Sayonara, Tuan Fumikiri

Fitra Firdaus Aden
Chapter #19

Menjadi Iblis


Pagi basah musim penghujan

Lagi-lagi datang menyapa

Hari-hari kala aku kehilangan

Berkeliling memenuhi ruang hampa

 

Semua berlari kencang

Meninggalkan yang harus ditinggalkan

Akan halnya diriku masih saja

mengejar bayang-bayang kemarin ...

 

Di dataran tinggi Pulau Fihmir itu, sang nona kecil berdiri angkuh. Nona kecil yang membuat semua pertahanan Tuan Mim runtuh. Nona kecil yang keberadaannya sama sekali tidak terdeteksi, tidak tersentuh. Nona kecil yang seharusnya sudah diselesaikan Tuan Fumikiri kemarin lusa, tetapi entah bagaimana masih utuh.

“Dengar baik-baik Tuan Mim! Menurut Anda, apa itu bahagia?! Apa itu menderita?! Memangnya, jika Anda mati, Nona Ayn hanya akan berdiam diri meratapi kepergian Anda? Memangnya jika Anda mati, Nona Ayn hanya akan menghancurkan dirinya sendiri sampai tak bersisa?! Memangnya, jika Anda mati, Nona Ayn tidak bisa menghabiskan sisa hidup dengan bahagia mengenang hari-hari bersama Anda?!"

Nona kecil itu memberondong Tuan Mim tanpa henti. Nona kecil itu menyerang dengan pertanyaan demi pertanyaan yang menyakiti hati. Nona kecil itu membuat sang bangsawan ternama Centro Fia mundur selangkah demi selangkah, seakan semua yang disusun Tuan Mim sejak semula jadi tak berarti.

"Jawab saya, Tuan Mim! Apakah dia tidak berhak bahagia sembari mengingat Anda sebagai satu-satunya kekasih yang dicintainya?!”

Tuan Mim diam tak bergerak. Tapi, otaknya tidak. Pertanyaan nona kecil itu membuat ingatannya mundur jauh ke belakang, ke masa lalu bertahun lampau yang telah luluh lantak.

------o0O0o------

  

Jika Centro Fia adalah jantung Negeri Ruh, maka Menara Ufuk yang tegak menjulang di pusat Centro Fia adalah jantungnya jantung Negeri Ruh. Jika Centro Fia adalah tempat semua makhluk dari segala penjuru menuju, maka Menara Ufuk adalah tempat semua makhluk dari segala penjuru menengadah. Jika Centro Fia adalah ibukota tempat orang berbahagia, maka Menara Ufuk adalah tempat jiwa-jiwa pilihan berpesta.

Iya, Menara Ufuk yang tegak menjulang bagai menantang langit itu adalah puncak dari segala puncak. Ia bukan cuma bangunan tertinggi di Centro Fia, tetapi juga menjadi tempat tinggal kaum pilihan yang terbiasa mencecapi kenikmatan hidup di puncak.

Ia bukan sekadar jadi tempat hunian paling eksklusif bagi kaum Malakut. Ia menjadi arena para bangsawan ---orang-orang paling terhormat dari kaum Malakut--- berlagak sebagai raja, menggenggam segala kemewahan dan kekuasaan. Ia menjadi ruang para bangsawan mengetahui segala urusan. Namun, ia juga sekaligus menjadi tempat orang-orang mulia ini duduk diam menanti kematian. 

Di puncak Menara Ufuk, tinggallah Tuan Mim dan Nona Ayn, sepasang kekasih yang kemanapun pergi selalu bersama. Tinggallah Tuan Mim dan Nona Ayn, sepasang kekasih yang tidak pernah tidak bahagia. Tinggallah Tuan Mim, sang penjaga Pohon Iliahiah.

Jika Centro Fia adalah jantung, lalu Menara Ufuk adalah jantungnya jantung, maka Pohon Ilahiah adalah jantung dari jantungnya jantung. Ia tinggi menjulang di puncak Menara Ufuk, menjadi hal pertama yang dipandang dari semua penjuru Centro Fia. Ia tinggi menjulang di puncak Menara Ufuk, menjadi hal pertama yang dipuji dan dipuja penduduk Centro Fia.

