Kamu hanya menjalankan tugas
Sebagai manusia yang tak henti menuang gelas
Kamu hanya menikmati peran
Sebagai manusia yang selalu kehausan
Apa yang terjadi padanya selama tahun-tahun ini sehingga jadi seperti ini?
Pada masa lalu yang panjang, ketika kami masih anak muda dengan kepala panas yang bernafsu menguasai dunia, Wahid bertanya kepadaku. Saat itu, aku ingat betul, kami sama-sama baru merasakan kekalahan kesekian. Dia putus dengan pacarnya yang entah keberapa, sedangkan aku baru saja dibantai para dosen saat ujian skripsi. Kami mengobrol di ruangan khusus balai desa yang memang digunakan sebagai base camp karang taruna.
"Gah, kamu percaya nggak, di dunia ini kita punya kembaran? Kembaran yang bukan saudara kita. Kembaran yang sama sekali nggak mengenal kita. Manusia yang punya wajah sama dengan kita, tapi mungkin ada di Australia, Afrika, Eropa, atau kalau perlu Antartika sana," Wahid memandang ke kekosongan di balik teralis jendela ruangan. Mengembuskan asap rokok yang baru saja dihisapnya.
"Hmmm mungkin saja. Aku pernah dengan cerita entah dari mana. Katanya pada zaman dahulu, manusia memiliki 14 tangan dan 14 kaki. Namun, karena para dewata takut disaingi oleh manusia, maka dewata tertinggi membelah manusia jadi 7 bagian. Jadilah sekarang manusia hanya 2 tangan dan 2 kaki," aku menjawab setengah bergumam.
"Wow, baru pertama kali kudengar begitu. Terus, terus gimana kelanjutannya?"
"Jadi, kalau pada suatu saat kamu bertemu dengan seseorang yang wajahnya sama denganmu, itu tidak mengherankan. Kamu punya tujuh kembaran di dunia ini."
"Wah, wah, wah, menarik ini," Wahid menyeret kursinya ke dekat kursiku.
"Begitu pula, kalau kamu patah hati dengan seseorang yang kamu cintai secara mendalam, jangan khawatir. Kamu pasti akan baik-baik saja. Kamu tidak akan kehabisan jodoh. Masih ada 6 orang lagi di dunia ini yang memungkinkan untuk jadi jodohmu," kataku tertawa melihat wajah Wahid yang berubah semringah.
"Waaah ini, mantap. Terus, terus, yang jodoh ini bagaimana? Jadi, aku masih harus memacari 6 orang lagi biar bisa bertemu jodoh sejatiku?"
"Ya nggak harus begitu juga, Hid. Intinya, patah hati dan kebahagiaan itu cuma semu, bro. Kedua perasaann itu cuma melatihmu agar lebih tangguh saja."
"Hmmm, menarik. Ngomong-ngomong, cerita rakyat dari mana itu Gah, yang manusia aslinya bertangan dan berkaki 14? Aku baru pertama kali dengar dari kamu," Wahid semakin menyelidik.
"Dari negara Centro Fia," kataku mengalihkan pandangan ke peta desa kami. Peta yang dibuat secara manual dengan spidol dan butir kertas warna hasil cetakan perforator.
"Baru kali ini mendengar nama itu. Kayaknya dari Eropa? Atau Amerika?"
"Dari kepalaku, baru saja kubuat, he he he."
"Bajilak," Wahid ikut tertawa, "Tiwas sudah mikir serius-serius bro."
Centro Fia, entah tiba-tiba saja nama itu terlintas. Bukan sebuah nama baru, aku pernah mendengarnya dari masa lalu, tetapi entah di mana.
"Hid, kamu percaya reinkarnasi?"
"Nggaklah, masa' hidup kita berasal dari hidup masa lalu? Kalau begitu, harusnya jumlah manusia di dunia ini selalu sama, dari zaman Nabi Adam sampai kiamat. Nyatanya, semakin banyak."
"Bukan begitu, Hid. Reinkarnasi yang berbeda. Misalnya, kita ini hanyalah bentuk kebangkitan dari makhluk yang tinggal di dimensi sebelumnya. Setelah kita mati, kita akan bangkit di dimensi yang lebih tinggi lagi. Tapi, kita sama sekali tidak ingat soal dimensi terdahulu. Kita di dimensi berikutnya juga nggak ingat pernah berada di bumi ini."
"Hmmm rumit. Coba jelaskan dengan lebih mudah."
