Aku tidak tahu siapa sebenarnya yang lebih takut menghadapi operasi itu. Bayu memang tidak mengakui ketakutannya, tapi aku bisa melihat perubahan dari dirinya ketika menghadapiku setelah dua kali kami mengunjungi dokter.
Meski ramah ke banyak orang, Bayu justru lebih cuek ketika bersamaku. Sama sepertiku, ia hanya memanggilku dengan nama tanpa embel-embel 'Sayang' di belakang. Mungkin sebenarnya perasaannya sama dengan apa yang kurasakan. Kenyataannya adalah kami menikah tanpa cinta. Waktu itu kami menikah sebagai sahabat. Cinta datang belakangan. Yang kami tahu, kami saling membutuhkan.
Ia bukan tipe orang yang romantis. Tidak pernah ada bunga, tidak ada coklat, tidak ada perayaan apa pun selama kami menikah. Karena alasan itulah aku selalu pulang ke rumah orang tuaku menjelang ulang tahunku. Mama akan memasak nasi kuning, lengkap dengan paha ayam goreng, perkedel, dan irisan telur dadar. Bayu tidak pernah ikut. Ia hanya mengantarku ke stasiun dan kembali ke pekerjaannya. Aku tidak keberatan ia tidak menemaniku. Berada di dalam kereta api, di dalam gerbong penuh orang yang tidak kukenal, aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam dengan memandangi jendela dan tidak bercakap-cakap dengan siapa pun.
Selain keromantisan yang tidak pernah ada, salah satu risiko menikahi sahabatmu sendiri adalah aku tidak memiliki teman dekat. Hanya ada aku dan Bayu. Tapi aku memang tidak pandai bersosialisasi, jadi kurasa akulah yang bermasalah dalam urusan mencari teman.
Tapi bukankah hampir semua orang mengalaminya? Teman datang dan pergi, tidak ada yang benar-benar tinggal selain pasanganmu.
Tidak banyak pertemanan yang berlangsung selama-lamanya. Keluarga, pekerjaan, anak, dan orang tua, bisa perlahan merenggangkan persahabatan yang sebelumnya begitu erat. Hanya masalah waktu saja. Lalu hanya ada kau dan dia, tidak ada yang lain.
Mungkin itu lebih baik. Sejak kematian anakku, aku hanya ingin bersembunyi. Dan karena aku tidak punya teman dekat, aku bisa lolos dari pertanyaan-pertanyaan template yang biasa dilakukan orang: apa kabarmu? Apa kamu baik-baik saja? Semua pasti ada hikmahnya, dan hal-hal menyebalkan semacam itu. Tanpa teman, aku hanya perlu menjawab pertanyaan orang tuaku, yang untungnya hanya ditanyakan satu kali dan tidak diulangi lagi.
Aku menghindari tempat-tempat yang mungkin akan memicu ingatanku akan anak kami. Rumah sakit berada di peringkat pertama. Tapi sayangnya untuk saat ini aku tidak punya pilihan. Sekolah Taman Kanak-Kanak juga ada di dalam daftarku. Melihat sekolah yang penuh dengan anak-anak berlarian sambil tertawa gembira membuatku perih.
Aku tidak ingin melihat wajah-wajah mungil dengan seragam sekolah yang kebesaran. Aku tidak ingin merasa iri pada ibu-ibu yang menggandeng tangan anaknya sambil bercerita tentang apa saja kegiatannya hari itu. Seperti yang pernah kubilang. Rumah adalah tempat teraman. Aku hanya ingin bergelung di dalam selimut, membaca buku, dan bermain dengan kucing-kucingku. Aku bahkan tidak menulis lagi. Laptop dan meja kerja diselimuti debu tipis, lama tak tersentuh.
Kehilangan anak adalah luka yang tidak akan pernah pulih. Sakitnya tidak datang setiap hari, tapi ketika ingatan tentang seorang bayi mungil yang lahir dalam keadaan membiru itu muncul, tentu saja senantiasa membuat nyeri hati.
Tidak mudah untuk melupakan hari itu. Ada satu hal yang Bayu tidak pernah tahu: aku belum siap dengan kehadiran seorang bayi. Awalnya kukira pikiran itu berasal dari hormon seorang ibu hamil yang sedang menggila. Aku berusaha menyingkirkan pikiran buruk itu. Dan seperti layaknya seorang calon ibu, aku menjalani kehamilanku sambil berharap semua akan berakhir baik-baik saja.
