Bulan Juni datang. Sehari sebelum ulang tahunku, biasanya aku naik kereta api untuk mengunjungi orang tuaku. Lalu keesokan harinya, kami akan sarapan bersama sebagai bentuk rasa syukur. Tapi tidak tahun ini. Aku tidak bisa meloncat ke dalam kereta api dengan ransel melekat di punggung seperti yang kulakukan tahun-tahun sebelumnya.
Orang tuaku tinggal empat jam dari Surabaya. Begitu juga dengan orang tua Bayu. Sebenarnya, tanpa peraturan pembatasan perjalanan yang dibuat oleh pemerintah kami semua sudah berjarak. Namun kondisi pandemi memperburuk segalanya. Kini jarak empat jam jadi terasa sangat jauh. Rumah kedua orang tua kami seolah berada di ujung dunia. Bahkan antar tetangga pun kami seketika merasa asing. Wajah-wajah yang biasanya tersenyum ramah ketika kami berpapasan kini tersembunyi di balik masker.
Jauh dari orang tua membuat kami biasa melakukan semuanya sendiri. Aku duduk di tepi tempat tidur sambil menggigiti kuku. Hampir dua bulan aku menyimpan kekhawatiran. Aku merasa harus mengambil keputusan penting itu sendiri. Tapi sebelumnya, aku perlu memberitahu Mama soal benjolan itu.
Mataku terpaku pada ponsel di atas meja. Keraguan mendadak menyelinap. Mungkin aku harus menunggu sampai besok. Karena kurasa tidak pantas aku mengumumkan berita buruk itu bertepatan dengan hari kelahiranku. Entah kenapa aku begitu yakin jika benjolan itu adalah sesuatu yang buruk. Padahal aku belum melakukan pemeriksaan apa-apa. Kukira aku sudah melupakannya, tapi ternyata tidak.
Meski aku tidak merasa sakit dan tidak melihat ada perubahan pada tubuhku, tapi aku tahu benjolan itu masih menetap di atas dada kiriku. Tidak membesar atau mengecil. Rasanya pun masih sama, keras sekaligus kenyal, seperti di awal aku menemukannya.
Aku meraih ponsel dan menekan nomor Mama. Perutku terasa melilit karena gugup. Banyak hal berseliweran di dalam kepalaku saat ini. Nada sambung terus-menerus berdengung di telinga. Mungkin Mama sedang di kebun. Mama betah duduk selama berjam-jam, mencampur tanah dengan pupuk dan mengisinya ke dalam puluhan polybag, siap untuk ditanami.
Kedua orang tuaku sama-sama pecinta tanaman. Mereka punya taman yang terawat dengan baik. Puluhan bunga lili hujan berwarna merah muda di halaman mereka mekar sempurna, sementara lili-ku tak kunjung berbunga. Padahal jelas-jelas aku mencongkel tanaman itu langsung dari taman yang sama.
"Jangan menanamnya di tempat teduh," kata Papa ketika aku bercerita tentang tanaman itu. "Ia butuh sinar matahari penuh. Jangan lupa menyiramnya setiap hari. Lili sangat suka air."
"Jadi itu sebabnya," kataku, sambil berjongkok di halamanku. Telunjukku menyentuh daun-daun yang hijau.
"Kamu juga harus banyak berjemur. Matahari bagus untukmu. Virus-virus akan mati jika terpapar sinar matahari. "
"Aku benci berkeringat," keluhku. Semua orang sudah tahu kalau Surabaya punya dua matahari saking panasnya.
"Kita harus bersyukur karena tinggal di negara tropis. Sinar matahari adalah disinfektan alami."
Aku menarik napas panjang tepat ketika Mama akhirnya mengangkat telepon.
"Halo? Ma?"
"Ranti, selamat ulang tahun, Sayang." Suara Mama terdengar bersemangat. "Big forthy. Tidak kerasa, ya?"
40 tahun. Aku termangu. Sempurna.
"Apa kamu merayakannya dengan Bayu?"
"Eng, kami berusaha menghindari keramaian."
"Pesan makanan saja kalau memang malas pergi."
"Iya, mungkin nanti. Mama masak nasi kuning?" tanyaku, sambil mengingat-ingat hari-hari ulang tahun yang selalu kuhabiskan bersama orang tuaku.
"Tidak. Kamu kan tidak datang."
"Mama sehat?" Aku mengamati jari-jari kakiku.
"Sehat, Alhamdulillah. Kamu?" tanya Mama.
