Sayonara, Tuan Fumikiri

Fitra Firdaus Aden
Chapter #13

Miriam Gagak dan Perempuan yang Gagah Berani

Yang kulihat kau jatuh di terangnya fajar

Mengajak bicara cakrawala penuh darah

 

Yang kaulihat di tanganku hanyalah merah

Mengajak bicara bekas rasa kemarin lusa

 

Malaikat mengira kuhanya debu

Berhamburan dalam sekali embusan napasmu

 

Lalu mengapa jantung yang sudah berhenti

Tak bisa mati menahan rindu tak terperi

 

Demi matahari

Tergelincir ke laut lepas

Aku seorang pelanggar

Yang menanti hukuman

 

Demi waktu fajar

Kala biasa melihatmu

Aku seorang pendosa

Di depan tiang gantungan

 

Demi bayang-bayang

Hilang di gelapnya malam

Jika memandangmu dosa

Aku tetap menengadah ...

 

"Semuanya sudah berakhir Miriam ...."

Mister Kamerad berjongkok di depan sebuah makam tanpa nama, makam yang ada di bawah sebuah pohon kamboja raksasa yang bunganya berjatuhan. Makam yang sama sekali tidak terawat: rumput liar menguasai sebagian besar gundukan seperti pepohonan yang tumbuh subur di perbukitan. Bunga kamboja putih bersemu coklat bertebaran; berserakan, di sana dan di sini. Makam yang sepi, dipayungi biru langit sore yang bagai tiada bertepi.

"Semua sudah berakhir, benar-benar berakhir. Fumikiri tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi," Mister Kamerad menghela napas panjang.

Makam yang ada di depan mata Mister Kamerad bukanlah makam istimewa. Tiada kijing, atau batu penutup makam yang biasanya terbuat dari pualam. Hanya ada batu nisan yang menjadi penanda makam: batu yang hanya diletakkan begitu saja, bahkan tidak diberi nama.

Jika semua orang yang mengetahui sepak terjang Miriam Gagak tahu mayat siapa yang disemayamkan di sana, mungkin makam itu akan disulap menjadi makam paling megah di pekuburan tadi. Namun, jika semua orang yang mengenal Miriam Gagak tahu ada rencana pemugaran makam, maka mungkin mereka akan menghilangkan semua tanda-tanda kemegahan duniawi di atas mayatnya. Dunia ini terlalu remeh bahkan untuk diletakkan di atas tulang-belulang Miriam Gagak yang sekarang mungkin sudah hancur.

Ada yang pernah berkata, seseorang mati bukan ketika nyawanya dicabut oleh malaikat maut. Seseorang akan mati ketika ia sudah dilupakan. Miriam Gagak memang sudah mati sekian lama, ratusan tahun lalu. Miriam Gagak memang sudah tak lagi bekerja, sehingga generasi-generasi berikutnya tak lagi tahu sepak terjangnya. Namun, bagi Kamerad, dan mungkin Fumikiri, kenangan soal Miriam terlalu dalam, terlalu indah untuk dilupakan. Miriam belum mati, setidaknya untuk mereka berdua. Setidaknya, di alam mimpi mereka berdua. Sepasang sahabat yang kini mengambil jalan berbeda.

"Apakah Fumikiri pernah datang kembali ke sini, Miriam? Apakah jika dia melihatku, Fumikiri lantas bersembunyi di balik rerimbunan semak di sana, menungguku pergi, lantas baru mengunjungimu? Ah, terlalu banyak pertanyaanku tentangnya, terlalu banyak hal yang terjadi sejak kamu mati ...."


Burung-burung terbang di atas sana, seperti hendak kembali ke sarang mereka. Mister Kamerad mendesah, lalu duduk begitu saja menatap langit, membiarkan pantat celananya menempel ke tanah. Dia lelah. Dia lelah dan tiada tempat bersandar. Ini membuat kelelahannya jadi dua kali lipat, atau bahkan berkali-kali lipat.

"Sudah lama sekali ya, Miriam, sejak saat kita bertiga menjadi agen pilihan dalam menambal takdir. Puluhan, bahkan ratusan tahun sudah berlalu. Dulu, kita selalu bertiga kemana-mana. Dulu, kita selalu berbagi suka dan duka. Sekarang, aku dan Fumikiri jadi seperti ini. Kami saling terikat, tetapi saling berjarak. Kami punya kenangan yang sama tentangmu, tapi punya jalan hidup yang berseberangan. Ahh~, sudah ratusan kali kamu mendengarkan keluhanku ini."

 

Masa lalu yang indah itu ada di sebelah sana,

Sejauh apa pun tanganku menjangkau, takkan pernah bisa mengulangnya.

 

Awan yang semula putih bersih, mulai memerah-menggelap. Matahari bergeser jauh ke barat. Bayangan pohon kamboja raksasa meninggalkan kesan mencekam di pekuburan. Seringkali, pada momen seperti ini, Kamerad merasa mayat-mayat yang sudah tak bernyawa itu bisa bangkit kembali menggali ke atas, keluar dari kubur, dan mengajaknya bicara. Namun, sesering apa pun Kamerad merasa, perasaannya itu tetaplah hanya perasaan semata: tidak mewujud jadi nyata.

Dalam kekecewaan yang kesekian karena tidak menemukan lawan bicara, Kamerad menunduk. Ia mulai bergumam: bergumam panjang, semakin panjang, ... sangat panjang.

"Apakah aku salah Miriam? Apa aku lagi-lagi salah? 7 orang yang menjadi cerminan Tuan Mim di dunia ini akan mengalami takdir serupa. Mereka akan meninggalkan orang yang paling dicintai. Tapi, Fumikiri datang mengacau. Dia membalikkan segalanya. Dia membuat orang yang paling dicintai para Mim ini meninggal lebih dahulu. Dia memanfaatkan kelemahan hati para Mim untuk melubangi takdir ...

