Scar

Sekarmelati
Chapter #3

Bab 3. Bayu


Aku dan Bayu, kami memulainya terlambat. Meski sudah berteman selama bertahun-tahun semasa kuliah, tapi kami baru beberapa bulan sebelum wisuda. Bayu belum mengungkapkan perasaannya waktu itu. Jadi, secara teori, kami belum benar-benar berpacaran. Entahlah. Karena belum ada peresmian apa-apa tentang hubungan kami, maka aku hanya memanggilnya dengan nama. Bay. Atau Bayu. Tidak ada tambahan kata 'sayang' dan semacamnya. Dan kebiasaan itu terus berlanjut bahkan sampai sekarang. 

Satu per satu teman kuliah kami mengikat janji setelah lulus. Setiap pesta pernikahan yang kami hadiri selalu terlihat menyenangkan. Bayu kerap menggodaku dan bilang kalau suatu hari nanti kami harus mencobanya. Aku tahu maksudnya. Tapi menurutku pernikahan bukan untuk coba-coba. Aku tidak terlalu tertarik dengan ide itu. Pasti aneh rasanya jika harus menikahi sahabatmu sendiri. 

"Jangan bercanda," kataku sambil menggeleng. "Aku tidak mungkin menikah denganmu."

"Kenapa tidak?"

"Karena kita tidak pacaran, Bay."

Bayu menggaruk kepala. "Oh. Berarti selama ini aku sudah salah paham. Kukira kita berdua sudah lebih dari teman."

Mataku mengerling. "Bagiku kau memang lebih dari itu. Kita kan sahabatan."

"Aduh." Bayu terbahak.

Tentu aku tidak sungguh-sungguh menganggapnya sebagai sahabat. Dalam hati, aku mulai mengaguminya. Aku hanya terlalu gengsi untuk mengakuinya. 

Bayu terlalu gigih untuk ditolak begitu saja. Aku tidak tahu kenapa ia selalu membuntutiku. Perbedaan di antara kami terlalu kentara. Kepribadiannya yang ramah membuatnya mudah disukai. Tidak sedikit teman-teman seangkatan kami yang terang-terangan mendekatinya. Senyumnya selalu menjadi daya magnet yang menarik perempuan-perempuan di kelas. 

Jangan tanya aku ada di mana ketika Bayu dikelilingi perempuan-perempuan itu. Aku memilih untuk tidak ikut-ikutan. Mereka bisa sangat ribut, bercanda dan tertawa tak habis-habis. Mendengarnya saja sudah membuatku lelah. Untuk sebagian orang, tidak punya teman memang tampak menyedihkan. Tapi aku tidak keberatan. 

Secara fisik, Bayu memang menarik. Rambutnya ikal sebahu. Dan badannya tinggi besar. Ciri khas laki-laki yang dengan mudah menjadi idola di kampus. Aku paling suka matanya. Jika ia tertawa, mata itu seolah menghilang, hanya menyisakan garis saja. Sorot matanya begitu teduh, terutama ketika kami tak sengaja bertatapan. Aku buru-buru menunduk atau memalingkan muka, sambil berharap semoga saja ia tidak melihat pipiku yang merona. 

Di kelas, aku biasa menyendiri. Kadang aku membaca novel atau menulis cerita di bukuku. Aku sering melamun, duduk menopang dagu. Aku tidak pergi ke kantin seperti teman-teman lain. Kantin terlalu ramai untukku. Aku tidak bisa membaca dengan tenang di sana. 

Mama selalu membawakanku bekal. Jika ia tidak sempat memasak, aku akan membuat roti dengan isian selai nanas kesukaanku. Siang itu kelas terasa lengang. Hanya ada tiga orang di dalamnya, termasuk aku. 

"Sibuk? Baca apa?" Bayu tiba-tiba saja sudah duduk di depanku. Ia memutar badannya dan mengintip tulisanku. 

Aku terkejut. Tidak mengira Bayu akan mendekatiku. Buru-buru aku menutup buku dan menjejalkannya ke dalam tas. Bercita-cita menjadi seorang penulis adalah sesuatu yang belum ingin kubagi dengan orang lain. 

Laptopku menampung banyak cerita-cerita pendek dan naskah-naskah novel. Itu karena aku mulai rajin menulis sejak SMA. 

Dulu aku begitu percaya diri dengan kemampuan menulisku. Dua cerita pendekku pernah menjadi juara satu di sebuah lomba menulis. Meski hadiah uang yang kuterima tidak seberapa, tapi untuk ukuran anak sekolah, itu sudah lebih dari cukup. 

Sejak itu aku mulai rajin mengirimkan cerita-ceritaku yang lain setiap kali lomba menulis diadakan. Aku juga mengirim naskah novel ke penerbit-penerbit besar. Impianku adalah memiliki buku yang terpampang di rak toko buku-toko buku terkemuka. Tapi ketika naskah-naskah itu dikirim balik di dalam amplop tebal dengan selembar surat penolakan, barulah aku mengerti, aku kurang cakap dalam menulis. Karakterku tidak cukup kuat. Tema ceritaku terlalu pasaran. Gaya bahasa kurang mengalir dan plot amburadul. 

Semua cerpen yang kukirim untuk lomba itu juga tidak menang. Kenyataan pahit menyengatku. Intinya: aku gagal.

Aku masih menulis setelah semua penolakan itu, tapi ambisiku mengendur. Aku hanya menulis apa yang kusuka saja. Cerita-ceritaku bahkan banyak yang tidak selesai. Kadang aku hanya menulis judul lalu menyimpannya. 

"Roti apa itu?" ia menunjuk kotak bekalku.

"Roti tawar biasa. Pakai selai nanas," jawabku, lalu menutup kotak itu.

