Tawaran untuk menemui dokter lain tidak segera kuiyakan. Aku merasa tidak ada gunanya untuk melakukan itu. Aku membayangkan harus mengulangi semua prosedur yang sama untuk hasil yang sama. Tanpa pemeriksaan itu saja aku sudah tahu. Benjolan itu berbahaya dan harus diangkat.
Aku menghirup kopiku dan menyalakan laptop. Semilir angin dari jendela membuatku menguap berkali-kali. Ada satu naskah yang ingin kutengok hari ini. Aku punya sedikit waktu untuk mengeceknya sebelum menjemur pakaian.
Dahiku berkerut. Aku mencermati naskah-naskahku satu per satu. Sesekali aku kembali menghirup kopiku. Foxy tidur di bawah meja, bersandar ke kakiku. Ia tampak tidak terganggu dengan bunyi 'klik-klik' dari tetikus yang kutekan berulang-ulang.
Bayu mendadak muncul dari dalam kamar. Aku lupa kalau ia tidak ke mana-mana hari ini. Biasanya ia berangkat pagi-pagi untuk mengecek pekerjaan di lokasi proyek.
"Belum berangkat?" tanyaku, tanpa mengangkat wajah. Mataku masih menelusuri naskah di depanku.
"Hari ini proyek libur. Tukang-tukang banyak yang dipulangkan," katanya sambil menjatuhkan diri ke sofa.
Aku menoleh. "Karena pandemi?"
Bayu mengangkat bahu malas, tampak tidak tertarik untuk membahas soal pekerjaan. Ia bergeser dan menyandarkan kepala ke pundakku. Aku tahu apa yang akan ia lakukan. Bayu belum menyerah rupanya. Setiap hari ia menanyakan hal yang sama. "Mau ke dokter yang mana? Ayo aku antar."
Dan aku selalu merespon ajakan itu dengan pura-pura tidak mendengar dan malah meninggalkannya begitu saja. Ia berdiri dan mengikutiku. Kucing-kucingku ikut di belakangnya. Mereka mulai membuatku kesal.
Aku berhenti dan membalikkan badan. "Aku tidak akan pergi, Bay."
"Kenapa tidak?" Ia mulai merengek. "Kalau memang itu kanker, bukankah kita harus cepat mengambil keputusan?"
Bibirku mengatup rapat. Aku diam-diam sudah mencari informasi tentang kanker itu. Kanker payudara memiliki jumlah kasus terbanyak di Indonesia. Tingkat kematiannya juga cukup besar.
Sebenarnya penderita kanker payudara dapat sembuh dan menjalani hidup normal, asal cepat ditangani. Tingkat kematian dapat ditekan dengan tindakan operasi mastektomi yang diikuti dengan serangkaian sesi kemoterapi atau radiasi, tergantung dari kasus masing-masing pasien.
Aku tidak tahu apakah aku akan menjalani operasi dan kemoterapi itu. Membayangkannya saja sudah membuatku gentar.
Bayu masih berdiri di depanku. "Apa kamu tidak sayang dengan dirimu sendiri?" tanyanya sambil merengut.
Boys will be boys. Bayu mulai merajuk dan ia terlihat sangat konyol. Aku tahu ia tidak akan berhenti sebelum aku menuruti keinginnya. Perlahan-lahan pertahananku mengendur.
Hampir sebulan berlalu sejak pemeriksaan pertamaku. Hari ini Bayu berhasil membujukku untuk berangkat.
Prosedur untuk memasuki rumah sakit masih sama. Kami harus mengisi kertas berisi pertanyaan-pertanyaan tentang riwayat perjalanan kami, apakah kami sempat berinteraksi dengan orang lain yang mungkin terkena virus, dan masih banyak lagi. Ketegangan masih terjadi di mana-mana. Rumah sakit berusaha keras agar menjadi tempat yang steril dari serangan virus dengan membuat peraturan-peraturan darurat yang cukup ketat.
Gerakan cuci tangan digaungkan terus-menerus. Panduan cara mencuci tangan yang benar diajarkan ke sekolah-sekolah. Tempat-tempat umum memasang tempat cuci tangan semi-permanen di banyak tempat.
Kami mencuci tangan bergantian. Aku lalu menyemprotkan cairan disinfektan ke tangan sebelum memasuki gedung rumah sakit.
"Bagaimana mereka tahu kalau kita menulis data yang benar?" bisikku kepada Bayu. "Mereka tidak akan tahu kita bohong atau tidak."
"Jangan mulai, Ran," kata Bayu sambil mencubit pinggangku.
"Apa kamu lupa kalau aku tidak suka rumah sakit?"
"Kamu baik-baik saja waktu kita ke dokter waktu itu."
"Iya, tapi itu karena aku tidak punya pilihan lain. Kali ini aku punya. Aku tidak harus datang ke sini dan mengulangi semua proses yang sudah aku lakukan sebelumnya."
"Kita ikuti saja alurnya."
Aku mengembuskan napas panjang. "Geser sedikit," kataku sambil menarik ujung kaos Bayu.
Bayu menggeleng. Matanya menunjuk ke arah petugas keamanan yang sedang berdiri di dekat pintu masuk. "Jaga jarak," katanya sambil melipat tangan di depan dada.
Aku memalingkan muka, melihat ke sekeliling. Antrian di dokter ini ternyata cukup banyak. Dokter Saraswati adalah salah satu dokter senior di spesialis Onkologi. Aku mendapatkan namanya dari Mama. Menurutnya, dulu dokter ini juga yang pernah mengoperasi kistaku. Aku tidak terlalu ingat soal itu. Mungkin karena waktu itu aku masih terlalu muda.
Aku mulai bosan. Bayu malah sudah tertidur dengan tangan dilipat di depan dada. Kakinya diluruskan dan badannya nyaris melorot dari kursi. Ketika namaku dipanggil masuk, aku terpaksa membangunkannya. Bayu nyaris meloncat karena kaget.
Karena aku sudah membawa hasil USG dan mamografi. Dokter hanya melakukan pemeriksaan fisik saja. Ia meraba dan menekan benjolan di atas payudara kiriku itu. Kedua tanganku lalu diangkat ke atas dan ia menelusuri area ketiak, dada kanan, dan kembali ke dada kiri.
Ia lalu kembali ke mejanya. Aku turun dari ranjang dan mengancing kembali bajuku. Bayu menepuk kursi di sebelahnya.
Dokter membaca semua berkas dan mengamati hasil USG dan mamografiku dengan cermat. Ia lalu meletakkan berkas itu dan memandangku dari balik face shield yang dikenakannya.
"Saya akan memberikan rujukan untuk memastikan benjolan ini ganas atau tidak," katanya sambil menulis sesuatu di atas kertas. "Nanti setelah hasil biopsinya keluar, baru kita tetapkan tanggal operasinya."