Aku bahkan tidak bisa menggambarkan bagaimana sebenarnya hubungan kami. Setelah menikah, aku dan Bayu seperti sedang menaiki wahana roller coaster. Jika digambarkan dengan grafik, bulan-bulan pertama adalah yang terbaik. Kami seolah berada di puncak dunia. Hubungan baru, rumah baru, semua begitu menyenangkan.
Malam hari selalu dibanjiri oleh cinta. Kami selalu bergurau setelahnya, masing-masing menyesal karena tidak menikah dari dulu saja. Kenapa harus menunggu, dan pertanyaan-pertanyaan memalukan lainnya.
Namun grafiknya melandai setelah kami tahu kalau ternyata hamil itu tidak mudah. Butuh waktu bertahun-tahun penuh penantian, terutama untuk Bayu. Ia memang tidak pernah bilang tentang keinginannya untuk memiliki anak, tapi suami mana yang tidak mengharapkannya? Mungkin kecemasannya ia simpan sendiri. Selalu ada pihak yang akan disalahkan ketika seorang anak tidak kunjung hadir setelah menikah. Kurasa Bayu menjagaku dengan baik.
Berbeda dengan orang tuaku yang cenderung cuek, orang tua Bayu rupanya sudah tidak sabar ingin menimang cucu. Tentu mereka tidak mengatakan soal itu di depanku. Bahkan Bayu juga tidak mengatakan apa-apa. Aku mengetahuinya setelah membaca pesan yang mereka kirim ke Bayu. Biasanya aku tidak mengutak-atik ponselnya, pesan itu mendadak muncul ketika aku sedang membaca buku. Aku membaca pesan itu dengan sudut mataku. Bayu sudah sejak tadi terlelap. Rasa penasaran membuatku meletakkan buku di pangkuan lalu meraih ponsel Bayu. Pesan-pesan itu ternyata tidak sekali-dua kali dikirim, tapi berkali-kali. Ada sakit di dadaku. Aku menyusupkan ponsel itu ke bawah bantal Bayu dan tidak menyentuhnya lagi sejak itu. Mereka membicarakanku di belakang, dan menjadi orang yang terakhir tahu ternyata tidak enak.
Kehamilanku membawa grafik kami naik kembali. Tidak ada perubahan yang berarti, aku menjalani hari-hari seperti biasa. Aku, yang memang bercita-cita menjadi seorang ibu rumah tangga dengan banyak anak, menikmati proses kehamilan itu dengan sabar. Sebaliknya, Bayu sangat bersemangat. Ia terus membicarakan soal anak itu. Sebelum tidur, ia selalu mengelus-elus perutku yang membuncit sambil mengajaknya bicara. Ia sengaja pulang lebih cepat karena tidak ingin jauh dari anaknya.
Bayu begitu perhatian. Ia memijat kakiku yang pegal, atau mengusap-usap punggungku yang lelah menahan beban berat. Ia membawa pulang makanan kesukaanku. Dan kami akan makan bersama-sama sambil membicarakan tentang masa depan.
Kami berandai-andai tentang sekolah mana yang cocok untuknya, tentang ulang tahunnya yang pertama, rencana berjalan-jalan ke kebun binatang, bermain air di pantai, atau naik kereta api untuk mengunjungi orang tua kami. Bayu bahkan sudah tidak sabar ingin mengajari anak itu naik sepeda. Aku tahu, Bayu akan menjadi seorang ayah yang penuh cinta.
Orang tuaku menyambut gembira ketika tahu aku hamil. Mama tidak banyak memberi informasi meski ini adalah kehamilan pertama yang ditunggu-tunggu. Aku hanya ingat satu hal, ia bilang kalau melahirkan itu sakit. Tapi rasa sakit itu akan hilang begitu bayinya keluar.
Mama benar, rasanya memang sakit sekali ketika kontraksi datang bertubi-tubi, tapi ketika anakku meluncur keluar tanpa detak jantung, rasa sakit itu menetap.
Kehilangan anak membuat grafik hubungan kami merosot hingga ke titik terbawah. Itu adalah masa tersulit di dalam hubungan kami. Mungkin belum waktunya seorang bayi hadir di tengah keluarga kecil kami. Bagaimana pun juga, kehilangan anak adalah rasa sakit terbesar yang dialami orang tua. Seperti calon ibu lainnya, berat badanku bertambah dan perutku membulat. Setiap gerakan dari sang bayi selalu ditunggu-tunggu. Bayu mengelus perutku dan menempelkan tangannya untuk merasakan tendangan-tendangan kecil yang membuat permukaan perutku bergerak-gerak seperti gelombang.
Ketika aku cemas karena kami belum menyiapkan nama untuk bayi itu, Bayu menenangkanku. Ia mencondongkan badan dan berbisik, "Ia akan jadi anak yang cantik, sama seperti ibunya."
Itu adalah kalimat termanis yang pernah keluar dari mulut Bayu. Sayangnya, kami tidak bisa melihat bayi cantik itu tumbuh menjadi dewasa. Jantung mungil yang semula berdetak dengan normal tiba-tiba saja melemah dan perlahan-lahan lenyap. Anak itu tetap lahir meski tidak ada tangis yang menyertainya. Kulitnya pucat dan bibirnya biru. Ia seperti baru saja tenggelam di dalam air ketuban.
Di tengah duka yang mendalam, kami percaya jika anak-anak yang terlahir tanpa detak jantung akan dikirim langsung ke surga karena mungkin mereka belum siap untuk memulai hidup di dunia. Maka surga adalah tempat terbaik untuk mereka kembali.
Meski sudah berusaha untuk mengikhlaskannya, tapi kemarahan itu belum benar-benar hilang.
Kehilangan itu memang takdir. Dan takdir itulah yang kemudian menciptakan jarak di antara aku dan Bayu. Tidak terlalu kentara, tapi rasanya sangat berbeda dengan bulan-bulan di awal pernikahan kami. Hubungan kami seperti kembali ke titik awal, ketika kami berteman baik di kampus. Bayu seolah berubah dari seorang suami menjadi seorang sahabat.
Pembicaraan tentang bayi kami berhenti sampai di situ. Bayu menyibukkan diri dengan pekerjaannya, sementara aku malah kehilangan minat untuk menulis. Aku berhenti begitu saja. Semua cerita-cerita yang kutulis tidak kutengok lagi.
Ketika melihatku hanya bengong di depan laptop, Bayu selalu bilang: tidak semua harus dikerjakan sekarang, istirahat saja dulu.