"Jika memang Tuan Fumikiri dan Mister Kamerad pernah bersahabat zaman dahulu kala, kenapa mereka sekarang sangat berbeda?" Bapak-bapak berkumis seperti Hitler membuka pembicaraan delapan mata di sebuah kafe pinggir kota kecil ini. Hujan gerimis tiada henti mengguyur sejak pagi tadi hingga sesore ini.
"Betul, betul," Nyonya pengunyah apel mengangguk sembari menimang-nimang apel hijau di tangan kanannya, mengamati bekas gigitan ketiga giginya. Lalu, terdengar bunyi KRAUK!
"Mister Kamerad, kita semua tahu kiprahnya. Dia dikenal sebagai detektif andal. Dia itu penambal takdir terhebat. Kalau Fumikiri, malah sebaliknya. Dia penjahat, yang suka melubangi takdir seenaknya. Kalau tidak ada Mister Kamerad, sudah 98 orang di dunia ini yang bakal masuk neraka. Jika dijumlah dengan yang ada di dunia seberang sana, coba dihitung. Banyak sekali kan?"
"Iya, aku sepakat. Aku sepakat soal mereka yang kontras sekali," Madame de Pompadour palsu mengaduk teh dengan anggun: memutar sendok dari arah jarum jam angka 6 ke angka 12, "Fumikiri itu buruk, Mister Kamerad baik. Fumikiri itu setara iblis, sedangkan Mister Kamerad malaikat. Mustahil mereka pernah berkawan, apalagi bersahabat."
Bapak berkumis Hitler, nyonya pengunyah apel, dan Madame de Pompadour palsu berbarengan mengeluarkan desahan kecewa. Beberapa jenak tiada yang bicara, hingga suara guyuran hujan yang semakin deras menguasai tempat itu.
"Mungkin kalian yang tercipta belakangan di dunia ini memang belum tahu," bapak-bapak berjenggot kambing yang sedari tadi diam saja, angkat suara. "Dahulu, memang mereka berkawan."
KRAUK! Bunyi apel hijau dikunyah terdengar.
"Fumikiri dan Mister Kamerad?" Madame de Pompadour berhenti mengaduk teh.
"Iya, benar. Mereka berdua. Ah, lebih tepatnya mereka bertiga. Fumikiri, Kamerad, dan Miriam Gagak. Trio penambal takdir yang tidak terkalahkan pada masanya," Bapak berjenggot kambing menutup kalimatnya dengan senyuman, lalu mengelus-elus jenggot itu, "masa lalu yang indah. Zaman lampau yang gilang-gemilang."