Sayonara, Tuan Fumikiri

Fitra Firdaus Aden
Chapter #17

Akulah Sang Benteng Tak Terkalahkan


"Tolong, Tuan Fumikiri! Tolong jangan habisi saya! Saya tidak bermaksud buruk," lelaki tua berperut buncit yang terduduk itu memegangi celana panjang Fumikiri. Mukanya sudah nyaris tidak berbentuk lagi dihajar di sana dan di sini.

Fumikiri tidak bergerak sedikitpun. Tidak berniat mendorong sang lelaki tua untuk jatuh, tetapi juga tidak berniat untuk melepaskan celananya dari tarikan yang semakin lama semakin kencang saja. Tatapannya penuh benci kepada sang orang tua, tatapan yang bagaikan hendak memotong-motong sosok tubuh di depannya.

"Tuan Fumikiri, apakah dia bisa dibunuh saat ini?" salah satu Mehmed yang paling senior menghampiri.

Fumikiri menggeleng, "biarkan saja. Biar dia sadar, tidak semua permintaaan bisa dikabulkan, bahkan oleh Dia yang Tidak Bisa Disebut Namanya."


Malam ini, Regu Miriam Gagak berhasil mengepung seorang pelubang takdir. Dialah lelaki tua berperut buncit tadi. Dia sengaja menjual jiwanya kepada iblis agar bisa mencurangi takdir. Dia mengaku siap untuk masuk neraka. Namun, ketika para Mehmed level terendah masuk ke kamar tidurnya, lantas menghajarnya saja, dia sudah minta ampun tidak karuan.

"Kamu bersalah, kakek tua. Kamu bermaksud mencurangi takdir yang sudah mutlak adanya. Apa maksudmu? Apa kamu berniat memperolok Dia Yang Tidak Bisa Disebut Namanya? Apa kamu mengira lebih pintar daripada para bangsawan Centro Fia yang setiap saat bertugas memantau kejahatan-kejahatan para manusia?!" Fumikiri muda menghardik sang lelaki tua. "Orang-orang jahat seperti kamu layak dimusnahkan. Masuk neraka berkali-kali pun tidak cukup untuk membayar kesalahanmu ini! Paham?!"

 

"Fumikiri, hentikan! Sudah cukup! Cukup sahabat," seseorang masuk ke dalam kamar. Kamerad muda. Ia mengenakan kaus Hard Rock Cafe dan celana panjang kain warna coklat muda. Cara berpakaiannya kontras dengan Fumikiri yang mengenakan seragam Mehmed. "Hentikan. Untuk apa merundung orang seperti dia?”

"Kamerad, dia hendak melubangi takdir! Itu kesalahan yang paling tidak bisa diampuni di dunia kita! Tidak ada alasan yang cukup kamu memintaku berhenti. Selain itu, lain kali lebih tertiblah. Gunakan seragammu! Pakaian kebesaran kita itu! Kamu harus memberi contoh kepada Mehmed-Mehmed muda ini!"

Kamerad muda hanya menggeleng-gelengkan kepala. 

"Sudah, sudah! Kenapa kalian selalu bertengkar, bahkan saat bekerja begini?"

Perempuan yang datang paling belakangan itu adalah Miriam Gagak. Sesuai namanya, kepalanya berwujud kepala gagak, sedangkan tubuhnya seperti tubuh manusia biasa. "Fumikiri, hentikan kebiasaanmu merundung orang. Kamerad, cobalah untuk mematuhi peraturan. Kalian ini dua sahabatku, aku tidak bisa memihak salah satu."

"Dengarkan itu, Kamerad, Seragam!" Fumikiri menunjuk sahabatnya yang hanya mengangkat bahu dan memilih berlalu dari ruangan itu.


 “Lelaki tua ini hendak diapakan Miriam?” Fumikiri menoleh kepada kaptennya.