"Sebagai contoh nih, kita berdua yang bersahabat ini. Siapa tahu, di dimensi sebelumnya, ada aku yang lain dan kamu yang lain pula. Gagah dan Wahid lain yang bersahabat juga. Gagah dan Wahid yang duduk di sebuah ruangan, berusaha melupakan kekalahan yang baru saja mereka rasakan."
Wahid menghirup kembali rokoknya, lalu mengembuskan dengan gamang. "Kalau begitu, betapa menyedihkannya hidup kita ini, bro. Berpindah dimensi, berpindah kehidupan, berganti nama, tetap saja menderita. Ora kacek."
"Iya juga, ya."
“Btw, Gah, kalau teorimu benar, bahwa kita, alias semua orang di dunia ini pernah hidup di dimensi sebelumnya, kira-kira kamu di sana bernama siapa ya? Kan nggak mungkin namanya sama, Gagah Berani?”
“Siapa ya? Mungkin Fumikiri,” kataku asal, antara mengingat Tuan Fumikiri sekaligus membayangkan palang pintu perlintasan kereta api di pinggir padukuhanku.
“Fumikiri? Aku siapa, ya? Wuih, aku nggak bisa bikin nama sebagus kamu, Gah. Aku kan nggak bakat menulis. Tapi, kalau memimpin, aku pasti bisa jadi nomor satu. Yang jelas, aku akan selalu jadi sahabatmu, bro. Di kehidupan ini, di dimensi terdahulu itu, di mana pun,” Wahid tertawa. Aku yakin, saat itu tawanya terdengar lepas. Hanya saja, ketika ingatanku sekarang mereka ulang obrolan kami di ruangan tersebut, tawa itu jadi berbeda, jadi terkesan rumpang. Ada yang tidak sempurna. Ada yang hilang.
----o0O0o---
Hari-hari berikutnya, aktivitasku dalam panitia pemilihan lurah semakin terbatas. Informasi yang disebarkan di grup WhatsApp panitia juga tampak semakin sedikit. Isu ini dan itu justru kudapatkan dari Pak Yusuf. Sebuah hal ironis, yang membuatku terus bertanya, apa fungsiku masuk ke kepanitiaan ini.
Apakah orang-orang di balai desa itu memasukkanku hanya karena Gagah Berani ini dahulunya seorang yang aktif di karang taruna desa, dan kebetulan kini tak punya pekerjaan tetap? Kalau itu alasannya, sungguh aku tidak perlu dikasihani. Berapa banyak orang yang hilang pekerjaan karena pandemi Covid-19 ini, dan berapa banyak orang yang hingga kini tidak bisa bangkit? Kupikir, jikapun aktivitasku di balai desa ini tidak ada, aku masih bisa menangani semua masalah finansialku, entah dengan cara apa pun.
Apakah mereka memilihku karena aku orang luar yang bisa dibungkam? Seperti yang kusimpulkan sebelumnya? Mungkin saja demikian. Aku tidak punya akses ke pusat informasi. Aku hanya punya faktor kejayaan masa lalu dan kedekatan personal dengan beberapa orang di balai desa, yang juga berasal dari masa lalu. Menanamku di sini akan membuat mereka lebih leluasa bergerak. Warga desa mengira semua terlihat adil, bersih, dan fair karena keterlibatan masyarakat, padahal sebenarnya orang-orang di dalam balai desa yang mengendalikan segalanya.
Dalam kondisi seperti ini, sikap Inggil sama sekali tidak membantuku. Aku merasa pada suatu sisi terlalu mengejar dia, terutama sejak kejadian yang diset oleh Pak Yusuf. Tapi, di sisi lain, aku merasa tidak melakukan apa pun untuk mendekatinya. Aku semakin tidak bisa membedakan antara dunia nyata dan dunia khayalan.
Ini ditambah dengan mimpi-mimpi liar tentangnya. Aku berpikir, karena semua hal tentangnya yang masuk ke otakku terus kutekan, maka itu justru mendorong alam bawah sadarku bertindak sebaliknya.
Awalnya, mimpi tentang dia muncul dengan cara yang sangat aneh. Malam itu, aku bermimpi tiba di palang pintu perlintasan kereta api. Aku sendirian, mencari-cari Tuan Fumikiri yang tidak kunjung memunculkan diri. Lalu, setelah sebuah kereta api berkecepatan tinggi melintas, datanglah sosok itu tertawa-tawa ceria.
"Hui hi hi hi, Tuan Mim! Akhirnya Tuan Mim datang lagi! Sudah lama ya, kita tidak bertemu? Masih ingat dengan wajah saya yang begini?"
