Sayounara My First Love

Dinar Firmansyah
Chapter #3

Bab 3. Sebuah Langkah Awal.

Bandung 2005.

Bel jam istirahat berbunyi. Seketika teman-teman nya berhamburan keluar kelas. “Chie, ke kantin, gak ?” sambil beranjak dari duduknya, dito, teman sebangkunya bertanya. “Nggak ah.” jawab archie. Pandangannya terpaku, membaca lanjutan komik detective conan.

Duduk sendirian di dalam kelas ditemani roti dan minuman kaleng yang memang ia persiapkan sebelumnya, archie habiskan jam istirahatnya dengan membaca komik. Dan hampir setiap hari dia seperti itu. Setiap kali dia mempunyai komik baru, ia mendadak seperti beruang yang sedang berhibernasi di dalam goa. apa pun ajakan teman-temannya, ia tidak akan keluar dari ‘goa-nya’ sampai hibernasinya itu selesai.

Di dalam tasnya tidak pernah absen, satu dua komik untuk ia baca, dimana pun saat ia sedang ingin. Komik detective conan dan dragonball adalah favoritenya. Sekalipun keduanya tidak sedang berdampingan di dalam tas diganti komik lain, salah satu dari dua komik favoritenya itu pasti ikut berselip diantara buku-buku yang ia bawa.

“Chie !” sambil tersenyum, meta, teman sekelasnya, menghampiri. Gayanya tomboi, dengan langkah yang seperti laki-laki. Berambut pendek diatas bahu, tanpa polesan seperti perempuan lain. Tapi dia cantik. Mirip banget Shailene Woodley saat memerankan karakter Beatrice Prior di film Allegiant. Seri dari film divergent. Perawakannya pun sama. Kata dito. Yang sering membicarakannya pada archie, dengan wajah kagum, seperti suka. Tapi entahlah. Itu mungkin perasaan archie saja. ‘Awas, anak judo, tuh. Jangan macem-macem lu.’ Kata archie.

“Foto, yuk ?” Meta menunjukkan sebuah kamera digital dengan kedua tangannya.

“Buat apa ?”

“Udah, gak usah banyak nanya. Ayo !”

“Males, ah.” Archie membuang muka dan kembali dengan komiknya.

“Chie ! cepatan ih, Sekali doang !” Meta berseru, menarik seragam archie.

“Iya, buat apaan, dulu ?” ditaruh komiknya di atas meja, sembari menggeser duduknya menghadap meta, lalu dengan menyilangkan kedua tangannya di dada, archie menelisik ekspresi wajah meta yang tampak mencurigakan, menurutnya. Yang di pandangi pun mulai terlihat gugup seperti orang yang akan mulai di interogasi. “Lu gak puas_liatin gua, pagi siang malam ?” lanjut archie. Dua jari tangannya kini menepuk-nepuk dagu.

Meta dan archie adalah sahabat dekat. Mereka saudara tak sedarah. Rumah mereka yang tetanggaan, membuat mereka sudah saling kenal dari kecil. Bahkan dari SD, SMP sampai SMA mereka selalu satu sekolah.

“Kenang-kenangan.” Merasa bingung menjawab pertanyaan archie yang harusnya ia siapkan sebelum masuk ke dalam kelas, meta pun menjawab asal. Sekeluarnya. Yang sebenarnya meta hanya perantara, yang dimintai tolong oleh temannya untuk mengambil foto archie.

“Hmm.. gua mikir, kita temenan dari kecil tapi kok gua gak punya foto bareng lu, ya, chie. Makanya gua sekarang pengen foto bareng sama lu.” Cetus meta. Begitu saja alasan brilian keluar tanpa ia pikirkan. Archie pun percaya, mengikuti ajakannya.

“Sekali, lagi. sekarang lu difoto sendirian, ya”

Bel tanda selesai jam istirahat berbunyi. Satu persatu teman sekelasnya kembali masuk kelas. Duduk di bangkunya masing-masing, begitu pun meta, setelah menyelesaikan misinya, ia kembali ke bangkunya yang berjarak dua baris meja dengan archie.

 

Malam itu, cukup lama nesha melihat foto satu orang yang membuatnya senyum-senyum sendiri, terlentang di atas tempat tidurnya.

