30 Hari Sebelum Pernikahan
Menjelang hari pernikahannya, tidak ada lagi alasan untuknya tetap tinggal di Jakarta. Pekerjaannya yang seorang penulis, bisa dia lakukan di mana saja. Dan bersamaan dengan keharusannya nanti mempersiapkan urusan pernikahannya yang tinggal sebulan lagi, ia memang harus segera kembali ke Bandung. Tempatnya berasal. Juga untuk calon istrinya, yang sepertinya sudah tidak sabar menunggu kepulangannya.
Ponselnya yang tergeletak di atas meja berdering. Ia lalu tinggalkan dus-dus yang menampung barang-barangnya, yang akan ikut serta dibawa pulang.
“Halo.” ucapnya. Dalam hatinya menebak yang akan dibicarakan tunangannya. Lebih tepatnya ditanyakan. Ia pun tersenyum.
“Halo” sahut suara diujung sana. “Yank, kamu jadi pulang hari ini ?”
Firasatnya benar. Hari ini lebih ditunggu-tunggu tunangannya dibanding dirinya yang sedikit lebih santai karena semua urusannya di Jakarta sudah ia urus agar tidak menghambat rencana kepulangannya. Namun tunangannya di sana, katanya, selain mereka ada janji siang ini mengurusi keperluan pernikahan, ia juga sudah tidak sabar untuk bermalam mingguan bareng lagi. Jalan bareng, nonton film yang memang sudah mereka tunggu dari lama penayangannya di bioskop. Setelah dua bulan penuh hanya bermalam mingguan lewat video call.
Mendadak ia terpikirkan ide jahil untuk mengisengi tunangannya itu. “Hmm.. gimana, ya ?”
“Kenapa ? gak jadi, ya ?”
“Iya, nih. Ngedadak ada urusan kerjaan. Paling lusa kayaknya, aku baru bisa pulang ke Bandung. Itu juga kalo kerjaan aku bisa beres cepat.”
“Katanya udah gak ada kerjaan apa-apa lagi. Di rumah lagi deh malam minggunya.”
“Maaf ya ?”
“Iya. Ya udah.”
“Kamu gak marah, kan ?”
“Nggak. Ya udah kalo gitu. Kamu beresin aja dulu kerjaan kamu disitu. Kalo udah beres semuanya, cepetan pulang..”
“Iya sayang. Maaf ya.”
“Iya.”
“Love you princess.”
“Love you too.”
Di tempat lain, wajah frea langsung tampak layu setelah tahu tunangannya membatalkan janjinya untuk pulang hari ini. Padahal baru saja beberapa menit yang lalu, ia masih sangat bersemangat, merasa senang sebentar lagi akan melepas rindu. Namun harus kembali menahan rindu.
Dari sudut halaman, mama nya yang sedang menyirami tanaman tampak memperhatikan anak perempuan satu-satunya itu. Serta menelisik. Sayup didengarnya pembicaraan barusan anaknya yang sedang menelepon.
“Kenapa sayang ? Archie gak jadi pulang hari ini, ya ?” tanyanya, seraya duduk di kursi lain.
Frea pun sedikit menganggukkan wajah betenya. “Katanya masih ada kerjaan yang harus dia kerjain.”
“Oh.”
“Lusa jadinya. itu juga kalo kerjaannya bisa beres cepat. Katanya ! Kalo nggak, ya palingan sehari sebelum kita nikah, dia pulangnya.”
“Lho, jangan dong. kalian kan harus prepare. Masih ada yang harus kalian urusi kan ?”
“Iya ma. Bercanda, He he. Ya udah ma,” Frea beranjak. “fre mau mandi dulu.”
“Iya. Oiya, fre..” Mama menyergah. “Mau ikut ke rumahnya tante ani gak ?”
Frea kembali menoleh. “Ngapain ?”
“Virlie, dia baru lahiran. Cucu pertamanya tante ani. Rencananya habis papa kamu pulang olahraga, kita mau ke sana.”
Kening frea mengerut. “Oh, virlie udah lahiran, ma ?”
“Tadi subuh katanya.”
“Cewek apa cowok ?”
“Cewek.”
“Pengen sih ikut ke sana, pengen liat bayinya. Tapi siang ini fre udah ada janji. Gimana dong ? fre ada janji sama orang percetakan yang nanti cetak undangan.”
“Nggak sama archie ? pas archie udah disini.”
“Ya.. gak enak ma. Janjinya hari ini. Gak apa-apa fre aja sendiri, palingan di sana sambil video call archie biar dia liat model-modelnya juga.”
“Ya udah kalo gitu.”
“Fre titip salam aja ya ma, sama virlie, sama tante ani juga. Nanti kalo udah beres, fre nyusul ke sana.”
“Iya.”
Aroma roti panas seketika mengudara ke setiap sudut ruangan ketika pintu oven itu terbuka. wangi roti dan ekstrak kopi yang berpadu menjadi satu seperti menari-nari membelai manja hidung perempuan itu yang kemudian tersenyum simpul. Hidungnya mengembang, mencium dalam-dalam aroma roti di atas loyang yang baru saja ia keluarkan dari dalam oven. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya lagi ia merasakan kesenangan itu. membuat roti. meski secara diam-diam.