Jangan pernah berada di sekitar palang pintu perlintasan kereta api.
Jangan pernah pula bermimpi.
Tuan Fumikiri hendak membawamu pergi.
Tuan Fumikiri ingin kamu mati.
Jika itu terjadi, maka selesailah sudah.
Dia akan memenangi pertarungan panjang ini.
Dia akan memutarbalikkan peraturan dunia ini.
Kalimat demi kalimat Pak Dahlan itu masih saja menghantui. Terngiang-ngiang di telinga kemanapun aku pergi. Aku tidak punya kesempatan untuk bertanya lebih jauh lagi. Aku harus memecahkan semuanya sendiri. Aku tidak boleh berdekatan dengan Kamto atau Pak Dahlan lagi. Beliau berkata, "kita bertiga punya jalan hidup yang saling beresonansi".
Bagaimana mungkin aku bisa mengerti semua yang sedang terjadi? Menurut Pak Dahlan, Tuan Fumikiri, teman imajinasi masa kecilku yang menjadi salah satu alasanku datang lagi ke tempat ini, menunggu saat-saat aku mati. Yang lebih aneh lagi, menurut Pak Dahlan, aku tidak boleh mati. Aku harus terus selamat, setidaknya sampai Mas Gagah mati. Iya, beliau berkata, "Gagah harus lebih dahulu mati daripada kamu, dik. Apa pun yang harus terjadi. Apa pun yang harus saya tebus agar itu terjadi."
Ini gila. Gila sekali. Aku masuk ke dalam sebuah perlombaan yang tidak kuketahui, menghadapi musuh yang memiliki kemampuan begitu tinggi, dan tidak boleh kalah dalam perlombaan aneh ini. Satu-satunya pilihanku cuma: menang, menang, dan menang lagi.
"Kamu boleh menganggap saya gila, Dik. Tapi, saya akan berkata, jika semuanya normal, jika tidak ada orang yang bertindak aneh-aneh dengan takdir, kamulah yang menjadi istri anak saya," dia setengah berbisik ketika kami berdua sedikit menepi, sementara orang-orang, tepatnya anak buah Kamto, mulai sibuk menyiapkan benda-benda yang akan ikut dibawa ketika mengantar jenazah Bu Sayuti.
Beberapa hari lalu, sang anak berkata kepadaku bahwa dia adalah jodohku. Sekarang, sang ayah menjelaskan lebih jauh, bahwa aku akan menghabiskan sisa hidup dengan sang anak. Apa aku bisa mencerna semua ini? Dalam keadaan normal, aku akan menduga mereka berdua mengalami waham atau sejenisnya. Tapi, ucapan beliau ini berbeda. Ucapan ini memaksaku percaya kepada mereka!
"Saya memberi nama Gagah kepada dia bukan karena kebetulan. Saya berharap dia bisa menjadi seseorang seperti perempuan yang pernah saya lihat. Perempuan yang melawan takdir demi melindungi orang-orang yang dicintainya. Bertahun-tahun, saya yakin dia bisa melakukannya. Sampai kejadian kemarin lusa. Ternyata bukan dia yang dilekati nama perempuan itu, tetapi kamu, dik."
Usai berkata demikian, Pak Dahlan berbalik dan meninggalkanku, berjalan ke arah bapak-bapak lain yang hendak memberangkatkan jenazah Bu Sayuti. Tampak mengobrol sejenak, sebelum dipersilakan oleh Kamto memimpin doa melepas jenazah dari rumah duka.
Bude Denok mendekatiku dan bertanya mengapa Pak Dahlan tampak serius sekali berbicara kepadaku, apakah aku melakukan kesalahan yang membuat beliau bersikap demikian. Aku hanya menggeleng saja, menggeleng dengan pikiran yang semakin kacau-balau, pikiran yang kelelahan menjangkau hal-hal terhingga.
Aku? Dilekati nama perempuan itu? Perempuan siapa? Bukan istri Pak Dahlan? Perempuan yang Pak Dahlan sendiri tidak bisa mengingat namanya? Dengan semua pertanyaan yang menggelembung dan makin besar ini, aku bagai berjalan sendiri. Aku bagai memanggul semuanya sendiri. Pikiran egoisku berkata, seharusnya tidak begini. Seharusnya, jika Mas Gagah itu jodohku, orang yang akan menjadi suamiku, dia ada sini menemaniku. Kenapa dia harus terluka dan tidak sadarkan diri sekian lama begitu? Namun, begitu pikiranku berlari kesana, pikiran lain menyergap. Bukan Mas Gagah yang dilekati nama perempuan yang dimaksud Pak Dahlan, tapi aku. Tapi, aku!
Selamatkan Fumikiri, Miriam ...
Selamatkan dia, wahai Siapa pun Engkau yang menguasai jiwa Miriam ...
Entah keberuntungan dari mana, sore itu Pakde Farobi mengajakku mengobrol soal karang taruna kalurahan ini yang seperti hidup segan mati tak mau. Dia mengeluh, anak muda zaman sekarang sudah bagai tidak lagi membutuhkan perkumpulan semacam ini, berubah menjadi sosok individualis "seperti orang-orang di kota sana". Menjelang pengangkatannya sebagai lurah sekitar dua minggu lagi, Pakde Farobi tidak mau karang taruna melempem. Seperti jargonnya sejak awal, dia ingin anak-anak muda bergerak membangun kalurahan ini.