Seperti pohon air mata, pohon air putih, atau juga disebut pohon Mim, pohon ini menghasilkan daun-daun penuh nama. Namun, pohon ilahiah hanya menampung nama-nama kaum Malakut, kaum paling mulia di Centro Fia. Cara Pohon Ilahiah bekerja pun berbeda. Menjelang kematian seorang malakut, daun atas nama sang malakut akan jatuh ke tanah. Tuan Mim akan memungutnya, lantas mencatat nama itu dalam buku tulis takdir.

Sudah puluhan tahun berlalu sejak ia pertama kali mencatat nama kaum Malakut di buku tulis takdir. Sudah puluhan tahun berlalu sejak ia mendapatkan tugas mulia ini, mengikuti jejak turun temurun keluarganya yang semuanya kini sudah lenyap oleh takdir.

Semua dijalaninya dengan sepenuh hati. Semua ditulisnya dengan tekun. Ada kalanya Tuan Mim bersedih kala harus menulis nama orang-orang yang dikenalnya. Namun, Nona Ayn menguatkan hatinya, mengajaknya tertawa, menertawakan hidup yang getir, menertawakan hari-hari kala mereka sulit tertawa.

Belakangan, ada seseorang yang masuk ke dalam kehidupan Tuan Mim dan Aynnya tercinta. Dia adalah Miriam Gagak, kapten Regu XVIII yang tiada bandingannya.

Semua bermula dari penyelidikan pelan-pelan yang dilakukan Miriam terhadap gerak-gerik Nona Fatima, adik tiri Nona Ayn. Penyelidikan khusus yang bahkan belum diungkap Miriam kepada Fumikiri dan Kamerad, dua sahabatnya.

Miriam membuka percakapan basa-basi biasa dengan Nona Ayn. Bertanya ini dan itu tentang hal-hal sederhana. Lalu lama-lama mereka semakin akrab, mengabaikan jalan takdir dan pandangan hidup kaum Makiyya dan Malakut yang jauh berbeda.

Miriam Gagak diterima Tuan Mim dengan suka cita. Perempuan berkepala gagak itu menambahkan sudut pandang lain yang tidak pernah ia punya. Pekerjaan perempuan berkepala gagak itu sebagai eksekutor para pelubang takdir, membuat Tuan Mim sadar, betapa banyak orang yang terluka oleh tajamnya pisau takdir yang mengiris takdir mereka tanpa ampun, sedangkan orang-orang ini tak punya daya dan upaya.

“Fumikiri orangnya selalu panas kepalanya, sedangkan Kamerad terlalu takut menyampaikan apa yang jadi isi kepalanya kecuali di depan Fumikiri dan saya. Keduanya selalu bertengkar, dari urusan kecil sampai hal-hal besar. Tapi, anehnya mereka selalu bersama. Tapi, anehnya, saya yang kelelahan menghadapi mereka, selalu tak bisa meninggalkan keduanya,” kata Miriam, yang disambut tawa Tuan Mim dan Nona Ayn bersama-sama.

“Tapi kalian orang-orang Makiyya adalah orang-orang suci yang sebenar-benarnya lho, Miriam,” Nona Ayn menimang-nimang, “kalau kami, orang-orang Malakut, mungkin dianggap suci karena darah yang mengalir di tubuh ini. Tetapi nyatanya, orang-orang Malakut juga yang paling sering melubangi takdir. Sedangkan kalian, para Makiyya tidak pernah berbuat serong, sedikit saja.”

“Nona, jarang sekali orang Malakut memuji Makiyya,” Miriam Gagak tertawa, “Tapi bisa jadi itu bukan pujian, Nona Ayn. Soalnya, bukannya kami tidak pernah berbuat serong, tetapi kami tidak bisa melakukannya! Ha ha ha, kami diprogram untuk mematuhi aturan, seaneh apa pun aturan itu. Di sanalah saya kadang iri dengan Malakut. Anda-Anda ini bisa bebas berbuat sekehendak hati.”

“Dengan konsekuensi hukuman yang setimpal pula,” Tuan Mim menanggapi. “tanpa pengadilan, langsung menjadi bahan bakar tungku Neraka.”

