan Mim? Nama saya Fumikiri," katanya mengulurkan tangan, menarikku bangkit.
"Ah, saya bukan Mim, nama saya Gagah. Gagah Berani," aku masih terkesima dengan mata merah besarnya yang terus-menerus berkedip.
"Ya, tentu saja nama Anda di dunia memang Gagah Berani. Tapi, apakah itu nama Anda di dunia yang lain? Hmm, anak kecil seperti Anda mungkin lebih bisa memahami ini daripada orang dewasa," dia berjongkok, mengamati luka di lututku.
Aku tidak memikirkan pernyataan Tuan Fumikiri itu. Melewatkannya, untuk memahaminya dengan cara berbeda sekian tahun berselang.
"Kenapa Tuan bersedih? Menangis itu tidak baik, lho."
Dia bertanya hal yang tidak mungkin ditanyakan ayahku. Hal yang tidak mungkin kusampaikan kepada ayah pula. Sebuah rahasia besar anak laki-laki yang mulai mengenal rasa suka.
“Mbak Juni meninggal,” kataku pendek.
Tuan Fumikiri mengusap-usap dagunya, diam sejenak. Dia seperti memantau semua yang ada di diriku, bukan tubuhku, tetapi diriku yang ada di tubuhku.
“Hmmm, Nona Juni yang sering berkirim surat kepada Tuan?”
Seharusnya aku kaget bagaimana dia bisa tahu hal seperti itu. Tapi, sisi lainku berkata, wajar jika Tuan Fumikiri tahu. Aku merasa, dia memang ada di luarku, mewujud sebagai orang asing yang baru pertama kali ini bertemu. Namun, dia sebenarnya ada di dalamku. Tuan Fumikiri mengetahuiku karena dia adalah bagian dariku.
“Iya, Mbak Juni. Kenapa semua orang harus meninggal?”
Tuan Fumikiri tersenyum, lalu mendesah kecil.
“Iya, benar, Tuan. Kenapa semua orang harus meninggal. Kenapa semua orang harus meninggalkan kenangan. Kenapa semua orang harus bersedih. Apa kita tidak boleh terus bahagia? Apa Tuan tidak bisa terus senang seperti waktu menerima surat Nona Juni? Apa mata Tuan tidak boleh terus berbinar-binar seperti saat membaca kisah demi kisah Nona Juni? Untuk apa kita mengalirkan air mata?”
Tuan Fumikiri mulai mengoceh, mulai bertanya akan hal-hal yang tidak cukup kumengerti saat itu. Namun, pertanyaan-pertanyaannya menenangkanku. Lalu, tiba-tiba saja aku mulai tertawa. Tiba-tiba saja aku menyeka air mata. Tak berapa lama kami terbahak-bahak berdua. Hanya berdua. Hanya berdua di dekat perlintasan kereta api yang sepi sunyi itu.
“Fumetsu no Rockstar? Nona Juni bilang begitu kepada Tuan Mim?”
“Iya, saya tidak tahu artinya,” kataku santai, mulai terbiasa dengan panggilan Tuan Mim dari Tuan Fumikiri.
“Itu bahasa Jepang, Tuan. Artinya bintang rock yang abadi.”
Oh ... Mbak Juni memang menyukai hal-hal berbau Jepang. Bagiku yang saat itu masih belum bisa membedakan apa itu anime dan apa itu kartun, Mbak Juni unik. Bagiku yang masih mengira Power Rangers adalah bagian dari Super Sentai, Mbak Juni adalah pembuka wawasan. Dari dia aku bisa melihat dunia yang sama sekali berbeda.
----o0O0o---
Pertemuan pertama kami terjadi di kereta api.
Pertemuan itu juga jadi perjumpaan terakhirku dan Mbak Juni. Sampai dia meninggal, kami tidak pernah bertatap muka lagi.
Jika membandingkannya dengan dunia saat ini, ketika engkau bisa dengan mudah melakukan telepon video dengan seseorang, kala engkau bisa mengirim surat dan menerima balasan hanya dalam hitungan detik, dunia pada pertengahan 1990-an mungkin adalah neraka yang sama sekali berbeda. Atau mungkin justru surga?
