Kukira pandemi adalah satu-satunya hal besar yang terjadi di tahun 2020, ternyata aku keliru.
Ketika virus Corona yang berasal dari Kota Wuhan, China, mulai menyebar ke beberapa negara di dunia, pemerintah tidak segera menutup akses dari luar dan malah membuka pintu lebar-lebar untuk wisatawan mancanegara yang ingin berkunjung ke Indonesia.
Kasus pertama di Indonesia diumumkan pada bulan Maret 2020. Kepanikan mulai menyelimuti, terutama di kota-kota besar. Menteri Kesehatan mengimbau agar masyarakat tidak takut berlebihan karena virus Corona adalah penyakit self limited disease, artinya penyakit yang dapat sembuh sendiri, terutama jika tubuh kita memiliki imunitas yang baik. Ia juga mengingatkan pemakaian masker hanya untuk orang yang sakit saja. Meski begitu, sebagian masyarakat sudah terlanjur khawatir.
Media mulai menayangkan berita-berita tentang orang yang terjangkit virus secara masif. Angka kasus dikabarkan terus-menerus naik. Lambat laun kekhawatiran meluas. Apalagi ketika angka kematian dibacakan setiap saat sehingga memicu ketakutan masal. Semakin hari virus yang semula dianggap tidak berbahaya itu semakin tampak mengerikan. Sama seperti wabah virus di film-film, yang mampu mengubah seseorang menjadi zombi saking parahnya. Masyarakat mulai diliputi ketegangan.
Sekitar satu bulan sejak kejadian itu, pemerintah kemudian mengumumkan kondisi pandemi dan secara bertahap menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah meluasnya penyebaran virus Corona yang kemudian lebih sering disebut sebagai virus Covid. Tidak ada satu orang pun yang siap menghadapi kondisi seperti itu. Siapa yang bisa mengira kalau sesuatu yang buruk akan muncul secara mendadak dan mengacaukan segalanya dengan cepat?
Peraturan-peraturan darurat diterapkan tergesa-gesa. Kegiatan kantor dan sekolah dilakukan dari rumah sampai ada pengumuman lebih lanjut.
Jam malam pun mulai diberlakukan. Kegiatan masyarakat di malam hari dibatasi. Razia oleh petugas mulai dilakukan di jalan-jalan meski belum secara menyeluruh. Mal dan tempat-tempat hiburan lain ditutup paksa.
Jual-beli online dengan cepat menjadi tren baru. Dan disinfektan menjadi semacam cairan suci yang dianggap ampuh membunuh virus.
Masker medis menjadi barang langka dan banyak dicari. Toko-toko mendadak kehabisan stok. Jika ada pun, harganya melonjak menjadi berkali-kali lipat. Masyarakat mulai panik karena kesulitan mendapatkan masker. Pemerintah turun tangan dan akhirnya memperbolehkan penggunaan masker kain sebagai penggantinya. Pengrajin masker kain seketika menjamur. Selalu ada dua sisi untuk setiap masalah.
Iklan layanan masyarakat untuk mencuci tangan, menjaga jarak, dan berdiam di rumah ditayangkan berulang-ulang. Banyak orang yang kemudian memilih tidak keluar rumah sesuai anjuran pemerintah. Mereka mengurung diri di rumah masing-masing.
Jalan-jalan yang biasanya padat dengan kendaraan berubah lengang. Kami bagaikan tinggal di dunia yang berbeda. Dan dalam kesunyiannya yang menakjubkan, rumahku menjadi tempat persembunyian yang aman.
...
Berjarak sekitar lima puluh meter dari jalan utama komplek perumahan YKP yang padat penduduk, rumahku bisa dibilang terlalu sunyi. Rasanya seperti tinggal di dalam sebuah gelembung kedap suara.
Sejak Bayu dan aku menikah dan menempati rumah ini, aku benar-benar menyukai betapa tenangnya lingkungan perumahan kami. Saking tenangnya, aku sampai bisa mendengar dengan jelas gemerisik dedaunan yang diterpa angin. Burung-burung emprit mencicit berisik di sela-sela daun bambu kuning. Aku bahkan bisa tahu suara pagar tetangga mana yang dibuka hanya dari bunyi deritnya. Suara sandal yang lewat di depan rumah atau suara sapu lidi yang bergesekan dengan jalan. Aku bisa mendengar deru kendaraan dari kejauhan, hanya samar-samar, sehingga tidak pernah menggangguku. Sesekali peluit panjang terdengar dari tukang parkir yang berjaga di depot di ujung gang.