“Aaah, Nona Miriam Gagak .... Penambal takdir terbaik yang pernah ada di Centro Fia,” lelaki tua itu menengadah ke arah orang yang ia maksud, meski tangannya masih berpegangan di celana Fumikiri. “Nona, tolong dengarkan saya. Sungguh, saya tidak ingin mati sekarang, Nona. Sungguh, saya punya alasan untuk melakukan ini semua. Saya bisa menjelaskan segalanya. Tolong ....”

Miriam Gagak berjongkok, membuat tingginya sejajar dengan sang lelaki tua. “Tuan Homura, kesalahan Anda sangat fatal. Anda membangkitkan kedua putri Anda yang sudah meninggal. Kesalahan-kesalahan lain seperti menukar takdir mungkin masih bisa diampuni. Tetapi, ini sulit. Sangat sulit. Anda tidak mungkin didengarkan atau diajukan ke Hakim Agung. Satu-satunya pilihan hanyalah eksekusi. Bisa di sini, atau di Pulau Sokotra.”

“Nona Miriam, saya tahu saya salah. Saya tahu dosa saya tidak terampuni, tetapi jangan biarkan saya mati seperti ini. Setidaknya ...”

DOR!

Tubuh Tuan Homura rebah ke lantai, meninggalkan bunyi berdebum. Ia tewas dengan mata membelalak. Darah kental menggenang. Fumikiri yang menembaknya.

“Fumikiri! Apa-apaan kamu ini?!” Miriam Gagak menyergah. Berdiri bangkit memandangi sahabatnya. Matanya nyalang. Sementara itu, para Mehmed muda segera bergerak mengurus mayat Tuan Homura, memungut, dan memasukkannya ke kantong jenazah yang bakal diangkut ke dalam mobil menuju neraka.

"Kenapa? Bukankah perintah untuk kita adalah mengekusi orang ini? Pilihannya adalah di sini atau di Pulau Sokotra. Aku tidak salah bukan, membuat pekerjaan kita lebih cepat?" Fumikiri mendesah, "Aku bosan dari tadi mendengar rengekannya. Aku bosan dari tadi mendengar keluhannya seolah-olah sejak awal dia tidak bisa membayangkan bakal berakhir seperti apa."

Kamerad yang mengintip dari luar pintu sana hanya berdecak kecewa.

"Fumikiri, dengarkan," Miriam Gagak tidak tahan untuk tidak berbicara. Baginya, sang sahabat sudah melewati batas. Batas yang ia buat bertahun-tahun dan selalu dijaga oleh semua anggota di regunya.

"Fumikiri, kau memang berhak membunuh pelubang takdir. Tapi, dengarkan cerita mereka dulu. Perhatikan mereka pada saat-saat terakhirnya. Mereka yang melubangi takdir ini bukanlah orang yang asal berbuat kejahatan. Mereka itu selalu punya alasan. Kamu harus mendengar alasan-alasan itu, kamu harus memahami itu. Kita tidak bekerja asal-asalan. Kita tidak bisa membunuh begitu saja. Setidaknya itu yang berlaku di reguku. Kamu paham?!"

"Baiklah," Fumikiri mengangkat bahu. "Aku harus mendengar jeritan para pendosa yang menyesali perbuatan mereka. Betapa ironisnya."

"Aku sedang tidak mau berdebat denganmu," Miriam Gagak melangkah keluar ruangan. "Kita masih ada satu urusan lagi. Istri Tuan Homura, Nyonya Lada, sudah ditangkap di perkampungan sebelah."

Fumikiri muda mengacungkan jempolnya, lantas mengikuti Miriam.


Saat ini, di seluruh wilayah Negeri Ruh, tidak ada tim penambal takdir yang sebaik regu Miriam Gagak.

