Pulau Fihmir, 7 jam sebelum eksekusi Tuan Fumikiri.
Tuan Mim masih memandangi nona kecil yang berdiri di depannya. Nona kecil yang baru saja melintasi ruang gelap yang tiada apa-apa selain suara. Nona kecil bernama Juli Nirwana Inggil Prameswari: sang ayn keenam di dunia seberang sana.
“Tuan Mim, apakah Anda sadar dengan yang Anda perbuat?! Apakah Anda sadar hal itu sudah mengacaukan semua di dunia sana? Di dunia tempat saya tinggal?! Mim pertama, Samudera Hindia, jadi bekerjasama dengan Fumikiri juga. Dia membuat pernikahannya dengan Afunika Ayu jadi kosong. Dia sengaja memilih waktu kapan bercinta dengan istrinya, seseorang yang jadi satu-satunya jodohnya, hanya agar mereka tidak mempunyai anak, hanya agar kejadian Tuan Mim dan Nona Ayn kehilangan Musim Gugur tidak terulang! Dia sengaja melakukan segala cara agar istrinya meninggal lebih dulu daripada dirinya!”
“Arus Timur, Mim kedua, punya ketakutan yang sama. Dia takut jika anaknya perempuan, maka sang istri Soraya akan meninggal saat melahirkan. Hidupnya tidak bebas, hidupnya penuh dengan perhitungan! Cinta macam apa yang diisi dengan hitung-menghitung? Coba tanyakan itu pada diri Anda sendiri, Tuan Mim!”
“Sedangkan jodoh saya, Gagah Berani, bahkan saya tidak mengenal dia! Bahkan saya memusuhinya sepanjang waktu, saya anggap dia makhluk aneh menjijikkan! Saya tidak peduli tentang dia sampai saat-saat terakhir. Saya tidak punya kenangan tentang dia! Apakah itu tidak menyakitkan? Sepasang jodoh yang harusnya saling mengenal, tak mengetahui satu sama lain. Apakah itu tidak menyakitkan?! Itu semua terjadi karena ada seseorang di dunia sini bertindak egois, dan itu adalah Anda!”
Wajah Tuan Mim yang tadi putih pucat kini membening. Dia menoleh ke hamparan pasir putih di pantai bawah sana, yang tersapu ombak demi ombak dari samudera lepas yang siap menelan segalanya.
“Nona kecil, aku baru saja menyelesaikannya. Aku baru saja memakamkan Tien Rahayu, Ayn kelima, di sebelah sana,” Tuan Mim menunjuk ke sebuah tempat yang dipenuhi rerumputan liar.
Ada empat gundukan makam yang baru dibuat, makam tanpa nisan tanda pengingat. Tanpa Tuan Mim memberitahu sekalipun, sang nona kecil tahu. Secara berturut-turut itu adalah makam Nona Ayn istri Mim, makam Arus Timur sang Mim kedua, makam Aya Soraya sang Ayn kedua, dan terakhir makam Tien Rahayu sang Ayn kelima.
“Tinggal kamu yang belum mati, Nona. Tinggal kamu dan satu orang lagi. Maaf, sejahat apa pun diriku di dunia seberang sana, Mim ini tidak mungkin mundur lagi. Ada yang harus kuselesaikan."
Setelah berkata demikian, wajah yang membening itu berubah jadi merah. Merah membara seperti panas api neraka. "Aku sudah mempersiapkan ini sejak lama, Nona. Aku sudah bersiap untuk menghabiskan waktu di neraka. Semua ucapanmu itu manis, tetapi hanya bisa menggugah orang-orang yang belum menjual jiwanya. Aku tidak demikian, Nona. Aku Mim sang penunggu Pohon Ilahiah yang memilih jalan menyimpang!"
Tuan Mim mengeluarkan belati kecil yang dari tadi disembunyikannya. Belati kecil yang sudah mencabut 4 nyawa. Anehnya, sang nona kecil yang menghadapinya sama sekali tidak gentar: sang nona kecil menatapnya tajam-tajam seperti mampu menelannya, menelan Tuan Mim bulat-bulat.