Mataku mengerjap. Kejadian itu seperti baru terjadi kemarin. Bayi itu gemuk dan sangat mirip dengannya. Aku tidak sempat menggendongnya. Waktu itu Bayu hanya menempelkan pipiku dengan pipinya yang montok. Ia seperti sedang tidur. Tapi bibirnya yang ungu kebiruan membawaku kembali ke kenyataan.
Semua masih teringat jelas meski belakangan aku berusaha keras untuk melupakannya. Bukan karena tidak sayang, melainkan karena kesedihan berlarut-larut tidak akan mendatangkan kebaikan. Jiwa kecil itu tidak jadi hadir di tengah keluarga kami. Mungkin di lain kesempatan.
Kejadian itu menjadi ganjalan di dalam hubungan kami. Tapi aku tidak ingin membahasnya lagi. Karena setiap kali topik tentang anak kami disebut, entah sengaja atau tidak, perdebatan akan muncul. Tidak pernah ketemu titik tengah untuk masalah yang satu itu. Aku masih menyalahkan Bayu karena tidak cepat pulang ke rumah hari itu. Sementara Bayu menyalahkanku karena tidak memilih operasi sesar saja agar anak kami bisa selamat. Tidak ada yang mau disalahkan sampai akhirnya ada kesepakatan tidak tertulis di antara kami untuk tidak membahas tentang anak hingga detik ini.
Banyak hal yang kemudian perlahan-lahan mengalihkan perhatianku dari kehilangan yang tak terduga itu. Rumah adalah tempatku berlindung dan membaik seiring berjalannya waktu.
Aku mengurus rumahku dengan baik. Kami tinggal di sebuah rumah dua lantai berukuran mungil di tengah perumahan yang tenang. Butuh ketekunan dan kesabaran untuk mengubah rumah itu menjadi tampak apik. Aku mengisinya dengan perabot secukupnya, tidak berlebihan. Sebelum membangun rumah ini, aku memastikan Bayu tidak lupa menyisakan lahan untuk halaman belakang. Papa menanam pohon belimbing sebagai peneduh. Buahnya bagus untukmu, kata Papa. Aku hanya bisa meringis. Belimbing bukanlah buah favoritku.
Ketika rumah selesai. Pohon itu sudah mulai berbuah. Satu hal yang kemudian kusadari, pohon buah mendapat banyak pengunjung tetap. Burung-burung terucuk datang dan hinggap kapan saja. Mereka sangat cerewet. Aku biasa memperhatikan mereka dari jendela dapur sambil menyelesaikan cucian piring.
Lebah dan tawon berdengung di antara dedaunan. Sesekali melesat di atas kepala ketika aku sedang menjemur pakaian. Dan di malam hari, aku bisa mendengar musang masuk lewat genteng. Suaranya mirip kuntilanak yang sedang cekikikan. Musang itu berjalan menyusuri tembok sebelum akhirnya memanjat ke dahan pohon untuk menikmati buah belimbing yang masak. Aroma pandan yang khas menguar dari tubuhnya. Tapi semenjak aku menambahkan kucing ke dalam rumah, musang itu tidak pernah terlihat lagi. Hanya suara cekikikannya yang terdengar.
Ada satu hal yang tidak kusuka dari pohon itu. Puluhan buah belimbing yang tidak segera dipanen kemudian berjatuhan, berserakan di tanah. Bau masam menguar. Tidak cuma sekali aku nyaris terjatuh karena menginjak buah yang sudah membusuk.
Tapi aku tidak mungkin menebang pohon belimbing itu. Ia menghalangi sinar matahari yang terik sehingga halaman belakang rumah kami lebih sejuk.
Aku duduk terkantuk-kantuk di bangku kecil. Angin sepoi-sepoi membuatku menguap berkali-kali. Pakaian berayun-ayun di tali jemuran.
Foxy ikut bergabung dan memainkan akar rumput dengan cakarnya. Ia bergelut sambil menendang-nendang rumput itu dengan kaki belakangnya. Aku tertawa melihat bulunya yang semula halus rapi berubah jadi acak-acakan.
...