Sayonara, Tuan Fumikiri

Fitra Firdaus Aden
Chapter #21

Hari Eksekusi


Lampu yang menandakan akhir padam

panggung menggelap

Selamat tinggal, engkau yang bahkan

tiada berpunya nama


Langit biru cerah memayungi panggung eksekusi di alun-alun Centro Fia. Awan-awan putih bahkan memilih menepi, seakan ingin memastikan, di atas Tuan Fumikiri yang terikat oleh tali-temali, tiada apa-apa lagi. Hari itu, sang pelubang takdir terbaik yang pernah ada di Negeri Ruh bersiap menemui ajal di depan regu tembak terbengis di negerinya.

Orang-orang berkerumun. Mereka yang berasal dari bangsawan Centro Fia, rakyat biasa, anak-anak yang tidak tahu apa-apa, hingga bocah-bocah muda Ras Makiyya yang menerka-nerka alasan mengapa Tuan Fumikiri berkhianat dari kodratnya.

Semua sudah mengira hidup Tuan Fumikiri akan berakhir seperti ini. Orang-orang yang hidupnya lebih lama daripada waktu dunia menyayangkan betapa dia, yang dahulu bergabung dalam regu XVIII bersama Miriam Gagak dan Mister Kamerad, bisa-bisanya membelot dan menjual diri kepada iblis. Sebagian orang yang hidupnya lebih sebentar daripada sehari semalam dunia, menuding Fumikiri sebagai penjahat kelas berat; sedangkan sebagian yang lain menyebutnya lebih kejam daripada iblis terjahat.

Tuan Fumikiri divonis melanggar segala hal yang mengikat dirinya. Sebagai Makiyya, dia tidak berhak untuk menolak perintah, apalagi justru meninggalkan status penambal takdir jadi pelubang takdir. Sebagai penghuni Negeri Ruh yang bukan lagi pelubang takdir, dia tidak berhak mengintervensi kehidupan dunia seberang, apalagi sampai menculik, meneror, hingga nyaris membunuh orang-orang di dunia sana.

Hampir semua yang berkumpul di alun-alun Centro Fia sepakat dengan hukuman yang ditimpakan kepada Tuan Fumikiri. Bahkan, tidak sedikit yang berharap akan ada penambahan derita untuknya. Misalnya, dihukum mati, dihidupkan lagi, dihukum mati lagi, dihidupkan sekali lagi, begitu seterusnya sampai 7 kali.

 

Apakah kau pernah melihat ruh mati lebih dahulu daripada jiwa? Hal itu yang sedang terjadi di sini. Jika tubuh lebih dahulu mati daripada jiwa dan ruh, itu menyakitkan, tapi bukan persoalan besar. Namun, jika ruh --yang semestinya terpancang kaku menghadap Dia yang Tidak Bisa Disebut Namanya-- bisa mati lebih dulu, berarti ada yang salah, berarti ada yang keliru. Bukan, bukan jiwa yang keliru, tetapi ruhnya sendiri yang bergerak menyimpang menjauhi perjanjian terdahulu.

 

“Fui hi hi hi hii! Indahnyaa! Indahnya masih bisa melihat langit biru cerah seperti dahulu kala!”

Ketika dengung gunjingan semua orang semakin lantang, Tuan Fumikiri berteriak gembira seperti bakal disambut oleh tawa suka cita. Tentu saja teriakan itu membuat dengungan makin kencang. Tentu saja teriakan itu membuat semua orang berkesimpulan Tuan Fumikiri memang lancang.

Satu-dua kali terlihat botol minuman mendarat di panggung eksekusi. Detik-detik berikutnya, mulai ada segala macam benda: gumpalan kertas yang diremas-remas, potongan kayu, roti yang tinggal setengah, hingga batu. Awalnya batu-batu kecil, lama-lama batu yang makin besar. Suatu ketika terdengar suara dua benda keras berbenturan. Sebuah batu jatuh, dan kepala Tuan Fumikiri tertunduk, darah berwarna biru mengucur dari sana.

 

"Fumikiri bajingan, mati saja kamu!"

"Fumikiri berengsek, jadi bahan bakar neraka saja sana!"

"Fumikiri, darahmu halal! Darahmu halal!"

Begitu seseorang di alun-alun Centro Fia mencemooh Tuan Fumikiri, yang lain menyusul. Mereka muak kepadanya. Mereka jijik kepada sang kepala palang pintu kereta api. Mereka meluapkan segala rasa. Mereka menuding-nuding, berteriak-teriak, melempar-lempar, semuanya dengan nafsu membunuh dan menghakimi yang sangat nyata.

 

"Hadirin diminta menyanyikan lagu wajib Bangsa Ruh!”

Lihat selengkapnya