Juli Nirwana Inggil Prameswari
Lahir: Jakarta, 21 Juli 1998
Apakah di dunia ini ada kebetulan? Apakah aku hanya menarik garis dari dua titik yang sebenarnya tidak berhubungan? Anak ini, anak yang memiliki inisial J ini, lahir pada tahun yang sama dengan meninggalnya Mbak Juni. Anak ini, yang aroma tubuhnya mengingatkanku pada kenangan masa lalu, datang ke desa ini, tepat ketika aku pergi ke kota besar itu. Apakah kami memang ditakdirkan untuk bertemu, untuk saling mengenal? Apakah dua tahunku ke Jakarta itu adalah tahun-tahun pengujian semata? Apakah dua tahunnya ke desa ini adalah tahun-tahun pencarian juga? Apakah dia masih sendiri? Apakah dia terlahir dengan ingatan yang dititipkan oleh Mbak Juni, bahwa dia dan aku harus bertemu, entah di mana kelak dan entah kapan nanti?
Lebih dari 20 tahun aku terobsesi dengan seseorang, menikmati obsesi itu, merawatnya bahkan sampai tidak mau hilang, lalu tiba-tiba dalam perjumpaan yang terjadi begitu saja, aku terobsesi dengan orang lain.
Benar kata Laras, aku memang memuakkan. Aku hidup dalam mimpi samar-samar yang kubangun sendiri, menyeret orang lain untuk masuk ke mimpi itu, lalu menjadikan orang itu sebagai pion untuk membuat mimpiku berakhir bahagia. Padahal, mimpi tidak pernah punya akhir. Mimpi tidak pernah punya ujung.
----o0O0o---
“Silakan Mas Gagah, dimakan. Hari ini buat Mas Gagah dan Mbak Nirwana saya kasih diskon 100 persen alias gratis,” Pak Yusuf menyodorkan semangkuk mi ayam munjung di depanku. Ia tersenyum licik penuh kemenangan. Kami dijebak.
Nirwana, Inggil, Juli, atau siapa pun namanya itu, duduk gelisah di depanku. Jika berupaya menebak kronologi sebenar-benarnya, ini pasti bermula dari Inggil yang hendak memesan mi ayam untuk sang paman, Pak Arab. Setelah itu, Pak Yusuf mempersilakannya duduk di sudut sini.
Tampaknya, begitu Inggil duduk, Pak Yusuf mengirim pesan Whatsapp kepadaku, berdalih butuh bantuan cepat. Aku yang mengira ada apa-apa, bergegas kemari. Namun, sampai di sini, Pak Yusuf langsung berkata, “Eh Mas Gagah. Iya Mas, sesuai pesanan tadi kan? Silakan, silakan, coba duduk di sana Mas. Eh di sebelah Mbak Nirwana saja.”
Untuk seseorang seperti Inggil, perempuan cantik yang sudah lebih dari 20 tahun, trik semacam ini tentulah sudah bisa ditebak. Aku yakin dia sudah berkali-kali menolak lelaki yang datang berbagai rupa. Karena itu, keputusannya untuk diam di sini adalah bom waktu yang tidak bisa kutebak. Antara dia memang tertarik denganku, atau dia hendak menelan kami berdua –aku dan Pak Yusuf—bulat-bulat.
Uap air masih terlihat di depan mataku saat dia berbicara dari balik maskernya.
“Menurut saya, pertemuan model ini salah.”
Benar, tanpa basa-basi langsung membunuhku.
“Pertemuan ini berbahaya Pak, karena Anda adalah panitia pemilihan lurah, sedangkan saya adalah tim sukses salah satu bakal calon lurah.”
Aku tidak merancang pertemuan ini! Ingin kuberkata seperti itu, tetapi sama saja dengan menyalahkan Pak Yusuf. Itu bukan tipe penyelesaian masalah ala diriku.
“Tunggu ...” hanya itu yang keluar dari mulutku. Lantas semua beku.
“Kalau misalnya Bapak ada keperluan dengan saya, akan lebih baik jika pesan elektronik saja,” dia bangun dari duduknya, meninggalkanku begitu saja untuk berjalan tenang, sangat tenang ke arah Pak Yusuf. Dia bahkan mungkin menganggapku tidak ada, atau tidak lebih berarti daripada uap air yang masih mengepul di mangkuk mie ayamku. “Berapa Pak Yusuf?”
Suara yang tidak ada medhok-medhoknya sama sekali. Aku seharusnya bisa tidak terima dengan caranya yang sengak ini: penghakimannya yang terlalu cepat, tidak adanya kesempatan bagiku untuk bicara, dan lagaknya yang bagai bos besar di depanku yang layaknya karyawan masuk hari pertama. Namun, entah mengapa aku tak menjawab, tak sakit hati, dan tak mengejarnya pergi.
Yang kudapatkan justru kelegaan. Kelegaan aneh yang tidak dapat dijelaskan. Kepuasan yang seharusnya tidak terjadi. Bukankah sikapnya itu berarti dia ingin membuat jarak denganku? Bukankah caranya bicara itu, meng-Anda-Anda-kan aku berarti dia tidak mengenalku? Bukankah keangkuhannya itu berarti dia sama sekali bukanlah kepingan atau irisan Mbak Juni, jauh dari yang kukhayalkan? Tapi, ini memang janggal. Rasa lega dan sakit hati itu menyatu, bercampur, menciptakan rasa baru yang membuat jantungku berdebar kencang.
