Scar

Sekarmelati
Chapter #10

Bab 9. Bersiap


Setelah keruwetan di RSUD beberapa hari lalu, sekarang kami terdampar di rumah sakit berikutnya, sebuah rumah sakit swasta yang menjadi rujukan untuk pasien BPJS. Setiap rumah sakit terasa berbeda. Ketika tiga rumah sakit sebelum ini membuatku merasa tidak nyaman, rumah sakit ini sebaliknya. Ruang tunggunya luas dan sejuk. Tidak ada kerumunan di sini. Dan setiap orang mendapatkan tempat duduk. Dua buah mesin minuman berdiri di dekat loket farmasi. 

Mama mengirim pesan lagi. Ia menyuruhku berhati-hati berada di tengah keramaian. Aku mendesah. Seandainya saja orang tuaku tahu bagaimana ramainya semua rumah sakit yang kutuju, mereka pasti sangat khawatir. Angka kematian dan berita tentang kasus Covid yang terus-menerus diumumkan seolah sengaja menciptakan ketakutan. 

Seharusnya aku juga takut. Ketika orang-orang berdiam di dalam rumah dan membatasi pergerakan, aku malah keluyuran ke tempat-tempat yang dianggap rawan. Setelah beberapa kali mengunjungi rumah sakit yang berbeda-beda, aku membuang rasa takutku jauh-jauh. 

Tapi aku tidak ingin jemawa. Aku juga manusia biasa. Penyakit bisa hinggap ke siapa saja. Aku membalas pesan Mama dengan jawaban singkat: iya, Ma.

Tidak ada gunanya menambah kecemasan mereka. Perjalananku masih panjang.

Aku mengambil nomor antrian dan mendaftar. Dokter Spesialis Onkologi rekomendasi dari Dokter Saraswati praktik di sore hari. Dokter Ali akan memeriksa kondisiku sebelum kemudian menentukan tanggal operasi secepatnya. 

Di sela-sela menunggu giliran, aku mengisi jurnalku. Aku membeli lima buku sekaligus, semua berwarna merah muda. Warna merah muda menjadi simbol kesadaran kanker payudara. Sementara pita merah muda sudah diakui sebagai simbol internasional. Aku merekatkan pita itu di bagian depan. Jurnal itu sudah separuh terisi.  

Bayu menyandarkan kepala ke dinding. Matanya terpejam. Ia seperti sengaja memberiku ruang untuk menulis.

...


Aku langsung menyukai Dokter Ali. Auranya memancarkan kebaikan. Tutur katanya lembut dan sabar. Ia juga lucu. Seandainya tidak ditutupi masker, aku yakin wajahnya selalu dihiasi oleh senyuman.

Entah kenapa, ketika aku masuk ke ruang periksa, aku langsung menyodorkan semua berkasku ke depannya sambil berkata," Saya mau dioperasi."

Ia langsung tertawa. "Sabar, Bu. Saya periksa dulu, ya."

Mukaku terasa panas menahan malu. Sementara Bayu cekikikan di kursinya.

Benar-benar memalukan. Aku akan mencatat kejadian itu setibanya di rumah nanti.

"Jangan takut, Bu," kata dokter itu setelah kami sepakat menentukan tanggal. "Prosedurnya sangat mudah." 

Dari cara berbicaranya yang begitu riang dan meyakinkan, aku percaya Dokter Ali bisa mengerjakan operasi itu dengan mata tertutup. Tapi tetap saja, yang kuhadapi nanti adalah sebuah operasi besar. Ini tidak sama rasanya dengan kunjunganku ke dokter kandungan untuk menetapkan tanggal kelahiran seorang bayi. 

Mastektomi tentu berbeda dari operasiku sebelumnya. Dulu hanya diperlukan irisan kecil untuk mengambil kista itu dari dalam tubuhku. Sementara mastektomi, akan memerlukan lebih dari sebuah sayatan kecil. Aku belum bisa membayangkan bagaimana proses dan hasilnya nanti.

Dua dokter Onkologi yang kudatangi sebelumnya adalah perempuan. Dan yang akan melakukan tindakan operasinya nanti kali ini adalah seorang laki-laki. Aku jadi ingat pada dokter kandunganku. Ia juga laki-laki. Seharusnya aku merasa tidak nyaman karena ditangani oleh dokter laki-laki untuk urusan-urusan yang berhubungan dengan kewanitaan, tapi tidak masalah. Aku hanya berharap Dokter Ali tahu apa yang ia lakukan. 

"Payudara kiri Ibu akan diangkat," lanjutnya. "Biasanya ada pilihan, apakah di kemudian hari Ibu mau merekonstruksi payudara Ibu agar kembali seperti sebelum mastektomi. Dengan catatan, kulit di bagian dada cukup untuk dilakukan rekonstruksi. Namun jika kulitnya tidak cukup, maka setelah mastektomi, tidak ada tindakan tambahan apa-apa." Dokter itu melipat tangan di atas meja. "Tadi setelah saya periksa, sayangnya Ibu tidak punya cukup kulit untuk rekonstruksi."

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Dokter-dokter sebelumnya tidak mengatakan apa-apa soal rekonstruksi itu. Yang ada hanya saran untuk membeli pakaian dalam yang longgar dan nyaman setelah bekas lukaku membaik. Bahkan Dokter Saraswati sempat menyebutkan tentang balancing bra atau bra pad. Bra pad terbuat dari busa dengan bentuk menyerupai payudara. Busa itu diselipkan ke dalam bra, sebagai pengganti payudaraku yang hilang.

Mendapatkan rekonstruksi payudara mungkin serupa dengan memasukkan implan ke dalam kulit sehingga terbentuklah payudara baru, tapi untuk apa? Aku tidak ingin memikirkan soal implan, silikon, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan payudara untuk saat ini. Aku juga mungkin tidak akan memikirkannya nanti. 

Aku hanya perlu Dokter Ali melakukan mastektomi itu tanpa tambahan operasi-operasi lain setelahnya. 

"Bagaimana, Pak?" Kali ini pertanyaan dokter itu tertuju pada Bayu. 

Tak ayal aku tercengang. Kenapa malah Bayu yang ditanya? 

Lihat selengkapnya