Aku kembali menggigiti kuku jempol.
"Halo? Ranti?"
"Mama ingat waktu aku operasi kista dulu?" Aku mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan telunjuk. Sungguh sebuah perayaan ulang tahun yang canggung. "Kurasa kistanya kembali."
"Aduh."
Ada jeda tercipta begitu kata itu terlontar.
"Sudah ke dokter?" tanyanya setelah satu menit berlalu dalam diam.
"Aku bahkan belum cerita soal ini ke Bayu."
Ini benar. Aku masih merahasiakan benjolan itu darinya. Bayu benar-benar tidak menyadari ada sesuatu yang tidak beres pada tubuhku. Tapi mungkin karena memang tidak ada yang berubah. Ketika aku berdiri di depan cermin dan mencondongkan muka ke depan sambil memicingkan mata, aku tidak melihat apa-apa. Bentuk tubuhku masih sama seperti sebelumnya.
"Kenapa tidak?"
"Bagaimana kalau ini bukan kista?"
Keheningan kembali datang.
"Jangan mengambil kesimpulan sendiri. Dokter yang lebih tahu."
Aku termangu. "Nanti aku bilang Bayu."
"Oh, Sayang. Seandainya Mama dan Papa bisa ke sana," keluh Mama. Nadanya terdengar putus asa.
Aku bisa memahami perasaannya. Kedua orang tuaku adalah petualang sejati, bahkan di usia mereka yang sudah senja. Mereka senang bepergian dan mengunjungi tempat-tempat menarik di berbagai kota di Indonesia. Pandemi sudah memaksa mereka menggantung sepatu dan berdiam di rumah. Seandainya saja aturan perjalanan tidak seketat sekarang, aku yakin mereka pasti berangkat menemuiku detik ini juga.
"Jangan ke mana-mana," tegasku. Aku tidak ingin mereka mendapat masalah di tengah perjalanan. Beberapa hari lalu aku menonton berita tentang penumpang bus yang dihentikan paksa dan diturunkan di tengah jalan karena nekat melakukan perjalanan antar kota. "Nanti kukabari lagi."
"Oke, Ranti Sayang. Segera ke rumah sakit. Jangan ditunda-tunda."
"Apa itu Ranti?" Suara Papa terdengar dari belakang.
"Iya, tapi jangan bicara dulu," kata Mama kepada Papa. "Nanti aku ceritakan."
Terdengar gumaman-gumaman tidak jelas dari seberang sana.
Kopi tiba-tiba muncul di pintu kamar dan mendekat. Ia menggosok-gosokkan badannya ke kakiku sambil mendengkur. Aku menunggu sambil mengelus-elus kepalanya.
"Papamu bilang, selamat ulang tahun," kata Mama sambil menghela napas. "Ranti, nanti Mama hubungi kamu lagi. Tapi jangan lupa pesan Mama tadi. Coba bicarakan dengan Bayu soal kondisimu."
Aku mengangguk, sejenak lupa kalau Mama tidak bisa melihatku.
"Iya," sahutku, lalu menutup pembicaraan.
Aku merebahkan diri di atas tempat tidur. Beberapa hal berkecamuk di dalam kepalaku. Jika benjolan ini berubah menjadi sesuatu yang lebih buruk daripada kista, itu akan menjadi bencana. Rasanya seperti tersandung dan jatuh terguling-guling karena turun dari bus dengan kaki kanan terlebih dulu. Kacau sekali.
Salah satu cara esktrem untuk menghancurkan seseorang adalah dengan menjatuhkan bom atom ke atas hidupnya yang sempurna. Bom atom memiliki daya hancur yang dahsyat. Kekuatan ledakannya dapat meruntuhkan suatu daerah, menghancurkannya hingga berkeping-keping.
Bagiku, benjolan asing itu bagaikan bom atom yang dijatuhkan tanpa peringatan di siang bolong. Bom itu tidak hanya menghancurkan hidupku, tapi mungkin juga hidup orang-orang di sekitarku.
Mataku baru terpejam ketika Bayu tiba-tiba menyentuh bahuku. "Apa kata Mama?" tanyanya.
Aku masih mendekap ponsel di dada. Keraguan kembali menyergap. Aku tidak yakin ingin merusak suasana hari ini dengan berita yang tidak menyenangkan. Tapi aku sudah diam cukup lama, dan aku tidak tahu sampai kapan aku akan menyimpan kecemasanku sendiri.