 

Beberapa bulan lalu, Tuan Mim dan Nona Ayn kehilangan putri mereka, Musim Gugur. Mereka berdua menyaksikan sendiri bagaimana daun bernama Musim Gugur jatuh dari Pohon Ilahiah. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana Musim Gugur mendadak panas, lantas tak sadarkan diri. Mereka sudah melihat takdir lebih dahulu, tetapi tak bisa berbuat apa-apa untuk memperbaiki takdir itu, hanya bisa menerka-nerka kapan ia datang merenggut buah hati tercinta.

Semua Malakut yang kehilangan orang-orang tercinta masuk dalam radar Miriam Gagak. Ia mesti memastikan para malakut itu tidak melakukan hal-hal mencurigakan, mengundang iblis untuk mengembalikan nyawa, atau menukar takdir yang membawa luka. Semua malakut dipantau Miriam Gagak, tidak terkecuali Nona Fatima, Nona Ayn, dan Tuan Mim. Hanya saja, jika Nona Fatima sudah bertindak, sejauh ini tidak ada tanda-tanda Nona Ayn dan Tuan Mim bergerak.

Semua akan berkata, normal-normal saja Nona Ayn dan Tuan Mim memilih diam, memilih tetap berjalan di atas bebatuan takdir yang tajam tanpa berniat macam-macam. Semua akan berkata, Nona Ayn dan Tuan Mim toh berasal dari keluarga Malakut paling terpandang. Keduanya sama-sama terlihat sebagai sosok patuh yang tidak berniat membangkang. Apalagi Tuan Mim adalah penunggu Pohon Ilahiah. Tepatnya, penunggu terakhir Pohon Ilahiah. Dia mesti jadi teladan bagi semua malakut yang memandangnya dengan hormat tengadah. Entah itu malakut yang berhati baik, entah itu malakut yang berniat buruk.

Jika hanya melihat peluang, Tuan Mim sangat berpeluang melubangi takdir. Ia punya luka yang teramat getir, kehilangan calon penerus tugas menunggu Pohon Ilahiah, calon penerus tugas menulis nama di buku tulis takdir. Ia juga punya semua kemampuan untuk melubangi takdir, dengan yang lebih hebat dari kaum Malakut lain yang hidupnya berakhir getir. Namun, sebanyak apa pun Miriam Gagak mengawasi di sela-sela percakapannya, peluang Tuan Mim berniat jahat itu mendekati nol, mendekati mustahil.

 

Hari itu, kala ketiga orang itu asyik bertukar cerita hingga membahas khayalan-khayalan jauh, terdengar suara daun Pohon Ilahiah jatuh. Tuan Mim buru-buru memasuki halaman tempat pohon itu berdiri angkuh. Halaman khusus yang dikelilingi pagar-pagar berlubang. Tuan Mim harus mencatat nama yang tertera di daun jatuh; seperti yang sudah-sudah dengan perasaan sedih yang berusaha ia bunuh.

Namun, ketika ia mengambil daun di sana, wajahnya berubah. Berubah pucat meski kemudian Tuan Mim berkeras untuk membuat seakan tidak ada apa-apa. Tuan Mim lupa, mengubah raut wajah adalah trik kuno biasa kaum pria. Nona Ayn dan Miriam Gagak tidak akan mempan oleh trik sedemikian rupa.

"Siapa yang akan meninggal Tuan Mim?"

Yang ditanya hanya tersenyum. Tersenyum penuh tipuan yang langsung kelihatan. Tuan Mim bukanlah aktor yang baik. Detik berikutnya dia memeluk erat-erat sang istri. Memeluk tanpa suara. Memeluk tanpa derai air mata yang ditahan paksa. Memeluk erat-erat seolah tidak ingin Nona Ayn pergi. Memeluk erat-erat seolah ingin agar yang menghancurkan pasangannya biar dirinya sendiri saja.

Tuan Mim belum juga berkata-kata. Tuan Mim belum juga terisak.

Nona Ayn mengusap punggungnya, "Jangan khawatir. Aku akan mengenangmu selama-lamanya. Pohon Ilahiah dan Miriam Gagak yang akan menjadi saksinya."

