"Awakmu ngomong iki tenanan to Jum[1]?!" Pak Dahlan memandang Jumadi tajam-tajam. Lelaki yang datang bertamu 2 jam setelah azan isya itu, mengangguk dengan serius pula.
"Kulo mboten gadhah bukti menopo-menopo, Pak. Tapi, panjenengan mangertos piyambak pripun polahe Ponijan. Panjenengan nggih ngertos pripun kulo kalih Sayuti sakderengipun piyambake kepanggih Ponijan[2]."
Pak Dahlan mendesah panjang lalu menatap langit-langit rumahnya, "Aku ora ngerti, ngopo kowe malah teko mrene, Jum. Aku ora ngerti babagan koyo ngene iki. Aku nek mbok kon ceramah, nerangke agomo, isih iso. Tapi nek mbok critani soal pelet, aku percoyo ora percoyo[3]."
Jumadi memejamkan mata. Ia tidak tahu lagi harus mengeluh kepada siapa. Ia tahu, Pak Dahlan tidak paham apa-apa tentang masalahnya, tentang Sayuti, tentang Ponijan. Tapi, dia harus bercerita. Dan satu-satunya orang yang paling mulia di desa ini menurutnya adalah Pak Dahlan. Jika Pak Dahlan tidak bisa berbuat apa-apa, maka selesailah sudah.
"Kulo nyuwun tulung Pak Dahlan, saestu. Kulo yakin, Ponijan ngangge ilmu ingkang aneh-aneh. Menawi mboten, Sayuti mboten bakal kepilut kalih piyambake[4]," Jumadi mengeluarkan kata-kata putus asa terakhirnya.
"Tapi Jum, nek ceritamu bener, terus ndilalahe Sayuti bar kuwi sadar, opo Ponijan ora bakal ngamuk? Wong sing wis melu dalane iblis biasane bakal nglakokke opo wae, sing penting kepinginane kecandhak.[5]"
Jumadi mengepalkan tangannya, "Sayuti niku jodho kulo Pak! Nek kulo kedah njegur segara, bakal kulo lakoni[6]!"
Ruang tamu itu mendadak sunyi. Tidak ada yang berbicara lagi. Hanya lampu terang yang menerangi teh penuh yang dari tadi tidak kunjung diminum. Kedua lelaki itu larut dalam pikiran masing-masing. Seseorang datang meminta bantuan kepada orang yang tidak tahu cara membantunya, padahal orang yang didatangi itu adalah satu-satunya harapannya.
"Kulo ngertos Pak Dahlan mboten paham babagan mekaten. Tapi, kulo yakin Pak Dahlan menika tiyang ingkang sae. Mboten kados kulo, mboten kados Ponijan. Kulo namung saged matur, mugi-mugi Kanjeng Pangeran maringi pitedah dateng pak Dahlan[7] ...."
Jumadi orang yang baik. Dia bukanlah sebatas seseorang yang kecewa karena cinta sejatinya direnggut oleh pernikahan. Dia sedang memperjuangkan haknya. Haknya dan Sayuti. Pak Dahlan yakin pula akan hal itu. Tapi, bagaimana cara membantu mereka mendapatkan hak itu?
------o0O0o---------
"Mas, tadi aku ketemu Sayuti di pasar ..."
Bu Rahma, istri Pak Dahlan, tiba-tiba saja berbicara begitu ketika keduanya sedang menonton program Dunia Dalam Berita. "Aku kok kepikiran dengan ucapan Jumadi kemarin-kemarin itu ya Mas?"
"Gimana, Dik? Sayuti bicara ke kamu?"
"Nggak ngomong apa-apa, Mas. Tapi, matanya dia. Dia memandangku seperti minta pertolongan, minta diselamatkan. Waktu itu, aku langsung kepikiran dengan yang diomongkan Jumadi kepada njenengan kemarin ... rasa-rasanya kok ada benarnya."
Pak Dahlan diam sejenak. Ketika istrinya sudah berkata, berarti memang ada yang tidak biasa. Bu Rahma memang pendiam, tetapi punya firasat yang tidak pernah bisa diabaikan. Pak Dahlan sudah berkali-kali merasakan kuatnya firasat sang istri. Pak Dahlan sudah berkali-kali terselamatkan oleh firasat sang istri.
"Menurutmu, kita harus membantu Sayuti dan Jumadi, Dik?"
"Iya, Mas. Sebaiknya begitu. Siapa tahu, ini bisa menjadi lantaran agar kita segera dititipi anak .... aku merasa begitu, Mas. Mungkin ini jalannya."
