Manusia memang ditakdirkan menciptakan sendiri keruwetan-keruwetan di dalam hidupnya. Seolah dua ekor kucing masih belum cukup merepotkan. Sekarang aku malah menambah seekor lagi.
Tapi aku percaya, tidak ada kebetulan di dunia ini. Jika aku tak sengaja menemukan seekor anak kucing di dalam kap mesin mobil kami, itu bukan kebetulan. Kucing itu sengaja masuk dan akhirnya ikut pulang bersama kami. Dia yang menemukan kami, bukan sebaliknya.
Hatiku menyimpan kekaguman pada anak-anak kucing mungil yang bisa tiba-tiba muncul begitu saja di depan sebuah rumah. Seperti Foxy ketika ia pertama kali datang ke rumah. Dari mana asalnya? Bagaimana ia bisa hidup sampai sebesar itu tanpa induk? Mungkinkah ia jatuh dari langit?
Kedua kucingku menyambut kedatanganku begitu pintu dibuka. Tapi keduanya mendadak mundur ketika menyadari aku membawa pulang sesuatu yang berbau asing.
Aku merunduk dan menunjukkan anak kucing itu kepada mereka. Foxy maju lebih dulu sambil mengendus-endus. Ia memang selalu penasaran. Anak kucing memang belum mengenal rasa takut. Ia malah maju dan menempelkan hidungnya ke hidung Foxy, yang sontak meloncat mundur karena kaget.
Pertemuan pertama tidak selalu berjalan mulus. Mereka harus mencoba lagi nanti.
Kopi berjalan memutariku. Sebagai kucing jantan yang berusaha melindungi wilayah teritorialnya, Kopi mengendus lalu mendesis galak sambil menunjukkan giginya. Seolah memberi kucing itu peringatan agar menjaga jarak dengannya. Ia kucing paling tua di rumah ini. Kucing baru selalu membuatnya tidak nyaman.
Ketika dulu Foxy datang ke rumah kami, ia mendesis setiap kali mereka berpapasan. Kopi selalu menghindar dengan naik ke tembok jemuran dan menghabiskan waktu di sana dengan tidur seharian. Butuh waktu beberapa minggu sebelum akhirnya mereka bermain bersama.
Dan sekarang, kelompok yang sudah solid itu malah ketambahan seekor kucing lagi. Aku sadar, proses perkenalannya tidak akan mudah. Anak kucing selalu ingin tahu. Dan ia belum punya rasa takut. Ia bisa saja menyulut pertengkaran.
Aku tidak tahu berapa lama waktu yang kucing-kucing itu butuhkan untuk beradaptasi satu dengan lainnya. Seharusnya tidak ada masalah. Kecuali jika aku membawa pulang kucing dewasa. Pertarungan hebat pasti akan terjadi. Dua kucing jantan akan menimbulkan masalah. Aku tadi sempat mengintip sebelum membawanya masuk ke dalam mobil. Anak kucing ini berkelamin jantan.
Kopi masih mendesis, menyemburkan peringatan. Ia mengibaskan ekornya lalu melenggang pergi. Ia tidak menunjukkan ketertarikannya pada tamu asing itu.
"Beri mereka waktu," kata Bayu, menutup pintu ruang tamu. "Jangan sampai dia kabur. "
"Mungkin sebaiknya untuk sementara dia tinggal di kandang," kataku.
"Kamu masih menyimpan kandangnya? Di mana?"
"Coba cari di gudang. Kalau tidak salah kandang itu kusandarkan ke rangka ranjang bayi kita."
"Oke, coba aku lihat dulu."
Foxy berlari membuntuti Bayu.
Aku duduk di lantai, menyimpan kucing itu di dalam pangkuan. Aku bisa mendengarnya mendengkur. Bulunya yang kusam sampai ikut bergetar. Aku menggaruk kepalanya dengan telunjuk.
Bayu kembali ke ruang tamu dengan kandang yang sudah dirakit. Ia lalu mengisi kotak pasir dengan pasir gumpal dan memasukkannya ke dalam kandang.
Malam ini, kucing kecil itu akan tidur di dalam rumah barunya, di dalam kandang yang bersih dan hangat.
Aku berjongkok di depan kandang, memperhatikan kucing itu menggaruk-garuk pasir. Umurnya mungkin belum genap dua bulan. Bulunya berwarna putih kusam. Badannya kurus dan kotor, ciri khas kucing jalanan. Dan mata kirinya terlihat mengerikan. Bola matanya seolah hampir copot.
Anak-anak kucing memang rentan terkena penyakit mata yang disebabkan oleh infeksi bakteri Chlamydia. Bakteri itu dapat menyebabkan peradangan mata. Jika dibiarkan tanpa diobati, penyakit itu dapat memburuk dengan cepat dan peradangan akan mengakibatkan kerusakan pada bola mata. Biasanya operasi pengangkatan akan dilakukan pada bola mata yang rusak.
Kucing baru itu sudah makan dan kini meringkuk di atas kotak pasir. Mata kanannya terpejam. Ia mungkin lelah setelah baru saja melalui pengalaman yang menegangkan. Beruntung ia tidak sampai terjatuh di tengah jalan. Nasibnya mungkin tidak akan sama jika itu terjadi.
Aku mencuci tangan bersih-bersih dengan sabun. Bayu sudah duduk di dapur. Aku mulai memindahkan makanan cepat saji yang tadi dibeli di perjalanan pulang ke atas piring.
"Kita harus membawanya ke dokter," kataku, meletakkan piring itu di depan Bayu.
"Hmm."