Tuan Mim mencoba mengalihkan pikiran. Tangannya secepat kilat mengincar jantung nona kecil itu, seperti pembunuhan yang sudah-sudah. Entah mengapa, secepat kilat pula tangan itu berhenti sendiri. Tuan Mim mengerahkan semua tenaga, tetapi tangannya tak bisa maju lagi. Ia berteriak, ia menjerit, ia melolong sekuat tenaga, tetapi hasilnya sia-sia. Ia tak bisa, tak pernah bisa. Di pipinya, mengalir air mata.
"Kenapa?! Kenapa sudah sedekat ini dengan perubahan takdir, aku justru tidak bisa?! Kenapa untuk membunuhmu yang tampaknya begitu mudah, aku justru jadi tak berdaya?! Kenapa begini?! Kenapa harus begini, Nona?! Aku ingin membuat istriku bahagia! Aku ingin dia tidak menderitaaa!"
Teriakan itu adalah puncak keputusasaannya. Tuan Mim terduduk. Terduduk tanpa sisa tenaga. Ia menutup wajahnya, coba menghentikan air mata yang terus mengaliri pipinya. Tetapi, semakin memaksa, semakin ia tak kuat menahannya. Di depan Inggil sang nona kecil, ayn terakhir yang harus dibunuhnya, keberadaan Tuan Mim melenyap bagai udara; menjadi bukan siapa-siapa.
Inggil sang nona kecil menepuk bahu Tuan Mim, membuat aura keberadaannya semakin besar saja. Membuat Tuan Mim semakin kecil jadi tak berarti apa-apa.
"Nona Ayn memang menderita ketika Anda tiada, Tuan Mim. Pasti menderita. Sehari, dua hari, seminggu, sebulan, setahun, bahkan satu dasawarsa berikutnya. Tapi, untuk apa takut akan derita? Untuk apa terpuruk dalam derita? Untuk apa takluk dalam luka, jika dia bisa bahagia? Kebahagiaan itu tidak datang dari mana-mana, Tuan Mim. Kebahagiaan dalam sisa hidup Nona Ayn adalah kebahagiaan pernah hidup bersama Anda, kebahagiaan mengenang Anda."
"Nona kecil! Tuan Mim! Uh!"
Dari kejauhan tampak Mister Kamerad tergopoh-gopoh berlari ke arah Tuan Mim dan Inggil. Kaus Hard Rock Cafe miliknya kumal, begitu pula celana panjang kain warna coklat yang tergores di sini dan di sana.
"Mister Kamerad?" Tuan Mim menoleh, menyeka air mata di pipinya.
"Uh! Iya, ini saya. Tuan Mim, tolong hentikanlah semuanya! Ini sudah lebih dari sekadar keterlaluan. Ini semua harus berakhir. Anda tidak bisa berbuat lebih jauh daripada ini."
"Bagaimana kamu bisa kemari, Mister Kamerad? Bukankah kau akan dieksekusi bersama Tuan Fumikiri?" Wajah Tuan Mim kembali membening, tanda dia kembali seperti sedia kala, seperti ketika Nona Ayn masih bersamanya.
"Fumikiri ... iya, ini semua terjadi karena Fumikiri, Tuan Mim. Dia menggunakan sihirnya. Dia menggunakan mimpinya untuk membawa saya ke Pulau Fihmir ini. Dia ..." Mister Kamerad tidak melanjutkan kalimatnya.
Tuan Mim tersenyum, tipis tetapi penuh rasa lega. "Ah, dia. Ternyata seperti itu, ya. Jadi, ini maksudnya selama ini? Perjuangannya mencari kebebasan selama ini? Fumikiri yang menjual jiwanya kepada iblis di Gunung Bibi .... Dia mengkhianatiku ya?"
"Dia menipu kita semua ...."
Mister Kamerad menunduk, mengepalkan tangan erat-erat, membayangkan yang baru saja terjadi di penjara. Ia masih tidak terima. Ia masih terluka. Bertahun-tahun lamanya, ia terus bertarung dengan Fumikiri dalam batas hitam dan putih. Bertahun-tahun lamanya ia menambal takdir yang dilubangi sang sahabat. Semuanya kini bagaikan tak bermakna lagi ....