Sudah dari kelas satu nesha diam-diam memperhatikan archie. Curi-curi pandang pada lelaki, yang tidak pernah secara langsung berkenalan dengannya. Bahkan tidak pernah saling sapa, sejak pertemuan pertama mereka sebagai teman satu kelas.

Di dua tahun mereka menjadi teman satu kelas, satu tahun nesha mencari tahu. Perasaan apa yang sebenarnya ia rasakan, terhadap lelaki yang membuatnya gugup, setiap kali mereka saling berpapasan itu. cinta ? apa seperti ini rasanya jatuh cinta ? hatinya selalu bertanya-tanya. Rasa suka atau kagum terhadap seseorang, ia jelas tahu seperti apa. Dan tentang perasaannya kepada archie, ia tahu betul, itu bukan sekedar suka. Atau pun sekedar kagum. Yang jelas, setiap kali mata archie tertuju padanya, ia selalu ingin terlihat istimewa di depan archie. Meski yang terjadi, archie tidak pernah meliriknya lebih lama, seperti kebanyakan siswa lain di sekolah, yang bahkan sampai rela menunggu berjam-jam saat nesha latihan basket. Hanya untuk memberi minum. Atau yang bernyali, menawarkan diri mengantarnya pulang. Namun tidak pernah ada satu pun yang berhasil.

Di usianya yang baru genap 16 tahun, dan belum pernah merasakan ‘rasa’ seperti itu terhadap seorang lelaki, ia pun mencari tahu, apakah ini, namanya jatuh cinta ? yang orang-orang sebut, sebagai cinta pertama. Mendadak hatinya memberontak. Mau sampai kapan ia terus seperti ini. Menahan perasaannya. Harus sampai kapan ? Hatinya mendorongnya untuk memulai.

Nesha pun bangkit dari tempat tidurnya, setelah terpikirkan sesuatu. Ia keluar dari kamarnya, menuju dapur.

Di dapur, ia mulai langkah awalnya dengan menyiapkan dua kantong tepung yang ia letakkan dia atas meja. Selanjutnya telur, ragi, gula pasir, cokelat batang, keju. Semuanya ia keluarkan. Setelah semuanya siap, sesuatu yang unik ia lakukan. Perlahan nesha merentangkan kedua tangannya. Jemarinya bersentuhan, saling mengusap pelan. Penuh perasan, ia merasakan kelembapan ruangan. Sambil menghirup udara dalam-dalam, matanya pun terpejam dan tersenyum.

Di usianya yang masih remaja, membuat roti sudah jadi keahliannya. Meskipun belum ada apa-apanya dibanding ayahnya yang seorang baker, yang menularinya hobi membuat roti. Namun, roti buatan nesha selalu dipuji yang paling enak di banding buatan dika, kakaknya yang memang kurang hobi membuat roti. dika lebih tertarik dengan bisnis dari pada harus berada di dapur. Berbanding terbalik dengan nesha yang bercita-cita menjadi seorang pembuat roti yang hebat seperti ayahnya.

Satu persatu telur ia pecahkan. Di jatuhkan di atas tepung yang menggunung, di atas meja. Ditambah sedikit air, dan mulailah kedua tangan mungilnya itu mengaduk.

 

Bel istirahat berbunyi. “Ayo, nes.” Meta berdiri, mengajak nesha ke kantin. Namun yang meta ajak tidak beranjak dari kursinya, dan hanya menatap ke satu arah yang akan kembali berhibernasi.

Kembali meta duduk sejenak. “Kenapa gak disamperin, sih ?” lanjut meta, pelan.

“Ta, kamu duluan aja ke kantin. Ntar aku nyusul.” kata nesha.

“Akhirnya, setelah ribuan purnama.” Meta tersenyum. Melihat tangan nesha yang kemudian memegang paperbag berisi roti, yang akhirnya meta tahu, untuk siapa roti itu.

“Ya udah, aku duluan, ya” setengah berdiri, meta mendekatkan mulutnya ke telinga nesha “Semoga berhasil.” bisiknya.

Meta pun berlalu pergi. Hanya tinggal dirinya di dalam kelas, bersama dengan archie yang mungkin tidak mengetahui keberadaannya, saking fokusnya membaca komik.

Lihat selengkapnya