Hal yang paling ditakutkan semasa pandemi adalah ketika hasil tes serologi reaktif padahal operasi besar sudah dijadwalkan untuk besok.
Perawat-perawat di balik bilik kaca menatapku curiga. Mungkin mereka mengira aku membawa virus atau semacamnya. Aku juga tidak mengerti kenapa hasil tesnya bisa reaktif. Tapi sebenarnya itu bukan hal yang aneh. Menurut seorang dokter yang kerap memberikan edukasi tentang pandemi di dalam setiap unggahan akun media sosialnya mengatakan bahwa hasil reaktif sangat mungkin terjadi karena herd immunity atau kekebalan kelompok sudah terjadi di masyarakat. Herd immunity berarti orang-orang yang kebal terhadap penyakit tertentu dapat memberi perlindungan secara tidak langsung bagi orang lain yang rentan tertular.
Sepertinya itu yang terjadi padaku, karena aku sudah beberapa kali memasuki rumah sakit, mungkin saja virusnya sudah masuk tapi tubuhku tidak memberikan sinyal sakit sedikit pun. Bahkan aku merasa biasa-biasa saja.
"Ibu tidak batuk? Tidak flu? Tenggorokan sakit atau tidak?" tanya seorang perawat.
Aku menggeleng.
"Ibu juga tidak demam," kali ini ia berbicara dengan perawat lainnya. Ia sudah mengecek suhuku sebelumnya. Semuanya normal. Lalu kenapa bisa hasilnya reaktif?
"Sebaiknya Ibu pulang dan istirahat ya, Bu," kata perawat itu.
"Tapi saya ada jadwal operasi besok," gumamku.
Kedua perawat itu tampak terkejut. Mereka lalu saling berbisik-bisik.
Aku menoleh ke kursi tempat Bayu menunggu. Alisnya naik. Aku hanya mengangkat bahu.
"Nanti kami kabari lagi ya, Bu," kata perawat itu sambil mengembalikan hasil tes serologi itu kepadaku. Aku sempat melihatnya mengetik pesan dengan terburu-buru.
Di tengah perjalanan, perawat itu menghubungiku. Ia bilang kalau hasil tesnya tertukar. Hasil yang benar adalah non-reaktif, dan aku dinyatakan aman untuk menjalani operasi besok. Mereka memintaku menukar hasil tes yang kupegang dengan hasil yang baru. Aku mengeluarkan ponsel dan memfoto kertas itu untuk berjaga-jaga.
Bayu melirikku. Pandemi ini memang penuh drama yang merepotkan.
...
Kegaduhan muncul sejak pagi. Tidak mudah untuk memasukkan dua ekor kucing besar ke dalam pet cargo. Mereka terbiasa bebas berkeliaran di dalam rumah. Kopi merunduk dan mendesak mundur, menolak masuk. Aku terpaksa mendorong punggungnya. Ia masuk sambil mengomel. Pupil matanya membesar. Ternyata ketika seekor kucing dipaksa keluar dari zona nyamannya, ia bisa menciut karena takut.
Foxy juga melakukan hal yang sama. Mati-matian ia menolak masuk ke pet cargo dan berhasil kabur ke teras belakang. Bayu mengejarnya dan menggendongnya kembali. Baru sebentar diturunkan, ia langsung melarikan diri, menerobos di antara kaki Bayu.
Aku tertawa melihat Bayu nyaris terjungkal. Bayu ikut tertawa.
"Biar aku coba," kataku, menyusul Foxy ke teras.
Foxy menempel di tubuhku, menancapkan kukunya ke bajuku. Aku menurunkannya. Tengkuknya kucekal kuat-kuat. Ekornya turun hingga tampak menyelip di kedua kaki belakangnya. Dengan sigap aku mengunci pet cargo begitu Foxy masuk.
Keduanya langsung merengek. Mereka mengeong-ngeong sambil menjulur-julurkan kaki depannya melalui jeruji. Bayu memasukkan keduanya ke dalam mobil. Untuk beberapa hari ke depan, mereka akan menginap di dokter hewan sampai aku pulang kembali dari rumah sakit.
Tanpa kucing-kucing itu, rumah seketika terasa kosong. Aku pergi ke dapur untuk mencuci piring dan gelas. Kompor bersih tanpa ada sisa minyak menggenang. Lantai sudah disapu dan dipel. Aku berdiri di tengah ruangan, memandang ke setiap sudut rumah.
Mama menghubungiku ketika aku membawa tas pakaianku ke ruang tamu.
"Maafkan Mama dan Papa karena tidak bisa datang," suara Mama terdengar rapuh. "Secepatnya kami ke sana kalau aturan perjalanan sudah direvisi."
