Setahun telah berlalu. Kehidupan bergulir apa adanya. Jovan menjalani hari-harinya sama seperti yang lain. Di sela-sela kesibukannya sebagai pelajar dia masih menyempatkan diri membantu mamanya mengurus warung dan merawat serta membimbing kedua adiknya.
Tak ada sesuatu yang teristimewa dalam perjalanan hidup Jovan selama setahun, kecuali sebuah peristiwa yang berakar dari kenekatan seorang Angel. Sampai saat ini masih membekas dalam ingatan semua guru dan siswa SMA Garuda yang menyaksikan. Mungkin akan terus diingat sampai kapan pun, terutama oleh Jovan.
Insiden yang cukup menggegerkan dan berhasil menorehkan malu yang tiada terhingga untuk seorang Jovan. Salah satu siswa SMA Garuda yang terkenal memiliki urat malu yang cukup tebal.
Jovan hampir mogok sekolah setelah itu. Untungnya, dia seorang pemalu tapi bukan cowok yang susah move on atau mudah terhanyut dan terjebak dalam kebaperan yang berlarut larut. Cukup satu jam dia tenggelam dalam kolam ketidak-berdayaan.
Peristiwa terjadi sebulan yang lalu. Tepatnya hari Senin tanggal 12 Agustus, pukul 08.35 WIB.
Sesaat setelah Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih selesai. SMA Garuda, sekolah bonafide yang terkenal dengan penerapan aturan disiplin yang super ketat. Dikejutkan dengan sebuah aksi teatrikal dari Angel dan kawan-kawan.
Aksi yang cukup menggemparkan. Diliput salah satu stasiun televisi swasta nasional, dengan tajuk acara yang sedang booming di kalangan anak gaul 'Cintai Aku, Jebret!'.
Semua orang terperanjat. Dalam aksi dadakan dan super gila itu, Jovan menjadi pelengkap penderita. Lebih tepatnya jadi korban. Setidaknya itu yang dia rasakan.
Bagaimana tidak?
Tak ada hujan tak ada angin. Angel yang didukung puluhan bahkan mungkin ratusan siswa, berteriak-teriak di tengah lapangan sekolah, tanpa ragu dan malu. Menyatakan cintanya pada Jovan. Celakanya, Angel memaksa Jovan untuk menjawab atau lebih tepatnya menerima cintanya saat itu juga. Disaksikan semua orang dan pemirsa televisi di seluruh Indonesia.
Jovan melongo. Shock, bingung setengah mati dan tidak mengerti. Mentalnya down dan benar-benar tidak siap dengan drama itu. Yang ada justru jantungnya hampir copot dari singgasananya.
Angel bukan siapa-siapanya. Tanpa pendekatan dan komitmen sebelumnya, tidak mungkin dia tiba-tiba menerima atau menolak cinta seseorang. Jovan dan Angel memang pernah sangat dekat saat kelas sepuluh. Namun, hanya sebatas teman biasa. Bahkan keduanya tidak pernah membicarakan urusan asmara, walau hanya sekedar iseng.
Jovan tak menerima. Dia merasa seolah mendapat frank dari Ferdian Paleka, bahkan lebih. Dia merasa dipecundangi dan dipermalukan di depan umum oleh cewek yang paling tidak disukainya akhir-akhir ini.
Jovan pergi meninggalkan arena. Menghindar dan bersembunyi dalam kelasnya ditemani seorang siswi, pacar rahasianya. Tak mempedulikan aksi dan teriakan Angel yang makin menggila. Jovan tidak mengindahkan rayuan tim kreatif stasiun televisi. Sang mantan ketua OSIS pun tak menggubris dorongan dan paksaan teman-temannya untuk berpartisipasi dalam drama konyol itu. Sekedar memeriahkan.
Alih-alih ikutan gila, Jovan memilih merapikan semua perlengkapan belajarnya. Berniat bolos atau setidaknya bersembunyi di tempat yang lebih aman. Walau belum bisa menemukan dimana tempat yang aman di sekolahnya.
