Scar

Sekarmelati
Chapter #9

Bab 8. Medan Perang


Titik-titik keringat muncul di dahiku. Bahu dan punggungku malah sudah lebih dulu basah. Masker yang kukenakan menambah pengap

Ruang tunggu dokter hewan ini terasa panas meski sebuah kipas angin di sudut ruangan menyala. Baling-balingnya berputar pelan. Kipas dengan kecepatan selambat itu tidak bisa diandalkan untuk mengusir hawa panas. 

Ada penelitian yang menunjukkan bahwa pendingin ruangan dapat meningkatkan risiko penularan virus Covid. Apalagi jika ruangan tersebut ramai dan memiliki ventilasi yang buruk. Jendela-jendela dibuka agar sirkulasi udara terjaga dengan baik.

Hari ini Bayu tidak ikut menemaniku. Ada tenggat pekerjaan yang membuatnya duduk di depan komputer sejak pagi. Desain ruangan yang sedang ia kerjakan sudah harus dikirim siang nanti.

Ia menyerah urusan perkucingan itu kepadaku. 

Kaki depan Rocky menyusup keluar dari teralis pet cargo. Badannya merunduk, kepalanya didorong-dorong ke depan, berusaha untuk kabur.

Ada satu hal yang tidak kuperhitungkan sebelumnya. Seekor anak kucing bisa begitu berisik. Semalaman ia menjerit-jerit sampai menjelang Subuh. Bayu menutup kepalanya dengan bantal dan menggerutu sepanjang malam. Kalau anak kucing itu terus menangis, ia akan memindah kandang Rocky ke teras belakang.

Seperti malam sebelumnya, aku terpaksa keluar dari kamar untuk menemuinya. Bayu sudah berhasil tidur. Ia menyumbat kedua telinganya dengan earphone. Pelan-pelan aku menutup pintu. 

Rocky duduk tegak di tengah kandang. 

"Halo, Rocky. Jangan berisik, please. Om Bayu tidak bisa tidur," kataku sambil mengelus kepalanya lewat jeruji kandang.  

Aku lalu duduk di lantai, menemaninya. Mungkin seharusnya aku tidak mengadopsi kucing baru. Bayu sudah mengingatkanku di awal. Siapa yang akan mengurusnya setelah aku dioperasi nanti? Membersihkan kotak pasir dan memberi makan bisa jadi menjadi tantangan bagiku. 

Kedua kucingku yang sudah dewasa mungkin tidak akan merepotkan. Mereka sudah bisa mengurus dirinya sendiri. Aku hanya harus menyiapkan makanan sesuai jadwal. Tapi seekor anak kucing bisa menjadi masalah. Ia belum terlatih untuk buang air dan kotoran di kotak pasir. Selalu ada kemungkinan ia akan mengotori dirinya sendiri. Lalu siapa yang akan membersihkan semua kekacauan itu? Aku tidak mungkin meminta tolong kepada Bayu. 

Anak kucing juga sangat aktif. Ia dapat dengan mudah mengacak-acak tempat sampah dan menumpahkan semuanya. Aku mengintip ke dalam kandang. Koran yang kutaruh sebagai alas kandang sudah basah terkena tumpahan air minu. Kain bekas untuk tidur juga sudah berantakan. Pasir-pasir mengotori alas, bahkan sampai ke lantai ruang tamu. 

Jika ia sudah diperbolehkan keluar kandang, bisa saja ia membuat kekacauan yang lebih parah lagi.

Dulu, ketika Foxy masih kecil, ia merusak sofa dengan cakarnya. Ia menancapkan kuku-kuku ke kain sofa dan menariknya sekuat tenaga. Kadang cakarnya tersangkut di kain dan ia akan menjerit-jerit sampai aku datang menolong.

Melatih anak kucing adalah tantangan lain. Aku melarang keras semua kucingku naik ke atas kasur, kursi, dan meja. Sebagai kucing baru, Foxy melanggar semua peraturan itu. Ia dengan tenang tidur di atas selimut. Atau meloncat naik ke meja untuk mengendus-endus makanan. aku tidak bisa membiarkan ia melakukan semua itu. Setiap kali ia naik ke kasur, aku langsung menurunkannya. Begitu juga jika ia nekat naik ke atas meja. Aku melatihnya dengan konsisten. Dan dalam waktu kurang dari seminggu, Foxy sudah tahu batasannya.