"Tuan Fumikiri?"
"Iyaaa~ ini saya Tuan Mim! Kita bertemu lagi, sesuai dengan perjanjian kita dahulu saat Tuan Mim masih kecil. Kita menunaikan janji antara dua insan yang terukir abadi di pikiran masing-masing," Tuan Fumikiri tersenyum, tetapi kulihat tubuhnya penuh luka, pakaiannya yang biasanya rapi tampak terkoyak di beberapa tempat.
"Ah, beberapa waktu lalu saya datang ke perlintasan kereta api tempat kita dulu bertemu."
"Hi hi hi hi, iya Tuan Mim, saya tahu. Saya tahu segalanya dengan mata kanan dan mata kiri saya. Fumikiri ini bukannya tidak bisa menepati janji. Saya hanya datang tidak tepat waktu, hi hi hi."
Tawanya rumpang, seperti ingatanku tentang tawa Wahid.
"Anda terluka, Tuan Fumikiri?" tanyaku berlagak bodoh. Siapa saja yang melihatnya saat ini pasti sudah bisa menyimpulkan sendiri. Yang tampak jelas adalah tanda silang di atas kedua matanya yang patah satu.
"Hui hi hi hi, terima kasih sudah memperhatikan. Memang ada satu-dua kejadian yang mengganggu. Tapi, saya baik-baik saja, Tuan Mim. Ada dua tempat yang menjadi wilayah kekuasaan saya. Yang pertama, daerah sekitar palang pintu kereta api. Yang kedua, alam mimpi. Selama ada di sana, maka Fumikiri ini tidak terkalahkan, hi hi hi~".
Saat dia berkata alam mimpi, aku sadar tengah bermimpi. Namun, saat itu juga aku memutuskan untuk tetap mempertahankan mimpi, enggan untuk bangkit dari tidur ini.
"Saya tidak datang sendirian, Tuan Mim. Hui hi hi, coba lihat kemari," Tuan Fumikir mengeluarkan sebuah jam dinding. Dalam sekejap, jam dinding itu hidup seperti manusia. Lebih tepatnya, menjadi perempuan berbadan bulat dengan wajah jam dinding, lengkap dengan jarum jam dan menit warna hitam, juga jam detik warna merah yang bergerak dengan kecepatan tinggi.
"Masuklah ke dalam sana, Tuan Mim. Orang yang Anda tunggu-tunggu ada di sana," Tuan Fumikiri menunjuk titik tengah jarum jam.
"Saya tidak bisa melihat lubang yang bisa saya masuki, Tuan Fumikiri," aku berusaha fokus melihat ke titik yang dimaksud. Namun, tetap saja itu adalah titik kecil yang tidak berlubang, dan tidak dapat dimasuki aku yang sebesar ini.
"Perhatikan lebih jauh Tuan Mim, perhatikan! Perhatikan dengan saksama, nanti titik itu akan membesar dengan sendirinya. Nanti, Tuan Mim akan mengecil dengan sendirinya pula."
Aku tidak bisa menerima ucapan Tuan Fumikiri. Bagiku ini mustahil. Titik tengah jam dinding itu, bahkan jari kelingkingku sekalipun tidak akan muat ke dalamnya. Tapi, aku ingat ini adalah mimpi. Dalam mimpi aku bisa melakukan segalanya. Aku bisa menjadi apa saja.
Aku membayangkan titik tengah jarum jam itu adalah dunia, bumi yang sedang berputar pada porosnya. Aku membayangkan diriku sebagai titik kecil tak berguna, yang lebih kecil dari sekian gunung, lautan, dan hutan. Aku membayangkan diriku akan lenyap tak bersisa. Aku lalu menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata. Yang perlu kulakukan hanyalah menerjang ke titik tengah jarum jam itu. Akhirnya aku menabraknya pun tidak masalah. Yang harus kulakukan hanyalah menerjang ... dan itulah yang kulakukan!
Setelah tiba di dalam lubang, ia melihat samudera lepas tanpa tepi. Sejauh apa pun ia memandang, sejauh apa pun ia berjalan, ujung tiada pernah ditemukan. Ia berlari kemana-mana, ke utara lalu selatan, ke timur lalu ke barat, tetapi hendak kemana berikutnya, ia tidak bisa menentukan. Jangankan itu, hendak ke kiri atau kanan pun tampak tak bisa dibedakan.
"Tuan Fumikiri! Saya ada di mana?" teriakku memanggilnya.