Seseorang mesti menunggu 3 hari hingga seminggu agar suratnya terkirim ke alamat. Butuh waktu 2 kali lipat agar ia bisa menerima surat balasan, andai langsung dibalas. Seseorang tidak dapat melihat ekspresi orang yang disuratinya. Tidak dapat pula mengamati wajah ketika orang tersebut membalas suratnya. Dibandingkan dunia sekarang yang serbapasti, segalanya tampak lebih abu-abu pada masa lalu. Namun, mungkin menebak-nebak, menerka, membayangkan, berkhayal, berjudi, hingga bertaruh adalah kekuatan dasar manusia.
Aku bertemu Mbak Juni dalam perjalanan naik kereta api ke rumah nenek. Perjalanan naik kereta api yang lagi-lagi berbeda dengan saat ini. Toilet gerbong yang bau pesing, tiket kereta warna merah muda yang dilubangi petugas, pedagang asongan yang naik turun, dan kereta yang nyaris berhenti di setiap stasiun yang dilewati. Oh iya, ada satu lagi: keluarga yang menyiapkan koran untuk dijadikan alas duduk lesehan di lantai gerbong.
Aku duduk satu kursi dengan ayah dan ibu. Sudah jadi kebiasaan, aku memilih duduk di bagian dekat jendela untuk melihat pemandangan. Tepat di depanku, ada seorang mbak berkacamata tengah membaca komik. Ah, manga. Dialah Mbak Juni. Bagiku yang biasa membaca komik dengan menyewa di rental seharga Rp300, kesannya Mbak Juni keren sekali.
Tapi, aku juga sibuk dengan urusan sendiri: mencatat nama-nama stasiun yang dilewati kereta dari kotaku hingga kota nenek. Mulai dari Rewulu, Sentolo, Wates, Kutoarjo, Prembun, Kutowinangun, sampai Kebumen. Sampai kemudian aku nyaris melewatkan satu stasiun. Ketika itulah Mbak Juni berkata, "Sumpiuh namanya, Stasiun Sumpiuh."
"Makasih Mbak," kataku bersemangat.
"Sama-sama," dia menjawab ramah, "tugas sekolah ya?"
"Bukan, pengen tahu saja."
Dia tertawa. Aku merasa punya teman baru. Kami mengobrol. Jika sampai sebuah stasiun, pembicaraan terputus sejenak. Setelah kutuliskan nama stasiun di buku, obrolan berlanjut. Hingga akhirnya ketika melewati Linggapura, aku bertanya bolehkah aku mengirim surat kepadanya. Mbak Juni tertawa dan mengulurkan tangan, "Sini, Mbak tuliskan alamat Mbak di halaman paling belakang."
Setelah itu, ketika kami turun di Stasiun Ketanggungan, sedangkan Mbak Juni melanjutkan perjalanan ke kota besar itu, aku diceramahi ayah dan ibu, disebut tidak sopan. Telinga kanan dan kiriku mendengar, tetapi telinga batinku tidak.
Usai liburan di rumah nenek, aku menyurati Mbak Juni. Aku yang baru kelas 3 SD, sedangkan Mbak Juni yang siswa SMA hendak melanjutkan kuliah. Bukan masalah. Dia membalas suratku. Menceritakan hari-harinya setelah pertemuan kami itu. Dia menerimaku. Dia menghargaiku. Dia menarikku, mungkin tidak sengaja, ke dalam medan magnetnya.
Mungkin Mbak Juni adalah cinta pertamaku. Dan cinta pertama yang tercipta dari cinta pandangan pertama pula. Mungkin juga tidak demikian. Yang bisa dipastikan, sampai 2 tahun berikutnya, kami saling berkirim surat. Nyaris tanpa putus. Hingga, mendekati pertengahan 1998.
Minggu-minggu itu, aku hanya tahu ada gejolak besar di kota besar itu. Kami yang ada di daerah, mungkin karena aku masih bocah, tidak merasakan keresahan apa-apa. Hanya, suatu malam, ayahku menyodorkan kertas karton dan spidol snowman, aku lupa warnanya. "Gah, tulis. Milik Pribumi. Mau Ayah tempel di pagar rumah. Buat jaga-jaga."
Dalam 4 bulan berikutnya, aku mengirim surat hingga 4 kali lagi ke alamat Mbak Juni, tetapi tidak kunjung mendapatkan balasan. Aku patah hati. Sahabat penaku satu-satunya bagai sudah tidak peduli lagi. Nilai-nilai ulanganku turun drastis. Sampai kemudian, ada surat balasan. Namun, hatiku bagai dicabik-cabik.