Kau penghuni surga,
sedang aku tercipta
Dari titik semua mimpi terlarang bermula
Batinku buta,
dan entah bagaimana
Kuputuskan merampasmu dari ketinggian sana
Dengarlah sumpah membahana
yang terdengar di telingamu saja
Jika Tuhan tiada berkenan akan cinta kita
Akan kubakar semuanya termasuk Neraka
Ku 'kan berlari
menyeberang titian rapuh
yang tipisnya bagai rambut dibelah tujuh
Walau iblis menarikku jatuh
Malaikat mendorongku rubuh
Kuputuskan memilikimu selama-lamanya
Lihatlah sumpah yang mewujud nyata
Kubawa kau ke langit tempat awan tertawa
Jika Tuhan tiada berkenan akan cinta kita
Akan kubakar semuanya termasuk Neraka
Lelaki yang menggunakan stopmap kuning untuk melindungi kepalanya itu berubah. Lelaki yang terburu-buru itu berubah. Tidak, tidak. Bukan tubuh dan pakaiannya yang berubah. Ia masih mengenakan jas dan celana panjang warna biru itu. Hanya kepalanya saja yang berubah: menjadi palang pintu perlintasan kereta api.
Dia Tuan Fumikiri.
Tuan Fumikiri.
Bertahun-tahun lampau aku pernah bertemu dengannya, dalam mimpi yang bukan mimpi, dalam kenyataan yang bagaikan mimpi. Aku yang masih belia, aku yang masih mencari kepik emas di sawah, melihat kunang-kunang pada malam hari, aku yang selalu merasa datang ke Jogja adalah datang ke arena bermain yang luasnya luar biasa: yang ragam permainannya tak terhingga.
Seingatku malam itu kami menonton pasar malam. Aku, Pakde Farobi, dan Bude Denok. Pengunjung tumpah ruah, berdesakan di mana-mana, menjajal wahana beraneka rupa. Aku menikmati semuanya, berteriak dan melambaikan tangan kepada bude ketika duduk di komidi putar, memejamkan mata ketika menjilati harum manis yang langsung lumer di lidah, menunjuk dan memilih boneka Hello Kitty lucu yang dipajang di sini dan di sana.
Karena kelelahan, ketika pulang, aku diletakkan di tengah, antara Pakde Farobi yang menyetir motor Honda Astrea 800, dan Bude Denok yang mengusap-usap keningku. Hawa dingin yang tadi belum terasa, mulai merayap ketika kami mendekati perlintasan kereta api dusun Gowangan. Aku setengah mengantuk.
Seingatku, dan ingatanku ini kemudian diralat Bude Denok, motor kami mendadak mogok. Tepat ketika palang pintu perlintasan kereta api itu hendak menutup.
Pakde Farobi buru-buru menepikan motor dari tengah jalan, langsung berjongkok untuk mengecek apakah ada yang salah atau tidak di bagian busi. Bude Denok menggendongku yang sudah semakin liyer-liyer. Ketika itulah aku yang setengah sadar melihat ke perlintasan kereta api sebelah sana. Di tengah perlintasan itu, di atas rel kereta yang mungkin mendingin, ada seseorang yang sedang berdiri. Tubuhnya manusia, tetapi kepalanya tidak. Kepalanya adalah palang pintu perlintasan kereta api. Matanya adalah lampu merah yang berkedap-kedip bergantian.
"Nona kecil Anda bisa melihat saya?"
"Iya," jawabku lemah.
"Wow, luar biasa! Mungkin kita memang ditakdirkan bertemu di sini. Saya sedang menunggu seseorang, seseorang yang sekitar delapan tahun di atas Anda. Sudah delapan tahun lamanya saya menunggu dia."
"Di atas rel kereta api? Menunggu untuk apa?"
"Saya akan membawa dia berkeliling dunia naik kereta. Bukan dunia yang ini, dunia yang lain lagi. Dunia yang isinya penuh dengan permainan beraneka rupa. Dunia yang semuanya ceria, awan-awan yang berbicara, air hujan yang berlomba-lomba untuk jatuh tertawa-tawa, matahari yang main petak umpet dengan anak-anak yang bahagia."
"Apa ada dunia seperti itu?"
"Ada, jelas sangat ada. Dunia itu ada di dalam mata kiri saya. Nona kecil mau kesana?"
"Dunia yang lebih seru daripada pasar malam yang barusan saya lihat?"
"Iya, 1000 kali lipat, ah ... sejuta kali lipat lebih seru."
"Kalau begitu saya mau," aku turun dari pelukan Bude Denok. Berjalan, ah berlari ke arahnya.
"Waah, asyiknya! Ayo, ayo, kemari Nona Kecil. Tuan Fumikiri ini tidak akan pernah mengecewakan Anda. Tuan Fumikiri ini akan mengabulkan semua yang Nona pinta," tangannya membentang hendak menyambutku.
Ketika itulah, tanganku ditarik oleh Bude Denok. Aku menoleh ke arahnya. "Nok, mau kemana? Sini, motornya Pakde sudah menyala lagi."
Aku memalingkan muka kembali ke perlintasan kereta api itu. Tuan Fumikiri sudah tidak ada. Dia menghilang. Menghilang lenyap tanpa jejak.
“Bude, Tuan Fumikiri di mana?”
“Tuan Fumikiri apa? Sudah, sudah, pulang yuk. Sudah malam, ini.”
“Tuan Fumikiri yang mau mengajakku ke dunianya, tempat awan-awan tertawa, hujan-hujan bernyanyi.”