Usia lansia membuat kedua orang tuaku harus bersabar lebih lama. Mereka masuk ke dalam golongan orang-orang yang rentan terhadap virus, sehingga dianjurkan untuk berdiam di rumah dan tidak melakukan perjalanan jauh.
Aku mengangguk sambil menggigit bagian bawah bibirku, berusaha keras untuk tetap tegar. "Iya, Ma. Aku dan Bayu bisa mengatasi semuanya. Tenang saja," kataku, menguatkan diri.
"Semoga operasinya berjalan lancar, Ranti Sayang," kata Papa, mengambil alih ponsel dari tangan Mama.
Suara mesin mobil terdengar memasuki halaman.
"Terima kasih, Pa. Papa dan Mama juga harus menjaga kesehatan. Jangan keluar rumah dulu," kataku sebelum kemudian menutup pembicaraan.
Aku keluar dan mengunci pintu. Bayu membawa berita baik tentang Rocky.
"Anak kucingnya sehat?" tanyaku sambil memasang sabuk pengaman.
"Aku sudah menengoknya tadi. Aman. Dia cerewet sekali." Bayu menunjukkan foto di ponselnya.
Rocky tampak memelas. Mata kanannya bulat sempurna sementara mata kirinya tertutup jahitan. Ia kelihatan buruk sekali. Aku termangu. Kucing kecil itu sudah kehilangan satu mata. Nasibku akan sama dengannya. Besok aku akan kehilangan payudara kiriku.
Bayu meremas lembut bahuku. "Sudah siap berangkat?"
Aku mendongak, menatap Bayu dengan mata berkaca-kaca.
Ia berlutut dan menggenggam kedua tanganku. "Kita akan lalui ini bersama-sama. Kamu akan sembuh, sehat seperti sebelumnya."
Kepalaku mengangguk-angguk seperti boneka keramik dengan per di lehernya. Bayu mencium dahiku lalu menarikku berdiri. "Kau sudah siap," katanya sambil tersenyum.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tidak ada yang bersuara. Kami seperti tenggelam di dalam pikiran masing-masing. Aku meremas-remas telapak tanganku yang mendadak dingin.
Pemandangan di luar jendela tampak dramatis. Mobil-mobil dan sepeda motor seolah bergerak dalam dalam gerakan lambat, seperti adegan di film-film. Aku berusaha menenangkan pikiran. Setiap orang memiliki masalah di dalam hidupnya. Dan masalah itu menghantui setiap langkah mereka.
Hari sudah mulai gelap ketika kami memasuki rumah sakit. Bayu mengurus dokumen pendaftaran. Aku duduk tegak karena terlalu tegang. Tas kain berisi berkas dan foto tidak lupa kubawa.
Mataku menyapu ruangan. Entah kenapa dinding berwarna putih dan lantai yang terlalu bersih malah memicu kecemasan. Bau karbol samar terhidu. Ruang tunggu di belakang kami tampak temaram. Aku menarik napas ketika satu per satu lampu menyala, membanjiri kami dengan cahayanya yang lembut.
Hasil rekam jantungku bagus, kata perawat. Syukurlah. Ia lalu memasang gelang yang berisi namaku dan data lainnya ke pergelangan kanan.
Semua dokumen sudah beres. Kamar inap sudah siap. Bayu terus menggenggam tanganku, di dalam lift, bahkan sampai masuk ke kamar. Hanya ada sebuah kursi di samping ranjang, tempat tidur Bayu untuk malam ini. Aku mengganti pakaianku dengan piama. Tidak lupa aku mengeluarkan buku jurnal dan menambahkan beberapa catatan. Bayu melipat pakaianku dan menyimpannya ke dalam tas.
Aku naik ke tempat tidur, berusaha menenangkan pikiran. Rumah sakit selalu memantik kenangan buruk. Kali ini adalah waktuku untuk berjuang. Meski pergi ke surga untuk menyusul anak kami terdengar seperti ide yang bagus, tapi aku tidak ingin meninggalkan Bayu.
Seorang perawat masuk dan menyapa kami dengan ramah. Begitu sulit untuk melihat seseorang tersenyum atau tidak karena semua wajah tertutup masker. Aku sendiri sudah melepas maskerku.
Perawat itu dengan telaten memasang infus di punggung tangan kananku.
"Mulai puasa jam sebelas malam ya, Bu," katanya sambil merekatkan beberapa plester agar jarum dan selang infusnya tidak bergeser. "Nanti makan malamnya akan diantar ke kamar."
"Baik, Suster. Terima kasih," kataku, melempar senyum.
Perawat itu mengangguk sopan, lalu menutup tirai. Suara sepatunya mengetuk-ngetuk lantai. Derit pintu terdengar. Suara sepatu itu menghilang di balik pintu.