Ketika itulah, pakde berkata, hingga sekitar 6 tahun lalu, karang taruna kalurahan kami begitu berjaya, banyak menggelar event-event kelas kabupaten. Semua itu, menurut Pakde Farobi, terjadi karena duet Pak Wahid dan Mas Gagah yang sangat kompak. Mereka berdua bahu-membahu mbangun desa. Dengan gaya yang berlebihan, Pakde Farobi menyebutkan, tidak ada yang tidak bisa mereka lakukan.
"Mereka sahabat kental, ya Pakde?" tanyaku serius.
"Iya, sampai-sampai dikira apa itu kalau bahasa anak muda sekarang? Maho? Ha ha ha, kemana-mana berdua, sudah kayak kakak-beradik saja. Beneran Nggil, kalau besok Gagah sudah pulang dari rumah sakit, sudah sembuh, kamu nggak hanya harus berterima kasih kepada dia. Kamu harus berguru sama dia. Kaku-kaku begitu, dia punya banyak pengalaman hidup."
Sekarang, aku mulai tahu harus berlari kemana.
----o0O0o---
"Ngapunten[1] bertamu malam-malam Pak Carik," aku mengangguk, duduk di kursi setelah dipersilakan beliau. Hari belum terlalu malam. Masih ada cukup waktu, meski aku seperti tengah dikejar-kejar sesuatu.
"Ndak apa-apa, Mbak. Wong urusan kalurahan saja saya siap 24 jam, apalagi kalau urusan sahabat saya. 25 jam kalau perlu he he he," Pak Wahid tertawa kecil. Rambutnya masih basah, harum sabun Biore body foam semerbak. Tampaknya baru pulang. Dia tadi juga memberitahuku di WhatsApp, untuk datang saja setelah isya.
"Iya lho Mbak Inggil," Bu Carik yang tadi minta izin ke belakang, menyibak tirai, membawa nampan berisi dua gelas teh hangat, lalu meletakkannya di atas meja. "Dulu saya sampai cemburu. Tiap ada acara, sama Gagah lagi, sama Gagah lagi. Malem minggon[2] bukannya sama pacar, malah sibuk ngurus sana dan sini. Akhirnya malah benar-benar mengabdi ke desa. Ngomong-ngomong pakne, njenengan sudah tahu soal bapaknya Kamto?"
"Bukannya ibunya? Aku nembe rampungan seko kecamatan, je. Ono opo to[3]?"
Bapaknya Kamto? "Eee, kalau nggak salah tadi Pak Dahlan juga bercerita ke Kamto waktu mau pemakaman ibunya. Tapi, saya nggak terlalu menangkap, pakai bahasa Jawa semua."
Bu Carik menyeka pelipisnya yang berkeringat, "Iya, Mbak. Jadi bapaknya Kamto, tadi baru saja ditemukan sudah meninggal di dekat tempat pembuangan sampah akhir Desa Sidomukti."
Astaga .... sebuah kematian lagi. Di lingkaran mereka lagi. Di lingkaran orang-orang itu lagi. Desa Sidomukti adalah desa yang letaknya di ujung barat Kecamatan Godean, berbeda dengan Desa Sidomuncul yang menjadi bagian paling timur kecamatan ini.
"Innalillahi, njur kepiye kuwi Bu[4]?"
"Jenazahnya ditemukan oleh petugas linmas yang sedang bertugas patroli. Sudah diurus sama Kamto. Tak kiro njenengan pun dicriyosi Pak Bimo apa Pak Wisnu je, Pak[5]."
"Ooooo ... iyo, iyo. Mau Pak Bimo ngebel aku pas isih neng kecamatan. Pas aku isih rembugan karo Pak Hanafi. Cuman, aku ora ngeh. Pak Jumadi kan Bapakne Kamto, yo? Jan, lali sakplengan[6]. Yah, maklumlah Mbak Inggil, terlalu banyak pekerjaan, he he he. Monggo Mbak, diunjuk," Pak Carik mempersilakanku minum.
"Tapi, yo mesakake yo Pak, keluargane Kamto[7] ..." Bu Carik mendesah, "jalan hidup orang memang beda-beda, ya Mbak. Kadang, saya berpikir Kamto bisa jadi begitu ya karena dunia di sekitarnya. Dia mau memberontak, ingin jadi lebih kuat daripada siapa pun, biar nggak dinjak-injak sama orang lain ...."
Aku mengangguk-angguk. Berusaha memahami.
"Bune, kowe ki ngomong ngono kuwi, opo Mbak Inggil ora bingung? Mbak Inggil wis ngerti durung crita asline? Jangan-jangan urung ngerti."[8]
"Apa ... yang tentang Pak Jumadi dan Bu Sayuti dulu diguna-guna sama suami pertama? Hingga jadi mengalami gangguan jiwa begitu?" aku mencoba meraba.
"Yang cerita begitu ke Mbak Inggil siapa Mbak?" Pak Carik menyelidik. Eh, berarti ada yang salah.
"Tadi ngobrol-ngobrol sama Pak Yusuf, Pak."
"Yahhh, kalau sama Pak Yusuf itu pasti sudah dibumboni dari sana sini, Mbak. Namanya bakul, pasti ada pemanis-pemanisnya atau ada yang ditambahi, begitu. Jadi, aslinya justru Pak Jumadi dan Bu Sayuti itu dulunya sudah pacaran, jauh sebelum Bu Sayuti bertemu dengan suaminya yang pertama. Waktu masih remaja, begitu. Runtang-runtung kemana-mana berdua, istilahnya apa itu ya, koyok mimi lan mintuno,” Pak Carik menerangkan.
“Mimi lan mintuno?”
“Aduh, apa ya nama bahasa Indonesianya? Sejenis kepiting itu lho Mbak, yang biasanya ada di pantai.”