“Aku gagal melindungi Mim pertama, Samudera Hindia dan istrinya, Afunika Ayu. Hindia dihasut sedemikian rupa oleh Fumikiri untuk membunuh istrinya sendiri dengan cara menularkan virus Corona.

"Aku gagal pula mengawal Mim kedua, Arus Timur dan istrinya, Aya Soraya. Siapa sangka Fumikiri menggunakan siasat licik lagi. Ketika aku masuk ke alam mimpi Arus Timur, Fumikiri juga demikian. Dia kadang menyamar sebagai aku, kadang menjadi dirinya sendiri. Itulah alasan kadang Arus Timur melihatku di alam mimpi, tetapi kadang melihat Fumikiri.

"Fumikiri berhasil membuat jenis kelamin anak Arus Timur berubah. Ini membuat ujung takdir Arus Timur dan Aya Soraya ikut berubah. Aku kemudian bertindak jahat, Miriam. Bertindak sangat jahat. Aku menipu Arus Timur. Aku berkata kepadanya, jika yang lahir anak perempuan, istrinya akan tewas. Iya, Aya Soraya yang dia cintai itu. Padahal tidak. Padahal tidak sama sekali. Aku berbohong, Miriam. Coba bayangkan, Kamerad ini berbohong! Uh!"

Teriakan Mister Kamerad hanya disambut dengan keheningan makam. Tiada siapa-siapa di sana selain dia dan para mayat yang sudah tidak berbentuk di bawah tanah sana.

"Aku berbohong kepada Arus Timur agar menyeberang rel kereta api pada waktu yang ditentukan. Aku menyukai pasangan yang membara ini. Kusengaja agar mereka tertabrak kereta api, biar mereka bisa memenuhi takdir, tetapi sekaligus tidak terpisah oleh kematian dalam jangka waktu yang lama. Arus Timur akan mati lebih dahulu tertabrak kereta, sedangkan Soraya akan mati belakangan, terpelanting beberapa meter dari rel. Ini skenario terbaik yang bisa kubuat untuk mereka. Tapi, lagi-lagi Fumikiri mengacaukan segalanya.

“Dia menjegalku pada saat terakhir. Dia membuat Soraya mati lebih dahulu daripada Arus Timur. Aku nyaris lupa, selain mimpi, semua perlintasan kereta api adalah tempat sihir terkuat Fumikiri. Lebih licik lagi, Fumikiri membawa jasad Soraya dan Arus Timur ke sebuah tempat rahasia, entah untuk apa.

“Sekarang ... aku bersiasat. Aku sengaja tidak membimbing Mim ketiga, Gagah Berani, secara langsung. Aku bekerja dari balik layar untuknya."

"Seharusnya, Gagah Berani sudah bertemu dengan jodohnya, Inggil, sejak 2 tahun lalu, ketika ia berangkat ke Jakarta, kota terbesar di sana. Tapi, pengalamanku dengan Arus Timur dan Soraya membuatku merusak kala waktu Gagah Berani dan Inggil. Aku tidak ingin kalah lagi dari Fumikiri dengan semua kelicikannya. Apalagi, Fumikiri tidak bisa dikalahkan di sekitar perlintasan kereta api dan di alam mimpi."

"Aku sengaja mengembuskan bisikan kepada Inggil agar dia datang ke kota kelahiran Gagah Berani. Aku sengaja membuat mereka hanya bertemu serbasesaat pada masa awal pemilihan lurah di desa Gagah Berani. Namun, lagi-lagi aku kalah dari Fumikiri. Dia membuat Gagah dan Inggil bercinta di alam mimpi. Ini yang membuat Inggil tiba-tiba berubah. Apalagi ketika Gagah Berani menyiratkan punya mimpi yang sama dengannya. Asmara itu mulai tumbuh."

"Aku sengaja ingin menutup kisah Gagah Berani tanpa bisa menyentuh Inggil. Biar Gagah Berani saja yang merasakan sakit hati. Dia kuat untuk itu, seperti Tuan Mim. Biar Inggil tidak punya kenangan apa pun yang istimewa soal Gagah. Dia kuat untuk bertahan sendirian, seperti Nona Ayn. Tapi, semuanya jadi menyakitkan, Miriam! Siapa yang tega menyaksikan Gagah Berani mati sedemikian rupa? Aku yang membunuh dia, bukan takdir. Aku yang memanfaatkan lemparan orang untuk mengenai kepalanya. Aku yang jahat, Miriam!"

Semua penambal takdir akan selalu merasakan ini. Semua penambal takdir akan terbenam dalam luka ini. Sekuat apa pun mereka. Sehebat apa pun mereka. Ini tugas orang-orang tersebut. Mereka berkewajiban membuat takdir yang mutlak tetap seperti adanya. Jika dalam alam ruh, Mim harus mati lebih dahulu daripada sang istri, maka di alam seberang, hal yang sama harus terjadi. Harus, mutlak, tak bisa diubah, meski para penambal takdir ini juga punya hati.

Mister Kamerad tenggelam dalam kesedihannya, tertelungkup penuh air mata, lantas bagai bersujud di depan makam Miriam Gagak, kawan seperjuangannya dahulu kala.

Ia sudah terlalu letih bekerja berabad-abad, memperbaiki ini dan itu, menambal takdir yang di sini dan yang di sana. Ujung-ujungnya, ia selalu berhadapan dengan Fumikiri. Ujung-ujungnya, ia melawan Fumikiri yang pernah jadi sahabatnya. Apa yang bisa dilakukan Kamerad selain mengeluarkan air mata?

Lihat selengkapnya