Izinkan aku lebih mengenalmu lagi
Rindu tak terjawab ini
Memanggil ...
Berulang kali tanpa henti
Izinkan aku lebih memahami lagi
Kau yang makin tak terketahui
Menyerah ...
Dalam nyala api abadi
Laki-laki itu duduk termangu di kursi plastik depan warungnya. Pandangannya kosong, melihat mobil dan motor yang lalu lalang di jalan raya. Kalau diperhatikan, dia semakin tua saja. Kerut di dahinya semakin jelas. Wajahnya terlihat lelah, seolah baru saja bertempur dalam perang yang tidak diketahui siapa saja.
Ketika kutepuk bahunya, dia terperanjat. Lebih terperanjat lagi karena yang menepuk bahunya bukan orang yang biasa membeli mi ayam sehari-hari. Dia gugup, salah tingkah, buru-buru merapikan kerah bajunya, memasukkan tangan ke saku celananya.
"Eeeh, Mbak Inggil? Tumben kok nggak pakai motor?"
"Habis jalan-jalan, Pak. Mengunjungi palang pintu perlintasan kereta api di sana."
"Eeeh, ke sana? Hati-hati, Mbak. Sedang ada banyak kekacauan! Kemarin-kemarin ada kecelakaan dan orang hilang di sana, kan? Terus habis itu, Mas Gagah juga ..."
"Memangnya Mas Gagah habis dari sana, Pak, sebelum kejadian?"
Pak Yusuf garuk-garuk kepala, tersenyum kecut, "Ya, ndak tahu sih, Mbak. Tapi Mas Gagah pernah ke sana, beberapa hari sebelum kejadian ...."
"Oooo," kataku manggut-manggut.
"Mmmmm ... Mbak Inggil mau pesan apa Mbak? Mi ayam? Mi ayam bakso? Mi ayam bakso spesial? Mi ayam bakso pakai telur?"
Kuhela napas panjang, "Pesannya nanti saja Pak, ada yang mau saya tanyakan."
Wajahnya memucat. Dia panik. "Eee, itu Mbak. Yang waktu itu murni karena keisengan saya, Mbak Inggil. Mas Gagah nggak tahu apa-apa. Saya yang sengaja merancang pertemuan Mas Gagah dan Mbak Inggil. Suwer, Mbak. Mas Gagah nggak salah apa-apa! Demi Allah!"
Lho? Jadi, yang waktu itu, bukan ide Mas Gagah? Perbincangan satu sisi yang kugunakan untuk melakukan skak mat itu ternyata ide Pak Yusuf yang berniat untuk menjodohkan kami? Sungguh, apa-apaan orang ini? Maunya apa, sih?
Tapi, melihat rasa bersalahnya, rasa takutnya ketika aku menggruduk ke warung mi ayam ini, rasanya aku bisa memanfaatkan situasi. Bukan apa-apa, aku ingin mengorek informasi lebih banyak tentang semuanya, semua yang seperti puzzle acak-acakan di otakku.
"Sekali lagi maaf nggih Mbak, sebenarnya itu ide saya. Mas Gagah nggak salah apa-apa," Pak Yusuf masih mengatupkan kedua tangannya memohon ampunan.
"Bukan itu yang mau saya tanyakan, Pak."
"Alhamdulillaaah," laki-laki kurus kering ini buru-buru mengusapkan tangan ke wajahnya, "Terus, apa Mbak Inggil? Monggo, duduk dulu, mumpung sepi. Nggak ada yang mau beli mi ayam saya sepanjang hari ini. Satu pun tidak!"
Pak Yusuf mengambil satu kursi plastik warna biru, meletakkannya di dekatku. "Bukan pertanyaan yang aneh-aneh kan, Mbak? Jangan yang politik-politik, Mbak. Serem! Anak buah Pak Wardoyo masih dendam kalah dari pakdenya panjenengan."
"Ada kaitannya sih, Pak. Soalnya, saya bertanya ke pakde, nggak ada jawaban. Saya penasaran dengan Kamto ...."
"Kamto yang preman itu, Mbak?" Pak Yusuf mengernyitkan dahi.
"Iya, Kamto yang anak buah Pak Wardoyo itu. Ada kaitannya sama kejadian kemarin. Saya nggak habis pikir kenapa Kamto mau membela Mas Gagah mati-matian begitu rupa. Dia sampai menghajar orang yang melempar Mas Gagah itu habis-habisan lho. Pak polisi yang melerai sampai terpental."
"Oooh, itu ..." Pak Yusuf mengangguk-angguk, lalu mulai memainkan jari, mengetuk-ngetuk paha kanannya tanda masih grogi. "Kenapa Kamto yang melihat Mas Gagah terluka, langsung mengamuk nggak terima begitu ya Mbak?"
"Iya, bagi saya ini aneh. Kamto itu kan anak buah Pak Wardoyo. Dia sangat memusuhi orang-orang yang berkaitan dengan Pakde Farobi. Nah, dulu kan Pak Dahlan mendukung Pakde Farobi. Kok bisa, Kamto begitu menghormati Mas Gagah dan Pak Dahlan?"
