Sayounara My First Love

Dinar Firmansyah
Chapter #2

Bab 2. Sang Penggila Anime.

Bandung 2009

Uap panas diterpa angin yang berhembus, mengantarkan aroma bandrek yang khas, melengkapi suasana malam. Beratap Langit cerah dengan bintang-bintangnya, dan kilauan lampu-lampu kota yang terhampar luas sejauh mata memandang. Di salah satu bukit, di dago atas.

Mengakhiri jalan-jalan mereka, archie membawa frea ke tempat itu. Sebelum akhirnya nanti mereka kembali pulang ke kosan.

Di pinggir jalan archie memarkirkan motornya, ada sebuah warung sederhana berdinding setengah bilik bambu. Warungnya kecil. Di dalamnya, hanya ada dua bangku kayu yang di dibuat memanjang, di depan dan belakang, bagian kanan warung. Tentu saja spot favorite archie adalah bangku yang di belakang, yang menghadap langsung ke pemandangan kota. Spot terbaik jika duduk disitu malam-malam, menikmati indahnya taburan bintang, jika langit cerah, dan gemerlapnya lampu kota, ditemani secangkir bandrek panas.

Di sisi kiri, berdiri etalase kecil, tempat kakek nenek pemilik warung itu meracik pesanan. Namanya, Abah enjang dan emak Ijah. Archie cukup akrab dengan mereka. Satu hal yang kalian harus tahu, abah enjang mudanya pasti ganteng banget. Tinggi badannya, dan garis muka, dengan hidung yang mancung, sangat mirip van der sar, kiper manchester united dulu, kata archie kepada teman-temannya saat main ke warung. Teman-temannya juga mengiyakan. Namun van der sar ini aslinya dari tasik, bukan belanda.

Warung yang buka dari sore sampai menjelang subuh itu mempunyai menu yang juga sederhana. roti bakar, pisang bakar, jagung bakar, bajigur, aneka kopi dan minuman utama yang paling banyak dipesan para pengunjung, termasuk archie yang sering ke tempat itu dengan teman-temannya, yaitu bandrek. Minuman penghangat yang sangat cocok dengan suasana dan tempatnya yang dingin.

Kali ini, di warung yang menjadi langganan archie dengan teman-temannya itu, untuk pertama kalinya archie mengajak frea. Perempuan yang sedang dekat dengannya.

Mereka duduk bersebelahan di bangku kayu, di sudut belakang warung, menghadap hamparan lampu kota. Dengan kedua tangan dingin memegang cangkir bandreknya masing-masing.

 

Frea adalah tetangga kost archie. Mahasiswi perhotelan yang baru beberapa bulan kost di sebelah kamar kost nya. Meskipun kamarnya saling bersebelahan, archie dikenal cuek dan pendiam diantara semua penghuni kost. Tidak terkecuali bagi frea dan revi, Teman satu kampus frea, yang juga salah satu penghuni kosan itu. “cakep sih, cuman dia itu, kalo papasan cuek. Senyum kalo kita senyumin. Baru ngomong, kalo kita tegur atau sapa. Pe’er banget fre, lu buat deketin dia”. “ah, tapi waktu itu nggak. Malahan dia baik banget”.

Orang tuanya sangat tidak setuju frea nge kost. Namun dengan alasan agar dekat dengan kampusnya dan berbagai alasan pendukung lainnya, akhirnya mereka mengizinkan putri satu-satunya mereka itu kost. Yang sebenarnya alasan utama seorang frea yang tidak betahkan tinggal di luar rumah adalah lelaki penghuni kamar sebelahnya itu. Archie.

Hal itu berawal ketika frea mengunjungi revi yang kebetulan masih belum pulang ke kosan nya. Saat itu frea terjebak di teras depan kosan revi, oleh hujan yang cukup deras yang mengguyur dari sore, hingga malam hari, yang membuatnya kebingungan untuk pulang.

Disaat kebingungannya itu, seorang lelaki dari dalam kosan menghampirinya. “Temannya revi, ya ?” lelaki itu bertanya.

