Scandal Para Pendosa

Hendra Irawan
Chapter #3

Malaikat Tak Bersayap

Seminggu telah berlalu

Matic warna merah hitam, yang ngetop dengan julukan motor sejuta umat, terparkir manja depan rumah sederhana. Bangunan berarsitektur klasik, dengan dinding bercat biru toska serta kusen dan listplang bercat putih itu, terlihat sangat nyaman, asri, bersih dan resik.

Seorang lelaki berseragam putih abu-abu, turun dari motornya seraya membuka helm full face. Menampilkan wajah lelahnya yang kasep pisan. Siswa bernama lengkap Jovan Fuad Kurniawan itu, sering kali singkatan namanya disandingkan dengan nama besar salah seorang mantan Presiden Amerika, Jhon F Kennedy.

Jovan masuk rumahnya, setelah mengucapkan salam. Bu Anita wanita berusia 40 tahun membalasnya dari dalam.

"Jo, tumben pulangnya sore amat. Tadi mama kirim pesan, kok belum dibaca?" Bu Anita yang berbaju gamis tanpa kerudung, menyambut anak sulungnya dengan pertanyaan bertubi tubi.

"Maaf Ma, hape Jojo lowbat. Tadi ada pertandingan futsal persahabatan dengan sekolahnya teman, dadakan sih." Jovan membalas seraya membungkukkan badan. Mencium punggung tangan kanan mamanya.

"Udah Shalat Ashar, belum?" Bu Anita kembali bertanya.

"Insya Allah sudah, Ma." Jovan menganggukkan kepala seraya mencium kening wanita cantik yang tinggi badannya beberapa senti di bawahnya.

"Syukur kalau udah, cepetan ganti baju sana, terus makan. Mama masak tongkol balado loh, Jo." Wajah Bu Anita tampak berseri seri.

"Siaaaap, mamaku yang cantiknya mengalahkan Vio Vallentino." Jovan menjawab antusias.

Seperti biasa. Dia akan selalu bersemangat setiap mamanya membuat masakan favoritnya. Sebenarnya selalu begitu setiap hari. Mamanya tidak pernah memasak sesuatu yang tidak disukainya. Apapun hasil olahan wanita yang pernah jadi koki di salah satu rumah makan ternama itu, pasti jadi makanan favorit Jovan dan kedua adiknya.

Siswa yang pada kenaikan kelas lalu, menjadi Juara Umum itu, bergegas masuk kamar. Setelah berganti pakaian, dia pun duduk manis depan meja makan. Menikmati menu santap sore yang sudah dipersiapkan mamanya, dari satu jam yang lalu.

Bu Anita, duduk menemani anak sulungnya. Dia tidak makan, karena beberapa waktu yang lalu sudah makan sambil menyuapi Naufal, putra bungsunya yang berusia 6 tahun. Julia, putri keduanya juga yang berusia 12 tahun sudah makan, bareng dengannya tadi.

"Dede dan Teteh kemana, Ma?" Jovan menanyakan Naufal dan Julia. Kedua adiknya itu biasa dipanggil dengan panggilan sayang 'Dede' dan 'Teteh'.

"Biasa, main di rumah Bu Surya," balas wanita yang bernama lengkap Anita Rahayu itu seraya menyodorkan gelas besar berisi air teh hangat ke hadapan Jovan.

"Oh iya. Tadi Neng Angel ke warung lagi, lama banget mainnya." Bu Anita menatap si sulung yang wajahnya seketika berubah datar dan napasnya sedikit mendengus.

Jovan menolehkan wajah secara perlahan, menatap heran wanita yang beberapa bulan terakhir, sering dipergokinya sedang menangis sendiri di dapur atau di kamarnya.

"Jam berapa Angel ke warung?" tanyanya setelah sepotong ikan tongkol bumbu balado mendarat di atas nasinya.

"Dari jam sebelasan sampai jam duaan kalau gak salah." Bu Anita tersenyum bahagia. Dia akan selalu antusias setiap kali membicarakan Angel.

"Jam segitu kan mama juga tahu, Jojo masih di sekolah. Angel juga mestinya masih di sekolah." Jovan menjawab tak acuh. Ekspresinya wajahnya makin datar, kedua matanya kosong menatap layar televisi yang sedang menyiarkan rencana Pembatasan Sosial Berskala Besar untuk wilayah luar Jabodetabek dan sekitarnya.

'Udah deh Ma, jangan bahas Angel, entar selera makanku hilang. Mending bahas yang lain aja, virus corona kek, Mang Amir yang mau nikah lagi, kek. Atau Pak RT yang mulai rajin ngumpulin KTP penduduk buat ngedukung salah satu calon legislatif !' batin Jovan seraya mengunyah makanannya.

"Iya, tadi juga mama bilang gitu, kata dia kelasnya bebas." Bu Anita bicara ragu. Raut wajah anak sulungnya seolah mengisyaratkan agar dia tidak meneruskan obrolan tentang Angel. Namun sayangnya di hati Bu Anita masih banyak yang mengganjal dan Jovan harus mengetahuinya.

"Yang bebas dia doang, kali, Ma. Emang sama siapa aja ke sininya?" tanya Jovan makin datar. Sekedar merespon dan menghargai ucapan mamanya, bukan berarti kepo dengan Angel.

"Biasa, sama Neng Helena dan satu lagi siapa yang rambutnya panjang? Mama Lupa lagi."

"Niken."

"Iya, Neng Niken."

"Ngapain aja mereka?"

"Ya, ngobrol aja, nemenin mama di warung. Terus ngajak Dede sama Teteh jajan di Ndramart." Bu Anita kembali bersemangat. Walau Jovan malas-malasan merespon, namun itu sudah cukup membuatnya yakin, kalau Jovan punya ketertarikan pada Angel.

"Hmmm," gumam Jovan, malas.

"Terus, pas mau pulang, Neng Angel ngasih uang jajan buat si Dede." Obrolan Bu Anita mulai menjurus.

Jovan kembali menolehkan wajah. Menatap curiga, wanita yang sudah 18 tahun tulus ikhlas dan rela merawat dirinya dengan segala limpahan kasih sayangnya.

Sendok nasi yang hampir masuk ke mulutnya, tertahan sejenak."Ngasih berapa?" tanyanya kemudian.

"Lima ratus ribu," jawab Bu Anita semringah.

"Hah! ngasih jajan anak SD segitu? gede amat!" Mata Jovan sedikit terbelalak.

"Ya kan buat sebulan Jo, makanya dititipkan sama mama," jawab Bu Anita makin enteng dan santai.

Lihat selengkapnya