---o0O0o---
Sel Mister Kamerad dan Tuan Fumikiri hanya terpisah oleh selapis dinding. Keduanya diduga telah berkomplot dengan Tuan Mim untuk melubangi takdir. Alasannya, karena dahulu Miriam Gagak, kapten mereka, cukup dekat dengan Nona Ayn, istri Tuan Mim. Hari eksekusi Fumikiri sudah ditetapkan. Yang tersisa tinggal kepastian apakah Mister Kamerad akan disertakan dalam eksekusi tersebut, atau harus menunggu persidangan terlebih dahulu.
Sepanjang hari, Mister Kamerad memilih diam tak bicara. Dia hanya bisa mendengar betapa ributnya Tuan Fumikiri di sel seberang sana. Ada saja tingkahnya. Ia bernyanyi lagu-lagu yang dipelajarinya dari dunia seberang sana dengan lantang, dengan nada yang tidak pas. Ia membuat sajak lalu membacakannya lantang-lantang, puisi cinta seseorang yang kehilangan pasangan. Ia tidak pernah berhenti bicara, bahkan ketika malam hari tiba, kecuali sekitar 30 menit setiap harinya.
Jika Tuan Fumikiri terlelap hingga 28 menit saja, akan ada pasukan khusus Popov yang membangunkannya. Entah dengan menyiram, memukul, atau apa pun juga. Sipir berpendapat, 30 menit adalah masa krusial. Mustahil Tuan Fumikiri memasuki mimpi para Mim atau para istri Mim di dunia seberang sana dalam waktu yang secepat itu. Sipir berkeyakinan, Tuan Fumikiri hanya bisa melakukannya jika tidurnya sudah memasuki menit ke-31.
Mister Kamerad sendiri hanya bisa pasrah pada takdir yang menimpa, tidak mau berbuat apa-apa untuk membela dirinya. Ia tahu, tuduhan bahwa ia berkomplot dengan Tuan Mim dan Fumikiri tidak mungkin berasal dari siapa-siapa, pasti dimulai dari pengakuan sepihak sang sahabat sekaligus musuh besarnya. Namun, sejak kematian Miriam Gagak, Mister Kamerad sudah telanjur merasa hampa. Ia mengerjakan semua tugas dengan penuh tanggung jawab, tetapi juga tanpa "nyawa". Ketika tanggungjawabnya dicabut, selesai sudah. Ia tidak berkepentingan lagi. Ia sudah bersumpah menjadi Makiyya yang setia. Jika diminta mati, ia pun siap sedia saja.
Malam terakhir jelang hari penghabisan, Fumikiri sang pria berkepala palang pintu kereta api terus saja bernyanyi. Suaranya makin lama makin tidak jelas, bagai bergumam. Ketika itulah ia muncul dalam mimpi Mister Kamerad. Muncul tiba-tiba ketika Kamerad sedang menimang-nimang mobil Kuro-kun kesayangannya.
"Fui hi hi hi, Kamerad! Lama tak jumpa, sobat! Kamu juga sudah tidak sabar menunggu kematianku? Kamu sudah lelah bukan, menambal takdir yang kulubangi?! Hui hi hi hi, bagaimana rasanya membunuh, Kamerad? Kamu mulai terbiasa?"
"Apa maksudmu memasuki mimpiku begini?! Fumikiri, berhentilah bermain-main! Jika ini diteruskan, suatu saat nanti kita akan berakhir dengan saling bunuh! Ini bukan yang diharapkan Miriam darimu!"
Secara insting Kamerad menaiki Kuro-kun. Dia khawatir Fumikiri akan pergi lagi. Dia khawatir tak bisa mengejar Fumikiri lagi. Dia khawatir ini perjumpaan terakhirnya dengan sang sahabat ... sekaligus musuhnya.
"Fui hi hi hi, di kedua mataku ini ada sihir, Kamerad. Mata kiriku bisa melihat masa lalu, sedangkan mata kananku bisa melihat masa depan. Ini adalah hasil perjanjianku dengan iblis. Ini adalah hasil menjual jiwa di Puncak Gunung Bibi! Fui hi hi hi ..."