 

Miriam Gagak memalingkan muka. Berapa kali lagi dia harus melihat hal seperti ini tanpa bisa melakukan apa-apa? Berapa kali ia bertanya, mengapa harus selalu ada seseorang yang meninggalkan dan seseorang yang ditinggalkan? Tapi, apakah arti pertemuan jika tidak ada perpisahan?

Semua orang yang hidup mencari keabadian, meskipun pada akhirnya mereka sadar, tidak ada yang lebih dekat daripada kematian.

Miriam Gagak paham Tuan Mim akan segera menghilang ....

------o0O0o------

 

Tuan Mim berlari terengah-engah keluar dari ruangan Hakim Agung di lantai 97 Kantor Hukum dan Kematian. Dia berusaha menjangkau lift secepatnya, menekan tombol dengan wajah tegang. Ketika pintu lift terbuka, dan tiada seorang pun di dalam sana, ia menarik napas lega. Yang dipikirkannya sekarang hanyalah secepatnya pulang ke rumah, kembali ke pelukan sang istri. Hari ini terlalu panas dilalui.

Tepat ketika Tuan Mim hendak menekan tombol ke lantai terbawah, seseorang masuk. Bukan orang lain, dia adalah Miriam Gagak. Dia tidak bicara apa-apa, hanya memilih bersandar di dinding lift yang menghadap ke pintu. Bibir Tuan Mim membeku. Tubuhnya kaku.

Lift bergerak turun, melewati lantai demi lantai. Tidak ada seorang pun dari luar yang masuk. Hanya mereka berdua hingga bawah sana. Miriam Gagak melipat tangannya di depan dada. Tuan Mim memandang ke atas, mencari sesuatu yang sia-sia.

"Tuan Mim sebaiknya jangan melakukan apa pun yang akan membuat Nona Ayn kecewa," Miriam Gagak membuka suara.

"Aku tidak melakukan apa-apa, Miriam ..."

"Saya sudah berpengalaman dengan puluhan pelubang takdir, Tuan. Saya tahu bulan-bulan ini tidak akan mudah. Tapi, menyerahkan diri pada iblis hanya akan menghancurkan hidup Tuan Mim yang indah. Anda dan Nona Ayn sudah berhadapan dengan situasi yang mirip sebelumnya, dan Anda berdua bisa mengatasinya," Miriam bicara sambil menatap lurus-lurus ke depan, tidak menoleh sedikitpun pada Tuan Mim.

"Aku tidak habis pikir, Miriam. Apa yang kurang dariku? Apa yang cacat dari pekerjaanku? Apakah pengorbananku selama ini tidak dianggap? Kenapa untuk satu permintaan itu saja, Hakim Agung tidak memberi restu?! Ini tidak adil, Miriam! Kami sudah kehilangan Musim Gugur!"

Miriam tersenyum getir, "Bertahun-tahun lamanya saya mencoba memahami para Malakut, tetapi saya tidak pernah bisa. Seperti yang sudah saya katakan kepada Nona Miriam dan Anda, kami-kami ini para Makiyya tidak bisa mengenal cinta yang membara. Kami berasal dari cahaya, dan setelah mati nanti kembali sebagai cahaya. Kami tidak mempunyai anak, tidak pula diperanakkan. Kami tidak tahu apa-apa tentang nikmatnya asmara yang menggelora atau perihnya berpisah dari kekasih tercinta ... saya tidak bisa nerasakan yang Anda rasakan, Tuan Mim."

Tuan Mim mendesah kecewa. Dia bagai masuk ke dalam labirin tanpa memiliki peta. Hendak keluar dari sisi mana pun, tidak bisa. Hendak mengambil jalan dari sisi mana pun, tetap saja ujungnya terhenti di tengah-tengah, tak bisa berbuat apa-apa.

"Apa kamu pernah merasa kehilangan, Miriam?" Tuan Mim menoleh.

"Belum, Tuan," Miriam bergerak mendahului Tuan Mim sebelum pintu lift terbuka. "Saya belum pernah merasa kehilangan sebelumnya. Saya, Fumikiri, dan Kamerad diciptakan bersama-sama."

Tuan Mim menunduk.

Lihat selengkapnya