Di toilet? sangat tidak mungkin. Sama saja dengan bunuh diri. Di sepanjang koridor menuju ke toilet, saat ini sedang dijejali para siswa kelas sepuluh dan sebelas yang antusias menyaksikan acara edan besutan Angel itu.
Ketika masih berpikir keras memutar otak mencari tempat aman, tiba-tiba terdengar keriuhan dan keributan. Jovan mendongak. Matanya mengitari sekeliling. Seketika matanya terbelalak, mulut menganga dan sekujur tubuhnya panas dingin. Tak percaya dengan kelas yang beberapa menit lalu kosong melompong, kini riuh rendah dijejali siswa dan kru televisi.
BRAK!
Suara keras mengiringi sebuah tamparan kasar pada meja belajarnya.
Jovan tertegun. Mengumpulkan nyawanya yang sempat berantakan. Dia bahkan tak menyadari sang pacar rahasianya telah menghilang dari sisinya. si dia berbaur dengan barisan penonton dan pendukung Angel.
Jovan memandangi Angel yang berdiri pongah dan berkacak pinggang di samping depan mejanya. Dadanya turun naik, napas memburu dan wajah merah padam perpaduan marah dan malu.
Beberapa saat Jovan dan Angel saling bertatapan. Laksana dua musuh bebuyutan yang tak sengaja bertemu di tengah jalan. Suasana hati dan sorot mata keduanya memancarkan kemarahan dan kebenciannya masing-masing.
Angel mengangkat sebelah tangannya ke udara. Memberi kode pada semua hadirin agar tak mengeluarkan suara. Tangan sang aktris utama itu seperti mengandung daya magis yang dahsyat. Suasana ruangan kelas tiba-tiba hening sunyi senyap.
"Heh, Jovan!" bentak Angel memecah keheningan. "Apa susahnya, lu terima cinta gue?" lanjutnya dengan intonasi lebih tinggi.
Jovan menghela napas panjang. Menahan amarah yang hampir lolos dari pengawalannya. Kedua tangannya mengepal bulat. Bersiap melayangkan tinju atau menghadiahkan tamparan keras pada wajah siswi tercantik di sekolahnya itu.
"Jadi gua mesti pura-pura, gitu?" Jovan balik tanya.
"Ya, walau hanya sekedar pura-pura. Tapi itu jauh lebih baik daripada mempermalukan gue di depan umum begini. Ini acara disiarkan langsung di televisi!" Angel berteriak menunjukan urat lehernya yang menonjol. Gelombang kekecewaan dan kemarahannya terlepas dari kontrolnya.
"Yang nyuruh bikin drama beginian, siapa?" Jovan kembali menarik napas panjang, "harusnya, kalau mau ngajak gua jadi pemerannya, kasih tahu dong skenario dan naskahnya. Kalau perlu sekalian dengan kontraknya yang jelas. Berapa lu mau bayar gua untuk episode gila ini?" Jovan berusaha mengontrol suaranya agar tidak menjadi makian atau teriakan.
Dalam keadaan sedikit panik, dia tetap harus mengontrol diri dan sadar kamera. Jangan sampai nilainya menjadi minus, gara-gara terbawa emosi yang andai dituruti ingin dia lampiaskan secara membabi buta.
"Eh Jovan, ini namanya surprise! You know surprise? kalau lo dikasih tahu, apa namanya?" Angel memiringkan kepala, menatap wajah Jovan yang sudah mulai sedikit datar. Tidak terlalu tegang dan merah padam.
"Gue gak nyangka, ternyata juara umum SMA Garuda, orangnya gak gaul banget! Masa gak ngerti dengan acara sekeren ini?" Angel membuka lebar kedua tangannya seraya memandangi semua penonton, meminta dukungan. Namun semua orang tetap senyap. Mereka tak berani secara terang-terangan menunjukan keberpihakannya pada salah seorang aktor utamanya.
BRAK!
Angel kembali memukul meja. "Dasar norak lo!" makinya kemudian degan sangat keras.
"Hah! emang gua pikirin! Itu sih derita lo!" Jovan menjawab santai sambil mencibir. dia tampak tenang karena sudah bisa menguasai dirinya.