Sazadah Hitam

Paul Sim
Chapter #2

Kematian Merenggut

Langit tidaklah melukisan keindahannya dengan kilauan sinar terik matahari, langit kini telah bertukar tugas dengan sang pujangga malam di selingi iringan suara-suara rintik hujan menetes membasahi bangunan pesantren yang di kelilingi perbukitan.

Semilir angin terasa makin bertambah dingin, makin menambah setiap rasa kantuk semakin tidak tertahan untuk segera menarik selimut melupakan kewajiban sebagai santriwati yang malam itu harus menghadap dengan yang patut di hadap.

"Tirah, tadi siang kamu kemana? Kenapa tidak ada di kelas, saat pelajaran ibu?" suaranya terdengar samar dari luar karena di barengi dengan suara rintik hujan masih mengguyur sekitaran pesantren.

Dari luar masih terlihat lebar jendela rumah terbuka lebar cahayanya masih terang, rumah yang terpisah jaraknya tidak jauh dari bangunan kelas dan asrama santriwati. Posisi rumah itu persis berhadapan dengan masjid, masjid yang masih berdiri kokoh walau bangunannya sudah terlihat menua karena termakan usia senja.

"Benar, tadi kamu pergi dengan lelaki. Katanya lekaki itu pacarmu?" suara itu terdengar dari dalam rumah, namun kini jendelanya tidak lagi terbuka lebar, jendela itu sudah tertutup. Terasa gelap di teras depan dan pelataran halaman rumah hanya terdengar suara rintik hujan sedang bermain dengan genangan air.

"Sudahlah bu, jangan ganggu aku. Aku ngantuk ahh," terasa malas gadis itu menjawab sebenarnya, ia hanya terbaring di ranjang.

Sepertinya ia sedang di buai oleh semilir hembusan angin kemalasan atau kupingnya sejak tadi sudah di bisiki hanya untuk berbaring tidak menjawab setiap pertanyaan seorang wanita yang adalah guru pesantren dan ibu kandungnya.

"Ya sudah, kalau kamu tidak mau menjawab tidak apa-apa. Sana, cepat ambil wudhu lagi dan sholat isya," wanita setengah baya itu hanya berdiri depan pintu menahan rasa gusar yang terselimuti kesabaran pada anak gadisnya, sepertinya ia semakin terbuai malas dengan bisikan semilir angin dingin.

Tersenyum menahan rasa gusar, raut wajah Armi sesaat menatap anak gadisnya masih tertelengkup malas diatas ranjang dengan kehangatan selimut. Armi sekali menghela napas seraya perasaan hatinya sedang menahan rasa kesabaran dan dua kakinya mengajak untuk beranjak jalan meninggalkan kamar agar pandanganya dua matanya tidak semakin menyulut kemarahan yang sampai membuat perasaannya bertambah kian gusar pada anak gadisnya.

"Malas aku sholat!" gadis cantik masih bermukenah putih itu lantas terduduk di ranjang, ternyata sejak tadi ia hanya berpura-pura saja saat di suruh ibunya lekas sholat isya.

Lanta ia bergegas turun dari ranjang, pandangan matanya tersenyum kecil seraya ada sesuatu yang mengajak perasaannya untuk berbahagia. Tapi ia tidak lantas menjauh dari ranjang, malahan membungkuk dan jemari kanannya menyingkap kasur. Sontak wajahnya tersenyum ketika dua bola matanya melihat sazadah hitam tergelatak di para-para ranjang. Cepat di ambilnya sazadah hitam itu dan di dekap sesaat dalam pelukannya dengan lagi-lagi raut wajahnya semakin tersenyum sumringah bahagia.

"Ayah, aku kangen," semakin erat dalam dekapan sazadah hitam itu dalam pelukan gadis cantik yang nyatanya ia diam-diam merindukan mendiang ayahnya yang sudah tiada.

Rintik hujan semakin deras, samar cahaya penerangan lampu menerangi barisan bangunan asrama yang terlihat hening dan sunyi. Mungkin saja sebagian santriwati lainnya tidak ingin mengajak dua kakinya untuk segera turun dari ranjang atau sedang memanjakan tubuhnya terbaring di ranjang. Atau mungkin juga ada santriwati lainnya sedang mengadu sembari bersujud pada sang pemberi napas kehidupan.

Bayangan hitam berdiri di tengah lapang pesantren membelakangi masjid, rasanya bayangan hitam itu tidak takut akan rintik hujan yang pasti akan membuat sekujur tubuh bayangan hitam seram itu basah menggigil kedinginan. Pandangan dua matanya terasa seram, giginya saja terlihat seperti gergaji tajam siap melahap apapun. Pandangan dua mata bayangan hitam itu tertujuh pada satu kamar, ada cahaya lampu terang terlihat dari bilah-bilah jendela.

Begitu khusuknya gadis cantik itu sholat, ia bersujud sampai dahinya mendarat sesaat pada sazadah hitam dan kemudian ia terduduk di antara sujud dua kakinya sembari menengadahkan dua tangannya. Dua matanya terlihat berkaca-kaca dan berbinar, tidak tahu apa dalam hatinya yang sedang mengajak bibir tipisnya untuk menguntai kata.

"Ayah, aku kangen. Aku ingin bertemu dengan ayah," sesungguhnya itu yang sedang mengulik hati dan perasaannya sampai bibirnya tidak sedang menguntai kata-kata pujian bagi sang pemberi kehidupan. Nyatanya gadis cantik itu sesungguhnya begitu percaya sekali dengan sazadah hitam itu dapat membayar kerinduan dirinya dengan mendiang ayahnya yang sudah tiada sejak lama.

"Tirah, ayah ingin kembali."

"Ayah?" sontak saja gadis cantik di bikin terkejut bercampur ketakutan saat yang di hadapannya sudah lelaki terbungkus kain kafan putih yang adalah ayahnya. Dua kaki gadis yang namanya di panggil Tirah, oleh ayahnya sejak tadi dua kaki tidak bergerak hanya terasa gemetar. Seraya kakinya terikat hanya terlihat bergetar, berat rasanya ingin melangkah untuk mengajak dua tangannya memeluk untuk meluapkan kerinduan yang kian lama sudah tertahan.

Lihat selengkapnya