"Memangnya Kamto waktu itu bilang apa sih, Mbak?"
"Ya, dia menyumpah serapahi si pelempar batu, Pak. Terus dia bilang, yang intinya menyalahkan si pelempar, yang dia anggap nggak tahu adat, atau bagaimana, kok bisa menyerang orang seperti Mas Gagah, putra Pak Dahlan."
"Ah," Pak Yusuf menampar pahanya sendiri hingga bunyi PLAK! terdengar. "Orang itu ... dasarnya Kamto juga emosian sih, Mbak. Tapi, kalau kedekatan Kamto dengan keluarga Pak Dahlan, saya bingung mau cerita apa ndhak. Soalnya ini aib orang gitu ...."
Dia memandangku. Begitu melihat sorot mataku yang tajam dan serius, Pak Yusuf mulai salah tingkah lagi. Wajahnya memucat kembali. "Nggg.... tapi, yah karena yang bertanya Mbak Inggil, jadinya nggak apa-apa, deh. Jadi, dulunya Kamto itu tinggal di Gowangan, satu padukuhan sama Pak Dahlan. Kamto itu istilahnya anak hasil hubungan gelap, begitu. Ibunya Kamto punya suami yang sah, tapi selingkuh sama orang lain, ya bapaknya Kamto itu."
Perselingkuhan? Kali ini aku yang mengernyitkan dahi.
"Ngomong-ngomong, nama ibunya Kamto itu siapa Pak?"
"Namanya ... sebentar, saya ingat-ingat. Say, Sayu .... Sayuti, apa ya?"
Nama yang sepertinya pernah kudengar, tetapi entah di mana.
"Nah, setelah perselingkuhan itu bikin geger kampung, suami ibunya Kamto itu terus pindah ke kabupaten lain. Suaminya yang sah itu. Nggak lama kemudian, bapak kandungnya Kamto mendadak sakit aneh, gitu Mbak. Sakit gatal yang nggak sembuh-sembuh. Lama-lama, nggak tahu bagaimana, bapak kandungnya Kamto itu jadi gangguan jiwa, sableng begitu. Orang-orang bilang, mungkin diguna-guna suami sahnya ibu si Kamto ...."
Seseorang yang terluka karena cinta, lalu menghabisi orang yang menyakitinya? Bukan dengan jalan membunuh, tetapi dengan menyiksanya, menyiksa orang-orang di sekitarnya, pelan-pelan, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun?
"Waktu Kamto berusia sekitar belasan tahun, ibunya juga terkena sakit aneh. Keluhannya sama, gatal-gatal juga. Lagi-lagi, banyak warga yang bilang dia diguna-guna seperti selingkuhannya itu. Kamto itu dulunya dua bersaudara, Mbak. Dua-duanya anak si ibu dengan selingkuhannya tadi. Jadi, nek dipikir-pikir, mungkin ibunya selingkuh ya biar dapat keturunan .... itu kalau pendapat saya, lho. Soalnya juga, dengar-dengar, sampai sekarang bapak tirinya Kamto itu juga belum punya anak, walau sudah nikah 3 kali lagi."
Huff ... betapa rumitnya hidup berkeluarga. Tiada yang bisa dikatakan benar-benar salah atau benar-benar benar.
"Terus kaitannya dengan sikap Kamto terhadap Pak Dahlan di bagian mana, Pak?"
"Nah, itu Mbak. Adiknya Kamto, namanya Pujo, meninggal waktu masih kecil, sekitar usia 9 tahun. Kalau tahun lahirnya si Pujo ini, unda-undi sama Mas Gagahlah. Kayaknya di tahun yang sama, apa ya ... sebelum meninggal, Pujo sering dibully sama teman-teman sepermainannya, Mbak. Dibilangin anak haram, anak nggak jelas. Kecuali Mas Gagah. Kalau Mas Gagah itu, semua dirangkul, diajak berteman. Jadinya, mungkin Kamto terkesan sama sikap Mas Gagah yang satu itu ...."
Hmmm, orang yang menarik.
"Nah, waktu Pujo meninggal itu nggak ada yang mau ngurus jenazahnya, Mbak. Orang-orang kayak menganggap najis atau bagaimana begitu. Kamto kan waktu itu kilang-kilong. Dia masih muda banget, belasan tahunlah. Bapak sama ibu kandungnya sudah lama nggak pulang, berjalan entah kemana, sedangkan si Pujo meninggal. Untungnya, Pak Dahlan mau cawe-cawe. Beliau yang mengurus semua yang diperlukan, yang mengafani, yang memimpin salat jenazah pertama kali, yang menggali kubur ... kalau nggak ada Pak Dahlan, pokoknya kacau balau, Mbak, saat itu. Malah, waktu diadakan tahlilan malam harinya, pak modin setempat nggak mau datang. Untung Pak Dahlan mau menggantikan."
"Jadi ... Kamto merasa berutang budi, gitu Pak?"