Aku tidak punya alasan untuk mengeluh. Jauh sebelum pandemi terjadi, aku sudah lebih dulu mengasingkan diri dari dunia luar.
Sebagian besar perempuan dilahirkan untuk menjadi ibu rumah tangga, melayani suami, membesarkan anak-anak, dan memelihara kucing. Tidak ada yang salah dengan pilihan hidup semacam itu. Toh, tidak semua perempuan harus menjadi pekerja kantoran. Aku adalah salah satu dari perempuan-perempuan itu.
Rumah menyediakan banyak pekerjaan. Pagi-pagi sekali aku bangun dan menanak nasi, memasak lauk, dan menjerang air. Bayu tidak pernah melewatkan sarapan. Piring dan gelas yang menumpuk di dalam bak cuci setelah kami selesai makan selalu membuatku gelisah. Belum lagi pakaian kotor yang menggunung di dalam keranjang. Dan ada kotak pasir yang menunggu untuk dibersihkan.
Setelah selesai sarapan, biasanya Bayu akan berangkat ke proyek, atau ke mana saja yang ia suka. Aku tidak pernah mencemaskannya meski kadang ia pergi seharian dan pulang larut malam. Bayu selalu pulang. Itu yang penting bagiku.
Kehidupanku sendiri baru dimulai ketika segelas es kopi tersaji di atas meja. Semacam imbalan setelah sepagian sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Akan ada kopi kedua di sore hari, ketika semua jemuran sudah diangkat dan dilipat rapi. Aku selalu minum kopi dengan merek yang itu-itu saja, dan dengan gelas yang sama setiap harinya. Kebiasaan yang tidak bisa diganggu gugat.
Aku duduk dan menyesap kopiku. Mengecap rasa pahit manis yang mengikatku seperti candu. Meja kerjaku dipenuhi barang-barang tidak penting. Gunting kuku, karet rambut, koran, dompet, dan kertas-kertas. Laptop diletakkan di tengah dan tumpukan novel di sisi kanan dan kirinya. Setiap novel memiliki pembatas buku di beberapa halamannya. Aku tidak lagi punya kesabaran untuk membaca tuntas sebuah buku. Hal-hal kecil dengan mudah dapat mengalihkan perhatianku. Bahkan ketika aku sudah sampai ke bagian yang paling menarik. Aku malah berhenti begitu saja, menyelipkan pembatas dan meninggalkan buku itu di atas meja untuk kubaca lagi kapan-kapan. Kenapa harus terburu-buru?
Lalu aku akan menonton video-video tutorial tentang bagaimana caranya menjadi seorang penulis yang hebat. Aku tidak benar-benar menulis untuk saat ini, tapi rasanya begitu menyenangkan mendengarkan orang-orang itu mengoceh layaknya seorang ahli. Walaupun mungkin saja sebagian besar dari mereka bahkan belum pernah menerbitkan sebuah buku.
Aku senang mendengarkan mereka berbicara tentang membuat kerangka cerita, tentang menciptakan karakter yang kuat, atau tentang cara menulis bab pertama yang memikat. Semua penjelasan itu biasanya akan mendapat perhatian penuh dariku selama sepuluh menit pertama, sebelum kemudian aku kehilangan minat di tengah-tengah video dan berhenti menonton untuk melakukan hal lain.
Ada hari-hari di mana aku duduk di depan laptop setelah beberapa teguk kopi dan membaca-baca naskah-naskah lama yang tidak pernah kuselesaikan. Aku selalu punya banyak alasan untuk tidak menulis. Pencapaian terbesarku hanya berupa penambahan satu-dua kalimat yang dilanjutkan dengan tidur-tiduran di lantai sambil membaca buku dengan dua ekor kucing kesayangan bernama Kopi dan Foxy bergelung di sisi kanan dan kiriku.