Rocky mengulurkan kaki kanannya ke arahku. Ia melambai-lambai, seakan memberi isyarat padaku untuk mengeluarkannya dari pet cargo. Aku menyentuh cakarnya sekilas, lalu mengabaikannya.

Udara semakin hangat. Aku terus mengipas wajah dengan majalah yang sengaja ditumpuk di atas meja ruang tunggu. Masker dan hawa panas kota Surabaya bukanlah kombinasi yang menyenangkan. Sebentar saja aku sudah merasa pengap. 

Salah satu pintu ruang periksa terbuka. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar tanpa jas dokter muncul sambil menyapaku. Ia membantu membawa pet cargo masuk. 

Ia mengeluarkan Rocky dan menaruhnya di atas meja periksa. Kucing kecil itu terlihat sangat kurus dan dekil. 

"Oh, Chlamydia," kata dokter sesaat setelah mengecek kondisi anak kucing itu. 

"Apa dia sehat?" kataku, membuka percakapan.

"Kalau dilihat dari fisiknya dia baik-baik saja. Tapi memang matanya perlu penanganan lebih ekstra. Nanti saya lakukan beberapa tes dulu."

"Apa ia harus dioperasi?"

Rocky mengeong keras ketika dokter memasukkan termometer untuk mengecek suhu badannya. "Pasti ada tindakan itu," katanya. "Suhunya normal. Mata kanannya juga berfungsi dengan baik."

"Oh, syukurlah."

"Kemungkinan bola matanya tidak bisa diselamatkan," lanjutnya sambil menggerak-gerakkan telunjuknya di depan hidung Rocky, mengajaknya bermain. "Apa Ibu mengizinkan saya melakukan operasi pengangkatan bola mata?"

Aku memperhatikan Rocky yang malu-malu membalas memainkan tangan dokter itu. "Boleh, Dok," kataku. "Sebenarnya begini, saya bermaksud menaruh Rocky di sini sampai jadwal operasinya. Lalu sekalian menginap dua-tiga hari setelah itu. Apa bisa?"

"Bisa, Ibu. Nanti langsung ke admin di depan saja untuk mengurus pendaftarannya."

"Baik, Dok."

"Jangan khawatir, setelah operasi nanti dia akan merasa lebih nyaman. Lukanya akan cepat membaik."

Dalam hati aku berharap yang sama untuk operasiku nanti.


...


Sesuai dengan janjiku pada Bayu, setelah mengantar Rocky ke dokter hewan, aku berangkat ke Puskesmas untuk mengurus surat rujukan. Tadi malam aku sudah melakukan pendaftaran daring. Sebelum turun dari mobil, aku mengganti maskerku yang basah oleh keringat dengan masker baru. Harga masker di pasaran masih terbilang mahal. Masker-masker murah produksi Cina mulai membanjiri toko-toko online, bahkan dijual di tepi-tepi jalan. Tapi aku ragu dengan kualitasnya. Aku tidak keberatan mengeluarkan uang lebih untuk mendapatkan kualitas masker medis yang baik. 

Ruang tunggu sudah penuh sesak. Pengunjung Puskesmas hari ini rupanya cukup banyak. Setiap kursi sudah terisi. Meski ada kursi yang diberi tanda silang dengan selotip, tapi tetap saja kursi itu diduduki juga. 

Agak sulit untuk menjaga jarak di ruangan yang sesak seperti ini. Tapi paling tidak semua orang tertib mengenakan masker. Meski beberapa masker tampak sudah kumal karena kelihatannya dipakai berkali-kali tanpa diganti. 

Aku menemukan satu kursi kosong. Orang yang duduk di kursi itu sudah dipanggil masuk ke ruang periksa. Nomor antrian berganti dengan lambat. Tujuanku ke dokter umum. Seharusnya tidak ada pemeriksaan fisik lagi. Aku membawa semua berkasku di dalam tas. 

Ponselku bergetar. 

"Sudah sampai?" tanya Bayu. Mungkin ia belum yakin aku akan benar-benar berangkat ke Puskesmas. 

"Kamu tidak percaya?"

Tawa Bayu terdengar di seberang. "Siapa tahu kamu ngeluyur ke warung bakso."

Lihat selengkapnya