Sazadah Hitam

Paul Sim
Chapter #1

Berharap Pada Yang Salah

Sebelum Kematian Tirah

Pandangan dua matanya sendu terasa kosong sekejappun tidak ingin berkedip, alis matanya tipis hitam memayungi bola mata sejak tadi menatap korior lorong pendek, tepatnya di belakang mimbar terpampang Lafal Allah pada dinding tembok.

Ia terduduk di antara sujud dua kakinya, sedangkan dua tangannya gemetar menengadahkan. Namun bibirnya terasa berat untuk menguntaikan kalimat-kalimat pujian serasa terkunci gembok besar. Dua matanya mulai terbuai hempasan semilir sejuk angin, terasa mulai mengantuk mengajak dua matanya sesaat terpejam. Terkejut sekali wajahnya terjeguk akan jatuh tidak jadi, seolah-olah rasa kantuknya sudah terusir jauh namun datang menggoda lagi.

"Astagfirllahaladzim," dua mata lentik ingin di tahannya dari rasa kantuk, lihat saja lingkaran bola matanya mulai mengendur terasa sulit untuk mengusir kantuk berat. Gadis cantik itu, dengan bermukenah putih bergegas beranjak bangun, dua kakinya masih berdiri diatas sazadah hitam. Pandangannya menoleh kesekitar dalam masjid terasa sunyi hening dan sepi, hanya tirai jendela masjid di permainkan dengan semilir angin kecil mengajaknya bermain dalam tarian gerakan kecil.

Kini dua mata lentik gadis cantik itu menoleh menunduk kebawah, sesaat di lihatnya sazadah hitam masih terbentang beralas lantai masjid, terpijak dua kakinya. Gadis cantik bermukenah putih itu kini setengah membungkukan badannya, sesaat jemari kanannya mengelus sazadah hitam sambil berkata dalam hati.

"Aku rindu Ayah," dua kakinya mengajak pergi dari bentangan sazadah hitam dan dua tangannya cepat menarik sazadah hitam dan di lipatnya. Gadis cantik itu sesaat kembali menoleh kesekitar masjid, masih sama dan masih terasa sunyi dan sepi. Kini dua kakinya mengajak untuk bergegas keluar dari dalam masjid. Namun hati gadis cantik itu terasa ragu untuk meninggalkan masjid, walau sazadah hitam itu sudah dalam dekapannya.

Gadis cantik itu hanya berdiri membelakangi koridor lorong pendek membelakangi mimbar, mulai terasa bergidik ketakutan di sertai bulu kuduknya berdiri sembari perlahan wajahnya mengajak untuk menoleh kebelakang. Bayangan hitam, wajahnya seram, kepalanya bertanduk, dua gigi bercaling pendek perlahan muncul terlihat dari koridor lorong pendek, bayangan hitam seram itu berdiri berhadapan mimbar.

Perlahan gadis cantik itu berbalik, namun terasa berat dan ragu dua kakinya untuk mengajaknya berbalik siapa yang sudah di lihatnya. Gadis cantik bermukenah putih itu makin bergidik ketakutan, siapa sosok di hadapannya.

"Sazadah hitam itu hadiah dari saya, untuk orang-orang yang meninggalkan Dia," suaranya jelas terdengar di sertai geraman mencekam. Gadis cantik itu kini mulai mengajak dua kakinya mantap berbalik perlahan namun masih ada keraguan bercampuran dalam benak gadis itu. Ia semakin bergidik ketakutan, semakin jelas bayangan hitam bertanduk itu kini sudah berdiri tepat di belakanganya. Dua matanya sama sekali tidak bergeming mendelik, perlahan bayangan hitam itu berubah menjadi pocong.

Dua bola mata gadis itu terenyuh sendu menatap sosok seseorang terbungkus kain kafan berdiri di hadapannya, wajahnya itu terlihat seram pucat kertas namun sepertinya gadis cantik itu masih mengenali wajah siapa sosok terbungkus kain kafan. Tiba-tiba dua bola mata gadis cantik itu mengundang deraian tetesan air mata, perasaannya sedikitpun tidak gentar berteriak ketakutan untuk segera berlari.

"Ayah?" singkat ucapan gadis cantik itu pada sosok terbungkus kain kafan yang berdiri di hadapannya.

"Kembalikan Ayah. Kembalikan Ayah pada tempat Ayah, Tirah."

"Ayah. Aku rindu Ayah," semakin mundur sosok terbungkus kain kafan itu dalam kegelapan di sertai gadis cantik itu menangis berdiri dalam keheningan dan kesunyian dalam masjid. Sosok lelaki terbungkus kain kafan, yang di panggilnya ayah oleh gadis cantik itu, ia adalah bernama Tirah. Sosok lelaki terbungkus kain kafan semakin hilang dalam lorong koridor pendek, hanya terlihat jelas Lafal Allah terpampang pada dinding tembok di tatap sendu kesedihan dua mata gadis cantik itu.

***

"Berharap dan meminta kepada makhluk, hanya semakin menumbuhkan berdosa dan tentu membuat ketidak yakinan kita pada Allah. Sebaliknya, berharaplah kepada Allah SWT, itu satu yang pasti dan akan mendatangkan kemuliaan. Maka, memintalah kepada Allah SWT dan jika ingin berharap, berharaplah kepada Allah," suaranya terdengar lantang, sampai terdengar keluar kelas.

Semua santriwati hanya terduduk diam mendengar dan menyimak seorang guru berparas cantik setengah menua dengan balutan hijab putih dengan setelan dress panjang hitam sedang berdiri dan mengajar, guru cantik itu adalah Armi. Armi, salah satu guru yang mengajar di Pesantren Nur Imam. Pandangannya kini tertujuh pada kursi dan meja kosong. Semua santriwati ikut menoleh saat Armi berjalan kearah kursi dan meja kosong.

"Kalian tahu dimana Tirah?" tanya guru itu, semua santriwati terdiam saling melirik seraya tidak tahu atau menyembunyikan jawaban pertanyaan yang di lontarkan guru cantik itu dengan dimana keberadaan pemilik kursi dan meja itu.

"Ta-tadi Tirah?"

"Titin."

Lihat selengkapnya