Pak Dahlan hanya bisa mengangguk. Sudah 7 tahun sejak mereka menikah, belum ada tanda-tanda Bu Rahma hamil. Mereka sudah melakukan berbagai cara, tetapi tidak juga berhasil. Entah apa yang sedang terjadi. Namun, Bu Rahma selalu berkeyakinan, memang belum saatnya putra mereka, yang ia sebut satu-satunya, keluar menghadapi dunia. Suatu saat nanti, ketika segalanya sesuatu sudah terurai, waktunya akan tiba.
“Baiklah, Dik. Kuusahakan”.
------o0O0o---------
"Nek kulo nggih mboten percoyo sing ngeten niku[8]," Pak Dahlan tertawa kecil sembari menyeruput teh hangat di gardu ronda. Ini Rabu malam, atau dalam istilah masyarakat Jawa, malam Kamis, jatah Pak Dahlan ikut kelompok ronda. Pembicaraan hangat, gosip-gosip kecil, dan guyonan terdengar sampai Ponijan mampir.
Lelaki berkumis lebat itu datang, menumpang makan gorengan, lantas memamerkan kehebatannya soal dunia hitam. Pak Dahlan memasang wajah yang terkesan sama sekali tidak tertarik, berbeda dari yang lain, yang memberi pujian basa-basi kepada Ponijan. Melihat hal ini Ponijan tak suka.
"Nek keluargane njenengan kenging, mungkin jenengan nembe percoyo[9]," katanya sinis.
"InsyaAllah mboten bakal kenging. Menawi wonten sing pengin nyilakani, tasih wonten Allah. Yen wis nduwe Allah, moso' wedi karo manungso po iblis? Nggih mboten, Bapak-bapak[10]?"
Yang lain tertawa saja mendengarnya. Namun, bagi Ponijan ini adalah penghinaan. Ini adalah penghinaan sekaligus tantangan.
Sekitar tiga hari berselang, dalam tidurnya yang lelap, Pak Dahlan bermimpi. Ia tiba-tiba saja berdiri di sebuah dataran tinggi pulau terpencil. Pohon-pohon aneh bertumbuhan di sana dan di sini. Angin kencang menerpa tubuhnya sedemikian rupa. Sarung yang dikenakannya berkibar-kibar seperti gulungannya hendak terurai saja.
Seorang perempuan cantik berdiri di hadapannya. Perempuan yang kecantikannya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Matanya besar dengan bola mata hijau. Daun telinganya lancip. Rambutnya yang bergoyang diembus angin tampak tebal dan bergelombang. Perempuan itu membawa bayi perempuan.
Di sebelah perempuan itu, tampak perempuan lain. Perempuan yang bukan dari kalangan manusia. Tubuhnya memang tubuh perempuan dewasa, tetapi kepalanya adalah kepala Gagak. Pak Dahlan berkali-kali mengalihkan pandangan, antara perempuan cantik tadi, perempuan berkepala Gagak, dan bayi perempuan itu.
"Sinten nggih panjenengan-panjenengan? Kulo teng pundi niki[11]?"
"Apakah beliau orangnya, Miriam?" perempuan cantik itu membuka bibirnya.
Perempuan berkepala gagak mengangguk, "Benar, Nona Ayn. Dia orangnya. Seorang bapak yang kelak memiliki anak luar biasa."
"Kulo mboten gadhah putra. Menawi panjenengan purun, mbok menawi bayi menika saged dititipaken kalih kulo mawon[12]," Pak Dahlan berbicara sembari menunduk-nunduk.
Tepat ketika Pak Dahlan berkata demikian, tubuhnya diguncang-guncang dengan keras. Ia terjaga dari tidurnya. Menatap langit-langit kamar. Mendengar suara sang istri dari samping, "Mas, Mas, ini lho! Ada sesuatu!"
Seiring dengan kesadaran yang meningkat, Pak Dahlan menoleh ke arah istrinya. Bu Rahma menunjukkan sesuatu yang digenggamnya, sekitar 5 buah jarum pentul. "Mas, ini kutemukan ada di sebelah bantal kita! Menancap begitu saja! Ada apa ya Mas? Kok sampai ada yang begini?!"
Pak Dahlan bergegas bangun, "jarum?" lalu memeriksa benda-benda yang ada di genggaman tangan sang istri. "Apa ada yang mengirimi kita sesuatu ya, Dik?"
"Tidak tahu, Mas. Tapi ini aneh sekali, aku nggak punya jarum yang seperti ini ...."
Pak Dahlan merenung, memikirkan mimpinya, memikirkan jarum-jarum itu, lalu memikirkan ucapan Ponijan di pos ronda beberapa hari lalu .....