Dengan kesal, Kendi menekan tombol pada ponselnya dan mengakhiri sambungan video call dengan laptop Anneta. Lalu, dengan penuh tekanan amarah pula ia menaruh ponselnya itu di atas meja mungil samping kursi berjemur tempatnya sedang bersantai di tepi kolam renang Arjawuni Resort Bali. Memakai bikini biru dan topi lebar berwarna merah muda, hari ini Kendi menghadiri pertemuan keluarganya lewat video call, karena masih belum mau pulang ke Bandung.
Kendita Arjawuni, 29 tahun, anak perempuan pertama Anneta dan Tejar. Dalam tahun ini, sudah empat bulan ia tinggal di Arjawuni Resort Bali. Sejak lama Kendi suka tinggal berpindah-pindah, menikmati fasilitas mewah di seluruh jaringan hotel dan resort Arjawuni. Biasanya ia paling lama tinggal di Bali; tidur di presidential suite, memesan makanan apa saja yang ia mau, menikmati minumannya di tepi kolam renang yang luas, memakai fasilitas spa dan sauna, berjalan-jalan serta berbelanja di toko-toko area pantai, dan berpesta dengan teman-temannya setiap malam.
“Biasanya, Mami sama Papi, tuh, enggak pernah ngurusin hidup gue! Kenapa sekarang mereka tiba-tiba nyuruh gue kerja di Arjawuni Bandung?! Kebayang, enggak sih, gue jadi resepsionis, jadi waiter, ngurusin tamu-tamu gitu, terus ngeberesin kamar hotel?! Ih, ogah banget! Gue, kan, pemain film! Masa jadi pegawai hotel?! Ini maksudnya Mami mau ngebatasin kebebasan gue dan ngedesak keputusan gue?! Kebiasaan, deh, dia dari dulu! Pokoknya gue enggak sudi ngikutin kemauan dia yang aneh itu!” Dengan saksama, aku menyimak Kendi meluapkan perasaan kesalnya.
Kendi lantas menyeruput lagi minumannya yang berpayung mungil warna kuning, lalu menoleh kepadaku. Ia menyibak rambut panjangnya yang hitam legam ke punggung, dan menatap dari balik kacamata hitam berbentuk mata kucing yang bertengger di wajahnya yang bulat. Semua aksesorinya tampak cocok berpadu dengan bikini biru di tubuhnya yang dianggapnya ‘bertulang besar’ dan kuku-kukunya yang juga dicat warna biru. Kendi suka mengecat kuku-kukunya sewarna dengan bikini yang akan ia pakai. Dan menurutnya, tulang- tulangnya lebih besar daripada ketiga saudaranya sehingga ia tampak lebih gemuk. Dengan pipi bulatnya yang memerah karena terlalu marah hingga paras cantiknya tampak galak, Kendi menatapku lekat-lekat ketika berbicara.
“Apa, sih, yang Mami pikirin, sampai bikin pengumuman yang nyusahin gini?! Apa coba kata orang-orang nanti?! Teman-teman gue juga pasti bakal kaget banget kalau gue kasih tahu! Ah, gue enggak boleh kasih tahu mereka! Mereka enggak boleh tahu kalau gue disuruh jadi pegawai hotel! Bisa malu banget, gue! Daripada kerja di hotel Mami, mending gue main film aja, duitnya banyak! Kalaupun Mami beneran stop kasih duit, gue tinggal cari film baru! Bisa, lah, gue hidup sendiri dari main film!”
