Terik matahari yang sedang ganas-ganasnya, tiba-tiba meredup terhalang awan hitam yang berarak. Langit seketika mendung dan bumi pun ikut-ikutan kelam. Namun, tak menyurutkan tekad seorang anak lelaki berseragam putih abu-abu untuk terus memacu motor maticnya.
Setelah berbelok sekian derajat ke samping kiri, anak lelaki itu memacu kembali motornya memasuki kawasan perumahan elite. Melewati pos penjagaan pertama dan selanjutnya dia harus mengikuti prosedur pemeriksaan keamanan lainnya di pos penjagaan kedua yang lebih ketat. Untungnya para petugas di pos dua jauh lebih menyegarkan mata dan humanis.
Remaja berusia 17 tahun itu, harus sedikit meningkatkan kesabarannya. Pada Pos pemeriksaan kedua, selain wajib menunjukan tanda pengenal, nomor telepon dan mengisi registrasi tamu termasuk menyebutkan maksud dan tujuan. Dia pun harus menunggu persetujuan dari tuan rumah yang akan dikunjunginya.
Sedikit menunggu, tidak terlalu membosankan. Karena petugas wanita yang sangat cantik dan ramah akan menyambutnya. Walau diperkirakan usianya sudah kepala tiga, namun kecantikannya terlihat jelas dan matang. Semua petugas di pos dua, harus seorang wanita yang sudah berkeluarga. Aturannya ditentukan demikian. Entah apa tujuannya.
"Jovan Fuad Kurniawan, silahkan isi dulu buku tamunya." Petugas cantik dengan seragam security dan kerudung hitamnya, bicara seraya membaca nama yang tertera pada kartu pelajar yang disodorkan anak lelaki itu.
Tanpa menunda waktu, pelajar yang bernama Jovan itu segera mengisi form yang disodorkan petugas kepadanya. Sedikit terburu-buru karena langit sudah makin menghitam. Tampaknya hujan sudah tak tahan lagi ingin segera turun membasahi bumi yang sama sekali tidak sedang gersang.
'Jadi orang kaya itu ternyata ribet juga. Mau nerima tamu aja seperti mau kedatangan penjahat tingkat dunia. Padahal kita datang baik-baik, rapi, ganteng walau sedikit bau keringat, hihihi.' Jovan bicara dalam hati dan terkekeh mentertawakan dirinya sendiri.
Sesaat setelah selesai mengisi form itu, hati Jovan tiba-tiba berdebar harap-harap cemas. Berharap tidak ditolak lagi, karena jika itu terjadi, maka hilanglah kesempatannya untuk bisa bertemu ayahnya.
'Semoga hati dan jiwa nenek sedang dihinggapi Malaikat atau setidaknya Ibu Fery yang baik hati, amin.' lanjutnya berdoa Jovan dalam hati.
Ya, Jovan sedang mencoba peruntungan pada kunjungan yang ke limanya. Bertamu ke rumah nenek kandungnya sendiri. Empat kunjungan terdahulu, hanya sekali diizinkan bertemu neneknya. Yang tiga kali lainnya ditolak mentah-mentah, karena Nenek Soraya, sedang tidak mood untuk menerima tamu, terlebih Jovan.
'Mungkin hanya gua, cucu kandung yang mau nemui neneknya wajib mengajukan permohonan terlebih dulu. Itu pun belum tentu disetujui. Dunia oh dunia... kamu terkadang lucu menggemaskan, namun kadang membuat hati terluka bagai disayat sembilu, hehehe.' Jovan kembali mentertawakan nasib tragisnya.
"De Jovan, kira-kira berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bertamu dengan Nyonya Soraya Alarkam?" tanya petugas cantik yang sudah memiliki dua balita itu dengan senyum manis dan tatapan lembutnya.
"Sepuluh menitan, Bu. Ya kurang lebih segitu," jawab Jovan tak yakin. Lalu menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Dia sendiri bingung, berapa lama waktu yang dibutuhkan. Andai neneknya berbaik hati, tentu saja seharian pun ngobrol tak ada masalah. Namun jika hati neneknya sedang kerasukan iblis dan kumat, satu menit pun terlalu lama. Jovan hanya ingin menanyakan sesuatu. Tidak lebih.
"Oke tunggu sebentar ya, Nyonya Soraya sedang mengatur scedulenya. Silakan duduk dulu, De!" tawar petugas ramah itu dengan senyumnya yang tetap memesona.
'Kan, mau ketemu nenek sendiri bahkan time scedulenya pun wajib diatur dulu. Gila! cucu yang lain mah bebas main di rumah neneknya. Bahkan tak sedikit yang tinggal bersama. Nah gua? oh my God!' Jovan ngedumel dalam hati sambil menjatuhkan pantatnya pada kursi chitose yang tersedia.
"De, Nyonya Soraya hanya mengizinkan 6 menit saja. Dihitung sejak ade memijat bel pintu gerbang." Petugas bernama Sonia itu kembali bicara setelah membaca pesan singkat pada layar ponselnya.