Pak Yusuf memberikan kode untukku, kode khusus untuk bereaksi terhadap Inggil. Tetapi itu kode yang hanya bisa diterjemahkan oleh dirinya sendiri. Aku diam, tenggelam dalam kesadaran lain, lantas tersenyum. Iya, tersenyum sebagai puncak segala yang kutemui selama ini. Puncak segala bahagia dan luka hati.
----o0O0o---
Perdebatan di ruangan ini semakin sengit. Panitia pemilihan lurah vs para calon lurah yang sudah ditetapkan. Kelima calon lurah yang diundang panitia punya pemikiran sendiri-sendiri. Peraturan yang digodok panitia bermalam-malam hingga larut jadi tidak berarti di depan para serigala ini. Mereka yang duduk di depan kami ini sama-sama bermulut manis, tetapi pada hakikatnya saling menjatuhkan ketika ada kesempatan.
"Bapak-Bapak, mohon diperhatikan lagi, saat ini situasinya sedang pandemi," Wahid yang menjadi ketua panitia berusaha menenangkan situasi. "Kalau kita memaksakan menggelar kampanye terbuka, malah bisa jadi arena penyebaran virus."
Pak Farobi alias Pak Arab mengangguk-angguk. Pak Wardoyo membuka maskernya untuk mencicipi teh yang sudah tidak panas lagi. Namun, 3 calon lain tidak setenang mereka.
Mas Sudiro, kakak kelasku SD yang sekarang bisnis travel, garuk-garuk kepalanya yang tampak tidak gatal. Pak Hitler, ah salah, Pak Napoleon yang pensiunan BRI, memilih bisik-bisik dengan Bu Ambar, satu-satunya calon lurah perempuan periode ini, istri Dukuh Pandean.
Pak Napoleon cukup dikenal sebagai orang kaya di desa kami, tetapi agak beda dengan Pak Arab, dia cukup pelit kalau dimintai sumbangan. Dia dijuluki Pak Hitler karena kumis bujur sangkar di atas bibirnya. Faktor lain dia disebut Hitler adalah ....
"Menurut saya ndak bisa begitu, Pak Carik," lihatlah, dia bicara biasa-biasa saja, seperti orang marah-marah, "Ini bisa dikategorikan ketidakadilan. Soalnya, kalau dihitung-hitung, yang untung dari ndak adanya kampanye terbuka, ya tokoh-tokoh yang sudah terkenal duluan, yaitu Pak Wardoyo dan Pak Farobi. Kalau kami-kami ini," dia menunjuk dirinya sendiri, Bu Ambar, lalu Mas Sudiro, "ya jelas rugi."
"Pak Wardoyo dan Pak Farobi tidak butuh effort lagi buat dikenal warga. Kalau kami-kami ini, ya butuh effort banyak. Kalau ndak ada pengumpulan massa, ndak boleh ada pengajian, ndak boleh ada jathilan, atau acara bagi sembako, siapa yang mau kenal kami? Ujung-ujungnya, warga cuma bakal milih antara Pak Wardoyo atau Pak Farobi. Kita-kita, sudah keluar uang, pengen muncul jadi calon alternatif biar warga nggak milih yang itu-itu saja, malah nggak dapat spotlight sama sekali."
Dan dia suka menggunakan istilah-istilah bahasa Inggris. Itulah dia, Pak Hitler.
"Ho'o kui Mas[1]," Bu Ambar yang terkenal penyuka apel hijau agar kulitnya cemerlang, menimpali. Gayanya mirip dengan ibu-ibu yang biasa kumpul arisan untuk ngerumpi, menggosipkan anggota arisan yang tidak datang. "Kami ini memberanikan diri maju nyalon lurah demi warga desa juga lho. Jangan sampai warga curiga, ada apa ini kok nggak ada kampanye. Ujung-ujungnya, warga bisa berprasangka kalau pemilihan lurah ini cuma buat memuluskan salah satu dari calon buat berkuasa. Ndak baik itu."
"Iya, setuju," Mas Sudiro berkomentar pendek-pendek, seperti yang sudah-sudah.
Aku menghela napas panjang, sampai-sampai mungkin terdengar oleh Pak Bimo yang duduk berjarak satu kursi di sebelahku. Ini bukan perkara benar dan salah, tetapi kelaziman. Kalau pemilihan lurah ini berlangsung pada awal pandemi Covid-19, ketika semua orang masih takut nyawanya terenggut oleh virus, mungkin pilihan tidak kampanye terbuka akan diterima, bahkan disepakati bulat-bulat.
Tapi, ini sudah lebih dari setahun sejak pandemi. Orang-orang mulai berpikir lain. Orang lain boleh berkata mereka-mereka ini layak disebut sebagai Covidiot. Namun, mereka-mereka ini memang ada, eksis, dan menyebarkan keyakinan bahwa Covid-19 cuma rekayasa pemerintah, cuma akal-akalan agar negeri ini mendapatkan limpahan bantuan dan uang.
Belum lagi masalah fatalitas. Tidak sedikit orang di sekitarku yang berpendapat, hal terparah dari suatu penyakit adalah kematian. Oleh karenanya, ketika melihat ada anggota keluarga atau teman dekat tetap hidup, segar bugar setelah dinyatakan positif Covid-19, mereka-mereka ini bisa berpikir, ternyata efeknya tidak semengerikan yang dikisahkan orang-orang.