Frea menoleh “Iya.” Singkat ia menjawab. Namun, sekilas menatap wajah lelaki itu, saat itu juga ia terpesona, dengan ketampanannya. Gestur, gaya bicara yang kalem, juga garis-garis wajah tampannya itu, baginya ia adalah lelaki tertampan yang ia lihat setelah Sasuke Uchiha dan kakaknya Itachi Uchiha dalam serial anime Naruto. Maklum, dia adalah penggemar berat anime itu. Saking fanatiknya, disaat perempuan lain mengidolakan Brad Pitt atau Tom Cruise, aktor di dunia nyata. Dia malah mengadu ketampanannya dengan ketampanan karakter fantasi di anime itu. “Masih gantengan Kakashi Hatake, sih, menurut gua”. Katanya, saat berdebat perihal idola, dengan temannya.

Frea pun mulai salah tingkah, melempar pandangannya tidak jelas, menyadari lelaki itu menatapnya. Lelaki yang saat ini masih tidak bernama.

“Dia masih belum pulang kayaknya ?” lanjut lelaki itu.

“Iya. Di telpon, handphonenya gak aktif.” Frea menjawab. Namun kali ini, ia sembari berusaha mengendalikan tubuhnya agar terlihat santai, dibalik gugup dan degup cepat jantungnya.

“Aku liat kamu dari sore disini. Mau aku bikinin minum ? pasti haus.”

“Nggak usah, makasih.” Dengan mantap frea menolak. Namun alangkah malunya dia, ketika suara perut keroncongannya menyusul perkataannya. Membuat seketika wajahnya bersemburat merah.

Lelaki itu pun tersenyum kecil. “Aku ada mie, kalo mau ?” lanjut dia menawari.

 Yang ditawari pun tersenyum malu. “Nggak usah, makasih. Bentar lagi juga kayaknya ujannya udah mau reda” ucapnya.

Mereka pun sama-sama mengarahkan pandangannya ke depan. Hujan deras tanpa menurunkan intensitasnya. Suara petir menggelegar. Dan frea dibuat malu untuk kedua kalinya, oleh ucapannya.

“Tunggu bentar.” kata lelaki itu, yang langsung masuk ke dalam. Dan beberapa menit berselang dia pun kembali dengan nampan berisi satu mangkok mie, dan dua gelas teh panas.

“Nama aku archie.” ucapnya sambil menaruh nampan di atas meja. “Kamar aku yang itu.” ditunjuknya di sebelah kiri frea. jendela kamar kedua, yang paling pojok, yang menghadap ke halaman kosan. “Buat kamu jaga-jaga, kalo aku ada niat gak baik. Sekarang kamu makan dulu, sambil nunggu hujannya reda.”

Kini lelaki itu sudah bernama di dalam hatinya.

Frea yang masih menahan malu, ia tidak terbiasa menerima tawaran dari orang asing, dan berpikir ingin menahan saja perut laparnya. Tetapi nyatanya ia tidak mampu menolak suguhan yang sudah tersaji di depannya. Mie rebus dengan teh panas di tengah hujan adalah kombinasi yang pas. Apalagi penghuni di perutnya sudah mengamuk sejak sore hari.

Mie instan di dalam mangkok sudah tak tersisa. Begitu juga dengan dua gelas teh yang mereka minum sambil menunggu hujan reda sudah tinggal tetesan terakhir. Namun hujan sama sekali tidak reda. Sementara jam ditangan sudah hampir menunjukkan pukul 10 malam, dilihatnya. “Ini gak bakalan reda, kayaknya. Gak apa-apa deh, aku ujan-ujanan aja. Udah malam.”

“Jangan !” archie menahan. “Tunggu bentar.” ia lalu kembali ke dalam, dan keluar dengan menenteng satu buah payung. “Untung ada yang punya payung. Yuk, aku anterin sampai depan.”

Tidak seperti tawaran mie sebelumnya, kali ini frea mengangguk. “Makasih banyak, ya. Dari tadi kamu direpotin aku terus.”

“Nggak. Santai aja.”

Dengan satu payung berdua, mereka menerobos, memecah hujan deras menuju jalan raya yang berjarak ratusan meter dari kosan.

Taksi berhenti di depannya. Sebelum frea melangkah masuk, beberapa detik, mereka saling menatap muka. “Aku frea.” Ucapnya, seraya mengulurkan tangan.

Archie menyambutnya. Mereka bersalaman.

“Makasih banyak, ya.” Lanjut frea.

Lihat selengkapnya