Sayonara, Tuan Fumikiri

Fitra Firdaus Aden
Chapter #12

Apakah Surga Ada di Tempat Tertinggi?

Tak bisa bicara, kuterdiam di tempat

Melihatmu yang terisak di bawah hujan

Berdiri sendirian, menggigil tanpa pelukan

Apakah kau memanggilku namaku di sana?

 

Merutuki diri sendiri, sampai kapan terkunci

Kesalahan yang terdahulu tak boleh terjadi

Nona, payungmu tertinggal di sebelah kiri

Jadi, biar kuhancurkan awan mendung ini

 

Inggil menerima ajakanku. Atau mungkin, aku bisa berkata, Inggil mengajakku bertemu? Apakah selama ini dia hanya tengah menunggu waktu yang tepat? Apakah dia juga penasaran denganku, ingin mengenalku, tetapi pemilihan lurah yang rumit ini membuatnya serbaterganggu? Tetapi, bisa saja, keangkuhannya, kecongkakannya runtuh setelah mendengar ucapanku. Lalu, mata hatinya terbuka. Terlalu banyak kemungkinan, terlalu banyak hal yang bisa terjadi.

Hari ini, konsentrasiku terpecah jadi dua. Satu untuk memikirkan pesan WhatsApp yang tepat untuk Inggil. Aku kebingungan menyusun kata untuk membalasnya. Aku tidak ingin membuat jalur yang sudah terbuka ini tertutup rapat kembali. Di sisi lain, pikiranku masih mengarah ke pemilihan lurah. Kerja masih belum selesai. Hal yang paling menentukan segera terjadi: penghitungan suara.

Berbeda dari penghitungan suara terdahulu yang dilakukan secara manual, penghitungan suara di pemilihan lurah kali ini adalah perpaduan manual dan komputer. Di setiap TPS, para pemilih cukup menyentuh foto calon lurah yang dijagokannya. Pilihan itu akan tersimpan dalam sistem. Tepat pukul 14.00 WIB, ketika waktu pemilihan berakhir, KPPS cukup mencetak data yang tersimpan tersebut. Jumlah data akan sama persis, tidak mungkin ada perbedaan 1 suara pun.

Namun, tantangan bagi kami sebagai panitia adalah dengan ketepatan sistem tersebut. Dapat dipastikan, jika tim sukses calon lurah bergerak dengan semestinya, sekitar pukul 14.01 atau 14.02 WIB, siapa yang jadi pemenang sudah dapat ditentukan. Sebaliknya, panitia belum bisa mengumumkan pemenang itu kecuali data seluruh TPS terkumpul, yang kemungkinan baru terjadi sekitar pukul 15.30 WIB, jika pengiriman logistik dari TPS ke balai desa berjalan lancar.

Artinya, ada sekitar waktu 1,5 jam ketika seorang calon lurah secara de facto sudah memenangi pemilihan, tetapi secara de jure belum. Bahayanya adalah, jika saat-saat itu, para simpatisan calon sudah melakukan pawai kemenangan. Gesekan mungkin saja terjadi. Namun, seharusnya, dengan data komputer dan data manual yang tidak mungkin salah 1 suara pun, simpatisan calon lain yang tumbang harusnya bisa menerima kenyataan.

Kami, panitia pemilihan lurah, sudah berkumpul di balai desa kembali pada pukul 12.30 WIB, dan tidak diizinkan bergerak kemana-mana dulu. Kami juga tidak diizinkan untuk membocorkan informasi apa pun, baik yang bersifat umum maupun A1. Ini di luar rencana terdahulu. Aku langsung menduga, pasti ada apa-apa soal hasil pemilihan.

Sekitar pukul 14.06 WIB, sebuah pesan WhatsApp masuk ke nomorku. Dari Pak Yusuf. Dia mengirimkan screenshot penghitungan suara dalam format excel entah dari tim sukses calon yang mana. Aku tercenung sejenak, memastikan angka-angka di sana benar ....

 

Drs. Wardoyo:       2.752

H. Anas Farobi:      2.908

Ambar Dwi Retno: 205

Napoleon Bonnapart: 174

Wahyu Sudiro: 95

 

Begitu melihat data itu, aku menoleh Wahid yang secara kebetulan menolehku pula. Bisa jadi dia mendapatkan pesan WhatsApp yang sama. Bagaimana perasaannya sekarang? Era 12 tahun Pak Wardoyo sudah berakhir. Akan ada orang baru, Pak Farobi, yang bisa berkuasa hingga 18 tahun ke depan. Apa mimpi Wahid akan berakhir di sini pula?

Alih-alih gelisah atau apa, Wahid malah tersenyum, mengacungkan jempol. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah sahabatku itu bermain dua kaki? Dari sisi luar tampak mendukung Pak Wardoyo, tetapi di sisi dalam memihak Pak Farobi? Aaah, aku baru ingat kejadian waktu itu. Malam itu. Laporan Pak Kamidi dengan sepeda onthelnya itu.