Pak Yusuf menghela napas dalam-dalam, melihat langit-langit warungnya yang kini sudah dihiasi sawang laba-laba. "Bisa jadi, Mbak. Bisa jadi juga lebih dari itu. Mungkin Kamto segan sama Pak Dahlan, menghormati Mas Gagah, ya karena keluarga mereka ini nggak peduli dengan omongan orang lain terhadap keluarga Si Kamto. Butuhnya membantu, ya membantu saja, nggak butuh embel-embel. Katanya kan, orang-orang yang ada di sekitar saat kita dalam keadaan sedih, berduka cita, adalah orang-orang yang sulit dilupakan. Iya nggak, Mbak Inggil?"
Seseorang yang ada ketika kita dalam keadaan terpuruk.
"Sejak kehilangan Pujo itu, Kamto hidupnya rebel, Mbak. Dia memberontak di mana-mana, jadi preman, sering berkelahi. Main cewek, mabuk-mabukan, sabung ayam, main kartu, pokoknya semua yang serbamaksiat. Dia ikut orang, kesana dan kemari, sampai diambil sama Pak Wardoyo jadi anak buahnya. Dia memilih jalan yang kelam, mungkin ingin membalas kepada orang-orang yang dulu mengabaikan keluarganya. Mungkin ingin menunjukkan bahwa dia kuat. Menurut saya, Kamto berpikir kalau dia kuat, kalau dia kejam, kalau dia ditakuti, maka orang-orang nggak akan menyepelekan dia, nggak akan merendahkan dia.”
“Anehnya ya itu, Mbak. Kamto itu bisa petantang-petenteng sama semua orang, tapi begitu bertemu sama Pak Dahlan, mundhuk-mundhuk banget! Kayak bertemu presiden atau kiai sepuh, begitu. Dibilangin apa saja sama Pak Dahlan, didengarkan. Sama Mas Gagah juga begitu. Pernah suatu kali karang taruna desa bikin acara koesplusan, terus preman-preman yang anak buahnya Kamto mengganggu. Dibubarin sama dia, cuma gara-gara melihat Mas Gagah ikut terlibat. Ah, iya. Waktu Kamto kesini beli mi ayam, sekitar sebulan lalu, dia kayak senang sekali. Waktu itu saya cerita kalau Mas Gagah ikut jadi panitia pemilihan lurah. Kamto bilang, wah, kok mung dadi panitia to Mas Gagah ki. Mbok maju, nyalon lurah. Nek Mas Gagah maju aku yakin ndeso iki yo bakal maju, Suf. Ben perangkate ora mung asu-asu kabeh, sing isane nggah-nggih, nggah-nggih, tapi nyatane nyauti duwite rakyat[1]. Begitulah Mbak. Sebrengsek-brengseknya Kamto itu ....” bibir Pak Yusuf bergetar pelan, “sebrengsek-brengseknya Kamto itu, sebajingan-bajingannya Kamto itu, dia juga manusia, Mbak!”
Saat Pak Yusuf menyelesaikan cerita panjangnya, terdengar bunyi kentongan yang dipukul satu-satu. Aku menoleh ke arahnya dengan pandangan bertanya.
Pak Yusuf bangun dari duduknya, “Ealah, ono lelakon opo meneh to iki? Lelayu nggone sopo yo[2]? Biasanya kalau bunyi kentongan begini, ada orang meninggal, Mbak. Apa ada kecelakaan lagi kayak yang kemarin-kemarin itu, ya?”
Dari pelantang masjid sebelah sana, terdengar suara bapak-bapak sepuh mengumumkan berita lelayu dengan nada yang dibuat-buat. “Assalamualaikum warahmatulllahi wabarakatuh. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Sampun katimbalan sowan ing ngarso dalem Allah Swt. kanthi tentrem panjenenganipun Ibu Sayuti, kaparingan yuswo 67 tahun[3].”
“Sayuti?!” Pak Yusuf buru-buru membuka ponselnya, tampak mencari-cari sesuatu, mungkin salah satu dari sekian grup WhatsApp yang diikutinya. “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun ... Sayuti, ibunya Kamto, Mbak!”
Bagaimana bisa? Sebuah kematian lagi? Ini terlalu aneh. Hari-hari ini, desa kami seperti sedang dijatuhi malapetaka dari mana-mana. Belum selesai yang ini, sudah muncul yang lain. Belum juga tenang usai ada kecelakaan di palang pintu kereta api Gowangan, terjadi kerusuhan dalam pawai kemenangan Pakde Farobi. Mas Gagah yang jadi korbannya. Baru saja ini selesai, sekarang ada berita lelayu pula. Anehnya, entah mengapa aku merasa rentetan kejadian ini seperti sebuah spiral, yang garisnya lambat laun semakin dekat kepadaku, semakin ingin melahapku. Sungguh, aku merasa bisa menjadi korban berikutnya, dan itu seperti bisa terjadi kapan saja!
Sebentar lagi takdir yang berlubang akan merenggutmu.
Sebentar lagi takdir yang berputar ke arah kiri akan menamatkanmu.
Ponselku berdering pelan. Sebuah pesan muncul di Grup WhatsApp Sidomuncul Jaya, grup berbagai elemen masyarakat di kalurahan kami. Aku membaca perlahan, mencoba meresapi apa yang baru saja terjadi.
Laporan Kejadian di Kecamatan Godean