“Saya musisi!” teriak Key. “Tidak mau jadi pegawai hotel! Seenaknya saja mengubah jalan hidup saya!” Pemuda itu beranjak meninggalkan pasangan paruh baya di depannya. Ia bergerak ke pintu ruangan meeting ini dan membukanya dengan terburu-buru.
Kaca, si bungsu, menyusul kakak keduanya itu berjalan keluar setelah sempat melempar wajah merengut kepada ibunya. “Aku juga enggak mau!”
“Yeah, Mum! I didn’t come back to Indonesia for this kind of nonsense!” Kali ini Arttra yang berujar. Nada bicaranya masih dipaksa setenang mungkin, tetapi raut mukanya dingin dengan dagu sedikit terangkat, menampilkan perasaan yang marah. Perempuan muda ini bangkit dari kursi meeting berlapis kulit lembut karya desainer langganan hotel orang tuanya. “I want to be a creativepreneur, and no matter what, I will only live my life as a creativepreneur!” Koper besarnya ia tarik dengan susah payah, tetapi kemudian langkah kakinya mengayun lebih cepat dari dua saudaranya.
Setelah ketiga anak ini keluar, pintu ganda berwarna putih nan megah itu tertutup lagi di belakang mereka. Dalam ruangan meeting, Anneta Arjawisesa—sang ibu yang berusia lima puluh sembilan tahun dengan penampilan sangat fit— masih pada posisi berdiri dengan kedua tangannya bertumpu ke permukaan meja. Dengan postur yang tegap dan anggun, dalam balutan jas dan celana panjang hitam rapi, serta sepatu stiletto hitam mengilap, Anneta menatap kepergian anak-anaknya dengan raut muka yang keras. Bibirnya mengerucut seperti menahan amarah, dan dagunya sedikit terangkat dengan sikap yang angkuh. Layar presentasi di belakangnya masih menampilkan tabel berisi jadwal kerja masing-masing anak. Rencananya betul-betul tak berjalan lancar.