Saat itu, yang melanggar aturan kampanye, lantas bagi-bagi boks makanan, bukanlah Pak Wardoyo, melainkan Pak Farobi. Jika Wahid sepenuhnya mendukung Pak Wardoyo, ia semestinya mengizinkan aku dan Pak Bimo bertindak. Tetapi nggak, dia menangani sendiri. Faktanya, tidak ada penanganan apa-apa darinya. Tidak ada surat teguran apa-apa dari panitia. Wahid membiarkannya.

Ketika aku mengingat kembali kejadian lampau itu, di ruangan khusus tempat para calon lurah berkumpul, terdengar suara meja digebrak. Ruangan yang sebelumnya diisi oleh hawa ceria, ditingkahi oleh suara fals Pak Farobi, Bu Ambar, dan Pak Hitler yang berkaraoke dengan lagu-lagu nostalgia, mendadak jadi berbeda. Yang terdengar hanya alunan musik lagu Koes Ploes, "Andaikan Kau Datang Kembali".

Beberapa pamong desa buru-buru ke ruangan itu. Aku berdiri. Gebrakan meja itu pasti ulah Pak Wardoyo. Aku masih bisa mengingat-ingat seperti apa karakter si tua itu. Seperti yang kusebutkan dahulu, jika kuungkap semua, maka Pak Wardoyo hanya akan dinilai jahat semata.

Wahid yang tadi duduk di sebelah sana, bergerak, menepuk bahuku lalu berjalan ke ruangan khusus tadi. Itu tanda aku tidak boleh ikut campur. Itu berarti masalah ini akan diatasi sendiri oleh mereka, para orang dalam. Benar saja, tidak berapa lama, Wahid menarik Pak Wardoyo keluar ruangan tadi, mengobrol dengannya secara intens, membawanya ke ruangan carik yang ada di ujung belakang.

"Lha kowe piye to Hid? Aku wis ngomong, opo wae penjalukmu, tak turuti[1]."

"Pun, njenengan istirahat rumiyin, Pak. Monggo. Ampun sepaneng[2]."

"Aku ra trimo nek ngene iki, Hid[3]."

Seiring dengan gerakan mereka yang semakin menjauh, suara obrolan Pak Wardoyo dan Wahid semakin melemah, lalu tidak terdengar. Bersamaan dengan itu, di ruangan khusus tempat para calon lurah berkumpul, Pak Farobi angkat suara. Dia bernyanyi lagu Koes Plus lain, "Kelelawar".

Pak Bimo yang tadi ikut masuk ke ruangan calon lurah berjalan santai ke arahku. Wajahnya tidak menyiratkan kecemasan atau kepanikan. Sebaliknya, yang tampak hanyalah kelegaan. Dia pura-pura memencet-mencet handphone sembari berbisik singkat kepadaku, "Era baru dimulai. Sori yo Gah, gak crito ket awal[4]."

Iya ... berarti benar. Inilah alasannya. Ini alasan Pak Bimo tidak mendampingi Wahid saat ada laporan dari Pak Kamidi. Ini alasannya dia malah pulang dengan motor maticnya, meski di depanku mengeluh soal kelakuan para calon lurah yang ada-ada saja. Dia pasti tahu siapa yang bergerak malam itu, dan membiarkan Wahid beraksi sendirian.

"Pejah gesang nderek Den Wahid, [5]" bisik Pak Bimo menambahkan.

Orang-orang di balai desa ini, pandai sekali bermain dua kaki. Seakan-akan berpihak pada seseorang, tetapi di dalam hati mendukung orang lain, dan menyimpan rahasia soal dukungan itu sekian lama sampai tiba hari kemenangan.

Tapi, bagaimana ke depan? Sulit membayangkan Wahid bisa bersaing dengan Pak Farobi enam tahun lagi, kecuali ... ada deal-deal tertentu yang dilakukan Wahid dengan Pak Farobi. Mungkin pula, Pak Farobi tidak seganas Pak Wardoyo, sehingga Wahid memilih merapat kepadanya?

"Tapi di akar rumput bisa gegeran ini, suara cuma beda tipis. Kacek mung tuseket ki bahaya[6]. Kamu ngerti sendiri to Gah, watak anak buahnya Pak Wardoyo?" Pak Bimo masih mengajakku ngobrol.

Iya, mereka terkenal beringas, mudah naik darah, mudah terprovokasi, dan dhas-dhes terhadap orang lain yang berbeda.

"Asalkan pendukung Pak Farobi nggak aneh-aneh, tampaknya bakal aman Pak," jawabku.

 

Pembicaraan kami terputus ketika Bu Airin yang bertugas di bagian depan balai desa memberikan kode bahwa logistik dari TPS mulai berdatangan. Penghitungan suara manual segera dimulai. Lebih tepatnya, penjumlahan angka yang tercetak dalam sistem komputer dari TPS 01 hingga TPS 17 kalurahan kami.

 

Lihat selengkapnya