Banyak yang menyebut, itu terjadi karena sikap Fumikiri yang dikenal tanpa ampun, nyaris tak berhati membabat semua pelubang takdir yang ditangkapi. Banyak pula yang menyebut itu terjadi karena kesigapan Kamerad, yang bisa melacak pelubang takdir di mana pun mereka berada, bersembunyi di tempat tergelap sekalipun misalnya.

Namun, lebih banyak lagi yang mengatakan, ini semua karena kepemimpinan Miriam Gagak. Dia yang selalu tenang dalam setiap situasi, dia yang selalu teratur dan tidak pernah terpancing untuk bereaksi, dia yang menyelesaikan masalah tanpa masalah berarti. Jika Fumikiri adalah tangan kiri, dan Kamerad jadi tangan kanan, maka Miriam adalah otak yang menggerakkan keduanya.

----o0O0o---

 

Ketika tiga 'bersaudara' itu tiba di luar rumah persembunyian Tuan Homura, sudah ada seorang wanita berdiri di depan pagar. Wanita yang wajahnya merah padam. Wanita yang ditahan oleh para Mehmed muda untuk tidak berontak. Dia adalah Nyonya Lada.

Begitu melihat Miriam Gagak, Nyonya Lada langsung menyalak, "Nona Miriam! Mana suami saya?! Nona Miriam, dia belum dibunuh bukan?! Nona Miriam, saya ingin bicara dengannya. Ini kesalahan kami berdua. Saya ingin dihukum mati bersamanya! Mana dia, Nona Miriam?!'

Kamerad muda hanya bisa memalingkan muka. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terluka. Berapa kali dia sudah menyaksikan hal-hal semacam ini? Berapa kali lagi dia harus melihat adegan-adegan seperti ini? Jika saja Fumikiri mau menahan diri sejenak, jika saja Fumikiri mau mematuhi kode etik yang diberikan Miriam Gagak, maka tidak perlu ada teriakan ini.

Kamerad selalu merasa pekerjaannya menyakitkan. Ia harus selalu bersedia untuk menangkap orang-orang yang melubangi takdir. Ia tidak boleh menolak satu perintah pun soal pelubangan takdir. Ia harus terbiasa melihat Miriam Gagak menitikkan air mata setiap kali membunuh para pendosa. Ia harus terbiasa melihat Miriam Gagak duduk termenung di jendela, memandang langit yang luas sana, dengan tatapan hampa penuh luka.

 

"Mohon maaf, Nyonya Lada ... mohon maaf sekali, kami tidak bisa memenuhi keinginan Anda. Tuan Homura sudah meninggal. Jasadnya akan kami perlakukan sebaik mungkin. Mohon maaf ...." Miriam Gagak dengan lembut menyapa wanita tadi.

"Suami saya sudah mati?! Hei, kukira regu Miriam Gagak adalah yang paling bermoral dari semua regu penambal takdir. Nyatanya seperti ini? Kamu menurunkan derajatmu sendiri, Miriam? Kamu tidak memberi kesempatan seseorang untuk menjelaskan duduk perkara lebih dahulu? Apa keterkenalan sudah membuatmu abai akan hal yang membuatmu bisa mencapai posisi ini? Hei, Miriam! Mana suamiku?!"

Miriam mengangguk lemah, "mohon maaf, Nyonya Lada. Kami tidak bisa berbuat lebih jauh lagi ...."

"Cuih!"

Ludahan Nyonya Lada mendarat di pipi Miriam Gagak. Sang kapten regu XVIII tersenyum lemah. Matanya berkaca-kaca, "mohon maaf, sekali lagi mohon maaf ...."

"Sejuta kali kau sampaikan ucapan maafmu tidak akan berguna! Miriam Gagak, dengarkan! Suamiku membangkitkan kedua anak kami karena permintaanku! Suamiku itu, demikian sayangnya dia kepadaku. Dia rela melakuan apa saja demi diriku! Kenapa dia yang kalian bunuh? Seharusnya aku, seharusnya aku yang kalian habisi lebih dulu! Suamiku Homura tidak layak diperlakukan seperti ini!

