Iblis masih mengelilingi Pohon Ilahi
Iblis terus mengelilingi Pohon Ilahi
Menghasuti hati-hati yang tak hati-hati
Membakari jiwa-jiwa yang tak mau mati
Kematian Mirian Gagak di panggung eksekusi itu membuat sepasang sahabat saling memunggungi. Kematian Miriam Gagak di bawah langit biru cerah itu membuat sepasang sahabat saling memusuhi. Di satu sisi, Kamerad yang sekarang mencari mati. Di sisi kiri, Fumikiri yang kini tidak mau mati. Hati mereka sudah tidak sama lagi.
"Miriam mati karena aku, Fumikiri," Kamerad masih membelakangi sang sahabat sejak tadi. "Jika aku bisa lebih tegas lagi, hal ini tidak akan terjadi. Jika aku berani menembak Nona Fatima, Miriam masih ada di sebelah kita, duduk di sebelah sini."
"Bukan, Kamerad. Miriam mati bukan karena kamu, sahabat," Fumikiri menatap cermin dengan mata yang menyala-nyala hebat, "Miriam mati karena sistem kita yang bejat. Sistem yang melingkari negeri ruh ini dengan warna hitam pekat. Sistem yang memaksa kita para Makiyya harus tunduk buta tanpa ada waktu sekali pun untuk mendebat. Sistem yang akan memaksamu terus berkata 'apa boleh buat'!"
Sistem yang mendaku diri sebagai yang terhebat,
Sistem yang menghancurkan siapa saja yang berteriak ‘aku ingin bebas’,
Sistem yang menjadikan jiwa-jiwa yang hidup jadi mati.
"Miriam mati karena aku, Fumikiri! Berapa kali aku harus memberitahumu?! Berapa kali aku harus mengatakan ini, lagi dan lagi?!" Kamerad menggebrak pintu lokernya sekuat tenaga, sepenuh hati.
"Miriam mati karena ingin menyelamatkanku, Fumikiri! Aku yang terlalu lemah jadi penyebab semua ini! Tidak ada kemungkinan lain, yang kupahami hanya kemungkinan ini. Jadi, karena Miriam sudah mengambil langkah demikian, maka sudah kuputuskan untuk tidak berpaling lagi. Sudah kubulatkan tekad untuk tidak berbelas kasih lagi! Setiap tugas akan kukerjakan tanpa keraguan lagi! Semua perintah akan kutunaikan, sehingga tidak ada seseorang yang berharga yang perlu berkorban lagi, sehingga tidak ada seorang pun yang akan menderita lagi!”
Ucapan Kamerad adalah racauan seseorang yang sakit hati. Tapi, bukankah demikian pula dengan Fumikiri? Sejak Miriam Gagak yang mati, seseorang berjalan ke kanan, dan seseorang berlari ke kiri.
“Sudah cukup luka ini, Fumikiri! Sudah cukup ditinggalkan Miriam dengan cara seperti ini! Aku belum mati, tapi jiwaku tak lagi bisa menari. Aku belum mati, tapi hidupku sudah tidak berarti sejak Miriam ditembak di panggung eksekusi. Ragaku belum mati, tapi hidupku sudah mati!"
Kamerad berjalan meninggalkan ruangan. Selangkah demi selangkah menuju kehampaan. Ia mengenakan kembali kaus Hard Rock Cafe warna hitam yang ketika melekat di badan pun sudah tidak nyaman. Seragam Mehmednya sudah disimpan dalam loker yang pintunya ditutup rapat-rapat, seakan tidak akan pernah diambil lagi pada hari kemudian.
"Kamu mau pergi Kamerad? Kamu mau melarikan diri dari semua ini?"
Langkah Kamerad terhenti. Namun, ia tidak mau berpaling ke Fumikiri lagi. Ia sudah memutuskan untuk menjalani segalanya sendiri. Tanpa teman, tanpa sahabat, hidup sendiri. Tanpa tawa, tanpa senyum, dengan air mata yang disimpan sendiri.
"Aku tidak pergi, dan aku tidak melarikan diri. Aku hanya berlalu dari tempat ini, tempat menyakitkan ini. Aku akan tetap bekerja sebagai penambal takdir layaknya hari-hari ini. Dengar Fumikiri, sekali lagi aku tidak melarikan diri. Inilah caraku menghormati Miriam yang sudah mati. Aku akan menjadi seperti dirinya, penambal takdir terbaik yang pernah ada di negeri ini."
Fumikiri tersenyum, lalu mulai tertawa. Awalnya pelan, tetapi makin lama makin keras hingga terkekeh-kekeh. Tawa yang tidak pernah didengar Kamerad sebelumnya dari sang sahabat. Tawa asing yang membuat Kamerad menebak-nebak apa yang terjadi pada sang sahabat. Apakah iblis baru saja mampir dari kedai kopi, lantas iseng melihat senyum maut Fumikiri sehingga masuk mengendap-endap di dalam hatinya yang sepi?
"Fui hi hi hi hi! Fui hi hi hi hi! Kamerad, kamu memang sosok sahabat sejati! Kamu mengabulkan permintaan terakhir Miriam dengan sepenuh hati! Majulah! Majulah sahabatku yang suci! Aku tidak akan menghalangimu, aku tidak akan mengganggumu barang sedikitpun. Sebagai ganti, kamu juga tidak boleh menghalangiku, kamu juga tidak berhak menghadang jalanku, sejauh apa pun aku menyimpang dari jalur terdahulu!"
Fumikiri tertawa lagi, lalu mulai berdendang, bernyanyi dengan nada tinggi. Pikirannya liar tidak beraturan lagi. Kamerad hendak menoleh untuk memperingatkan sang sahabat yang terakhir kali. Namun, ia tidak bisa. Ia sudah telanjur berjanji. Yang terjadi berikutnya adalah hal yang menyakitkan hati. Nyanyian Fumikiri itu adalah nyanyian pemungkasnya sebagai penambal takdir. Setelahnya semua berganti. Setelahnya semua tak sama lagi: Fumikiri menjual dirinya kepada iblis, menyimpang sebagai pelubang takdir yang sejati.
"Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Tidak bisa melanggar yang ini, harus patuh aturan yang itu. Fui hi hi hi, untuk apa hidup serumit itu?! Aku bukan lagi bagian Makiyya. Aku adalah sekutu iblis! Hidupku bebas! Hidupku liar! Tiada peraturan yang bisa mengikatku, tiada hukuman yang ditakuti Fumikiri! Fui hi hi hi hi!"
Tawanya bagai tidak mau berhenti. Tawanya memikat hati orang yang membutakan mata hati. Satu demi satu mulai terpancing, satu demi satu masuk jebakan Fumikiri. Dia tawarkan kebebasan. Dia tawarkan mereka keluar dari penderitaan. Dia janjikan hidup baru jika berani melawan takdir. Dia embuskan aroma surga, meski sebenarnya menggiring orang-orang itu ke Neraka.
-----o0O0o----