"Siap Bu!" Jovan langsung berdiri dengan sikap sempurna, laksana pemimpin upacara. "Terima kasih atas bantuan Ibu," lanjutnya sambil menyalami Bu Sonia. Dan senyum balasan yang tak kalah manisnya, terbit dari bibir lelaki putih abu-abu itu.
"Maaf, De Jovan putranya Pak Fuad, bukan?" Bu Sonia bertanya seraya melekatkan pandangannya meneliti sekujur tubuh Jovan dari atas hingga lantai yang diinjaknya. Dahinya pun seketika berkerut.
"Betul, emang mirip ya, Bu? hehehe." Jovan menjawab santai.
"Yes," Bu Sonia antusias. "Andai saja usianya sama, pasti kalian kaya kembar identik. Tapi..." Bu Sonia tak melanjutkan kata-katanya.
"Tapi kenapa, Bu?" Jovan penasaran.
"Tapi, kenapa mesti pakai kartu guest. Bukankah bisa langsung masuk dengan kartu family? Masa mau ke rumah nenek sendiri harus pakai kartu tamu?" Bu Sonia kembali mengernyitkan dahi, pandangannya masih tetap terfokus pada wajah dan sekujur tubuh Jovan. Heran.
"Saya cucu spesialnya, Bu. Jadi harus memakai kartu guest. Oh iya maaf, takut keburu ujan, saya ke rumah nenek dulu, Bu." Jovan pamit mundur.
"Oh iya silakan." Bu Sonia tersenyum mengantar Jovan yang menaiki kembali motornya.
'Sabar, Jo. Jangan ciut nyali and jangan menyerah. Ini demi masa depan lu dan kedua ade lu. Sekali layar terkembang pantang surut perjuangan apalagi harus pulang dengan bimbang. Perjuangkan hak-hak lu sebagai cucu keluarga Ibrahim Alarkam, juragan minyak dari Timur Tengah, hehehehe.' Sisi kiri hati Jovan ikut manas-manasin.
Sekian detik kemudian, matic yang sudah setia menemani Jovan sejak kelas satu SMP itu, melaju perlahan meninggalkan pos pemeriksaan. Melanjutkan perjalanannya menuju salah satu rumah yang lokasinya paling ujung di kompleks perumahan elite itu.
"Walau hanya sekilas, siapapun bisa menebak kalau dia anaknya Pak Fuad. Cakepan anaknya sih, mungkin karena masih muda. Tapi aku yakin, Pak Fuad pasti begitu juga waktu SMAnya. Tapi, kenapa harus mengikuti prosedur kunjungan tamu? Bukankah semua anggota keluarga sudah punya kartu family. Aneh. Ada apa dengan Pak Fuad dan anaknya?" Bu Sonia bergumam seorang diri seraya menatap kartu pelajar yang ditinggalkan Jovan.
Dengan kecepatan yang sesuai instruksi dan peraturan, tidak lebih dari 30KM/Jam, Jovan melintasi jalan aspal yang super rata dan licin. Jika matahari sedang bersinar terik, maka sepanjang jalan itu akan tetap terasa teduh. Rimbunan Bougainvil, Nusa Indah, Kayu Manis dan Palm Raja yang berjejer rapi akan melindungi siapapun yang melintas di bawahnya dari panasnya sang surya.
'Time is money, Bro. Ketemu siapa, Jo? Nenek kandung lu? Sejak kapan dia mengakui lu sebagai cucunya? Lu masih belum nyadar juga? Ngaca bro, ngaca! Gak mungkin juga Nenek Soraya yang terlahir dari keturunan darah ungu dengan harta warisan yang gak bakal habis sembilan turunan punya cucu semiskin lu! Lihat motor lu? Itu udah gak layak disebut motor. Tapi besi tua! hahahaha' Jovan masih tak puas mentertawakan dirinya sendiri.
Tak sampai lima menit, Jovan sudah sampai di depan sebuah rumah yang model dan ukurannya sedikit berbeda dari bangunan yang lain. Pintu gerbangnya pun terlihat sangat menonjol. Lebih kokoh, megah dan mewah dengan ornamen khas Timur Tengah yang didominasi warna gading dan kuning keemasan.
Jovan memarkir maticnya di samping kanan pintu gerbang. Motor tua itu tidak diizinkan masuk ke halaman dalam rumah neneknya. Walau tidak tertulis dalam aturan yang disodorkan bagian keamanan tadi, namun dia sudah tahu.
Setahun yang lalu, saat kunjungan yang pertama. Jovan terpaksa mengeluarkan kembali motornya, karena tidak dibenarkan ada barang rongsokan terparkir di halaman rumah yang hampir mirip dengan istana negeri dongeng Abu Nawas itu.
Sebenarnya kunjungan Jovan kali ini, sebagai bentuk kekonyolan dan kenekatannya. Sudah berulang kali mamanya mewanti-wanti agar dia tidak datang mendekat apalagi masuk ke rumah neneknya, walau ada kepentingan yang sangat mendesak sekalipun.
Jovan tetap nekat dan terpaksa melanggar pesan mamanya, karena sudah tidak tahan sekaligus tak tega melihat adiknya yang sakit keras, merengek dan menangis setiap waktu memanggil ayahnya.