"Dengarkan kalian hei para penambal takdir! Kalian berdiri congkak di atas hukum, merasa bisa melakukan begini dan begitu, tidak sadarkah ada yang tidak kalian punya? Iya, kalian tidak punya cinta. Kalian tidak punya rasa kehilangan! Kalian hanyalah mesin yang ditugaskan Dia Yang Tidak Bisa Disebut Namanya! Kalian sama sekali bukanlah seperti kami! Kalian bukan manusia!"

"Uh!" Fumikiri hendak maju, tetapi dia ditahan Miriam Gagak. Sekeras apa pun Fumikiri hendak menyentak, ia sama sekali bukan lawan Miriam Gagak. Jika Fumikiri dan Kamerad punya kekuatan yang setara dengan seribu Mehmed, maka Miriam Gagak memiliki kekuatan yang setara dengan 20 juta Mehmed. Itulah alasan dia menjadi ketua regu terbaik. Itulah beban yang harus ia tanggung seumur hidup.

“Miriam, lepaskan!” Fumikiri sekali lagi menyentak.

“Kamu lebih lemah dariku, kamu harus menerima keputusanku,” jawab sang ketua.

“Perempuan itu menghinamu! Dia yang paling berdosa di antara kita, sekarang berlagak jadi sosok paling bersih di dunia kita! Kamu terima diperlakukan demikian? Aku tidak terima! Hei, uh!” ketika Fumikiri bergerak lagi, mulutnya dibungkam oleh Kamerad yang memitingnya dari belakang. “FFhh—fffh!”

“Kamu marah pada Nyonya Lada, sahabat?!” bisik Kamerad lemah, “Kamu tahu dia meluapkan amarah seperti itu karena siapa? Karena ulahmu! Jika kau tadi tidak berkepala panas dan mau mendengarkan Miriam, ketua kita tidak akan dihina sebegitu rupa. Kamu mau marah? Marahlah pada dirimu dulu, Fumikiri! Kamu yang salah! Miriam menanggung beban yang kamu ciptakan! Miriam pasang badan untuk kesalahan yang kamu perbuat! Camkan itu!”

Mata Fumikiri membelalak, merah menyala, lalu sedetik kemudian redup. Dia tidak lagi memberontak, tidak lagi bicara. Badannya melemah. Matanya sayu. Malam itu sesuatu terjadi pada dirinya; sesuatu yang tidak pernah dibayangkan kedua sahabatnya itu.

----o0O0o---

 

Roda berputar, jalanan terbakar

Malaikat kematian atau iblis yang sedang menyamar

 

"Semuanya berkumpul!"

Begitu mendengar aba-aba, Fumikiri yang menuang teh, Kamerad yang menyeruput kopi, dan para Mehmed yang menonton televisi berdiri. Mereka menatap Miriam Gagak yang memasang wajah paling serius yang pernah diperlihatkannya. Misi kali ini istimewa dan berbahaya. Mereka tidak akan menangkap orang-orang biasa, melainkan makhluk istimewa: salah satu keluarga bangsawan Centro Fia.

"Kawan-kawanku, hari ini kita akan menangkap Nona Fatima. Kalian tentu sudah tahu siapa dia, tidak perlu kujelaskan apa-apa lagi tentangnya,” Miriam membuka percakapan sembari menunjuk layar yang memajang foto target kali ini.

Fumikiri dan Kamerad mengangguk-angguk. Begitu pula para Mehmed yang ada di ruangan itu. Nona Fatima, salah satu yang terindah dari Ras Malakut. Semua mata yang melihatnya akan terkesima. Semua yang mendengar suaranya akan tunduk tak berdaya.

"Nona Fatima tidak pernah punya catatan kejahatan sebelumnya, sedikit pun saja. Namun, kali ini kita akan menindaknya karena dia membangkitkan suaminya."

Lihat selengkapnya