Sejak enam tahun yang lalu, Kendi memang mencoba berkecimpung di dunia perfilman sebagai aktris. Tetapi hingga kini, ia baru bermain satu film horor. Di situ Kendi berperan menjadi salah satu cewek yang ikut si tokoh utama liburan ke suatu pulau berhantu, lalu mati saat sedang berenang di laut malam-malam. Itu pun filmnya dengan segera dilupakan orang- orang. Setelah itu, Kendi tidak mau susah-susah bekerja keras demi mendapat peran. Lagi pula ia bergaul di lingkup perfilman nasional bukan untuk mengembangkan karier. Kendi hanya suka membuat pesta untuk bersenang-senang dengan para aktor. Ia tidak mencari uang dan ketenaran di ranah publik, melainkan popularitas internal di antara orang-orang terkenal. Kendi merasa bangga bisa berteman dan berpesta dengan para figur penting dari dunia hiburan. Kendi pernah kuliah jurusan Business & Management, tapi berhenti di semester tiga. Seumur hidupnya ia tidak pernah bekerja kantoran, dan tidak pernah terbayang pula oleh Kendi untuk bekerja di hotel milik orang tuanya. Jelas saja, ia tidak akan mau menuruti jadwal kerja di The Classy Arjawuni Bandung.
Kendi pun berdecak menyepelekan, seraya menyandar lagi dengan santai. “Ah, tapi gue yakin, Mami juga pasti enggak serius! Dia cuma ngancem ajaaa! Lagian, masa gue aktris keren gini, harus kerja rendahan gitu, sih?! Enggak level! Gue enggak akan pernah mau kerja di hotel Mami! Masih banyak film Indonesia yang butuh gue!”
Sebuah notifikasi tiba-tiba muncul di layar ponsel Kendi. Ia langsung mengambil ponselnya dan melihat notifikasi dari akun e-mail nya: ‘Jadwal Kerja di The Classy Arjawuni’.
***
Key menatap layar ponselnya dengan geram. Ia berdiri sendirian di lorong yang diapit oleh deretan pintu kamar hotel, menyandar ke dindingnya. Cowok berkulit putih ini mengenakan celana jogger berwarna hijau tua yang tampak cocok dengan kaus putihnya yang tipis dan bergaris abu-abu.
Topi fedora hitam bertengger di atas rambutnya yang dipotong model angular fringe.
“Saya tidak percaya, Mami betul-betul memaksa saya kerja di hotel ini….” Ia menunjukkan e-mail berisi jadwal kerjanya kepadaku. “Saya seorang musisi! Waktu dan pikiran saya harus dipakai untuk menciptakan lagu yang menggerakkan umat manusia!” Key mengeluh sambil menatapku dengan wajah merengut. “Dulu saya memutuskan untuk keluar dari rumah Mami karena dia bilang, ‘Selama kamu masih tinggal di rumahku, kamu harus ikuti peraturanku!’ Tapi saya punya aturan sendiri dalam menjalani hidup, jadi saya memutuskan untuk pindah dari rumahnya dan tinggal di apartemen sendiri. Ya sudah, harusnya Mami sudah paham, sekarang saya tidak akan mau ikut perintahnya yang tidak masuk akal itu!”
Keyman Arjawuni, 27 tahun, anak kedua, satu-satunya anak lelaki Anneta dan Tejar. Ia suka mendengarkan musik sejak menemukan koleksi piringan hitam album rock ‘n roll milik ayahnya ketika ia masih kecil. Key pun mulai belajar bermain gitar saat berusia 13 tahun. Setelah itu, hidup pemuda ini didominasi dengan bermain gitar dan menciptakan lagu.
Saat masih SMA, ia membentuk rock ‘n roll band dengan teman-teman les musiknya. Namun, masing-masing personel sibuk sekolah, sehingga band pertamanya itu segera bubar. Setelah itu Key membentuk band baru, dan masih coba memainkan musik rock ‘n roll. Kali ini dengan teman-teman satu sekolahnya. Ia sempat beberapa kali manggung di acara sekolahnya dan ikut audisi untuk tampil di acara sekolah lain. Band keduanya ini kemudian mesti bubar karena sebagian besar personelnya tidak mau main musik rock ‘n roll. Selepas itu, Key masih sering main dengan bassist band keduanya yang bernama Juna, karena mereka kemudian kuliah di kampus yang sama. Lantas mereka membentuk band baru lagi, dengan merekrut vokalis serta drummer dari kampus mereka.