"Nanas." Bayu bergidik. Mukanya berkerut-kerut, seakan bisa merasakan masamnya rasa selai itu. "Aku paling suka isi keju."

Ia lalu berdiri.

Aku ikut mendongak. Sorot matanya hangat sekali. 

Bayu menjulurkan tangan. "Kita ke kantin, yuk. Aku yang traktir."

Aku tidak menyambut uluran tangan itu. Menurutku bergandengan tangan hanya ada di film-film romantis. Tapi aku berdiri dan mengikuti ajakannya ke kantin.

Seperti dugaanku, kantin ramai sekali. Ketika kami berjalan, banyak orang yang menyapa Bayu. Aku meliriknya. Bayu tampak menikmati semua perhatian itu. Ia menyapa hampir semua orang. 

Kami berhenti di satu meja kosong. Meja paling ujung dan jauh dari keramaian. Aku duduk dan ia pergi memesan makanan. 

Aku baru tahu kalau kantin ini punya menu mi ayam yang juara. Kuahnya kental dan irisan ayamnya empuk. Bayu menontonku makan. Sesekali ia tersenyum sambil menyeruput es teh. 

Mangkuk mi itu licin. Aku bahkan meminum semua kuahnya sampai ludes. 

Bayu mencondongkan badan ke depan. Mataku membelalak tak siap. Aku mundur dan ia terus maju. Tangannya menyentuh pipiku dengan tisu.

"Makanmu berantakan," katanya, lalu tertawa kencang.

Aku bisa merasakan mukaku merah padam. 

Sejak hari itu, Bayu sering mampir ke mejaku. Kami tidak selalu pergi ke kantin. Kadang kami menghabiskan waktu di kelas dengan makan bekal yang kubawa dari rumah sambil mengobrol. Bayu yang lebih banyak bicara. Aku lebih memilih menjadi pendengar yang baik. Meski begitu, aku tidak pernah berpikir kami akan dekat lebih dari itu. 

Setelah aku menolak ajakannya untuk menikah. Karena kukira dia juga hanya main-main saja. Kami tidak pernah membahas tentang pernikahan lagi. Bayu mulai bekerja dan disibukkan dengan rutinitas baru. Ia diterima bekerja di kantor properti di bagian desain grafis, sementara aku berdiam di rumah sambil terus berkhayal akan menerbitkan sebuah buku suatu hari nanti. Bayu masih datang setiap malam Minggu dan membicarakan tentang pekerjaannya. Seperti biasa, aku menjadi pendengar yang baik. 

Sampai suatu hari, aku mendengar berita kematian salah seorang teman kami. Tidak ada yang menyenangkan dari mendatangi rumah duka. Suasananya begitu suram dan menyedihkan. Ia punya tiga anak yang masih kecil-kecil. Tangisan istrinya terdengar begitu menyayat dari dalam kamar. Kematian suaminya begitu mendadak. 

Aku memandangi ketiga anak teman kami yang bermain-main di antara pelayat. Mungkin mereka belum mengerti kalau ayahnya pergi selamanya. Keringat dingin membasahi telapak tanganku. Aku sampai harus menyembunyikan diri di balik punggung Bayu. 

Teman-teman lama berdatangan menyampaikan ucapan turut berduka cita. Banyak dari mereka yang sudah memiliki anak. Tidak hanya satu, tapi dua, bahkan tiga. Baru kali ini aku merasa tertinggal. Aku termangu. Hidup terus berjalan tanpa memberi kesempatan untuk sekadar menengok ke belakang. Sudah berapa tahun berlalu sejak kami lulus?

Aku meninggalkan rumah duka itu dengan hati kosong. Di tengah perjalanan aku tidak tahan lagi. 

Bayu menghentikan mobilnya ketika aku mulai menangis. 

"Ranti, apa kamu baik-baik saja?"

Aku tidak sanggup menjawab karena aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya kutangisi. 

Hari itu juga, di sebuah warung bakso di tepi jalan, kami sepakat untuk menikah. 


...


Menikahi Bayu ternyata mudah. Sebelumnya, aku sudah membayangkan banyak hal-hal baik yang akan terjadi dalam kehidupan kami setelah menikah nanti. Bayu menawarkan kenyamanan, dan aku menerimanya. Ada satu hal yang mengejutkanku. Ternyata butuh waktu cukup lama untuk memiliki seorang anak. Rencana untuk punya banyak anak rupanya harus menunggu. Aku harus menerima bahwa keinginan dan kenyataan kadang memang tak seiring sejalan. 

Tahun-tahun kami lalui berdua saja sampai akhirnya aku memutuskan untuk membawa kucingku pindah ke rumah kami. 

Ternyata Bayu tidak mengenalku sebaik itu. Ia memang sering melihatku memberi makan kucing liar di sekitar kampus. Setiap kucing kusapa dan kuajak bicara. Tapi ia tidak pernah tahu kalau aku punya seekor kucing.

Aku memang tidak membawanya ke rumah kami karena aku tahu Bayu belum pernah memelihara binatang sebelumnya. Kutinggalkan kucing hitam kesayanganku itu di rumah orang tuaku, dan setelah beberapa tahun lewat tanpa kehadiran anak, aku memutuskan untuk mengambil kembali kucing itu. 

"Oh, tidak," kata Bayu ketika aku muncul dengan kucing di dalam dekapanku. 

"Halo, Om Bayu. Namaku Kopi," kataku sambil tersenyum lebar. 

Bayu bersin ketika aku menurunkan kucing itu ke lantai. 

Alisku naik. "Kau punya alergi?"

"Aku tidak tahu," sahut Bayu, mendadak sibuk menyusut ingus. 

Lihat selengkapnya