Waktu cenderung membeku ketika kita berada di rumah sakit. Jarum jam seolah tidak bergerak. Aku tidak tahu berapa lama aku berada di dalam ruang pemulihan. Ketika aku akhirnya bisa merasakan kakiku dan jari-jarinya bisa bergerak-gerak lagi, barulah aku dipindahkan kembali ke kamar.
Tidak ada kateter, hanya obat dan infus. Selang pembuangan cairan yang melekat di sisi kiri tubuhku akan terus terpasang selama beberapa hari. Perawat akan memberikan jadwal kontrol jahitan ketika aku pulang nanti.
Aku terkejut. Kukira aku masih harus menginap selama dua-tiga hari lagi, tapi ternyata tidak. Setelah semua administrasinya selesai, besok kami bisa kembali ke rumah.
Jaringan payudara dan kelenjar getah bening yang diangkat ketika operasi tadi, dibawa ke laboratorium untuk diteliti. Hasil dari laboratorium nanti akan menentukan proses apa lagi yang harus aku jalani setelah ini. Hasil itu baru akan keluar beberapa minggu lagi. Untuk saat ini aku hanya perlu fokus pada kondisiku kesehatanku setelah mastektomi.
Seorang perawat datang dan memberiku botol infus kosong untuk berjaga-jaga. Ia mengajarkan Bayu cara mencabut selang dan memasangnya kembali. Jika cairan di botol pertama sudah penuh, ia bisa menggantinya dengan botol yang baru. Cairan itu menetes dengan lambat. Sebentar saja aku sudah melupakan soal selang pembuangan itu.
Sorenya, Dokter Ali mengunjungiku ke kamar. Ia berdiri di ujung ranjang. Seorang perawat ikut di belakangnya.
Luka operasi mastektomi itu akan sembuh sekitar 2-3 minggu. Tapi luka dalamnya mungkin membutuhkan waktu lebih lama lagi. Ia menekankan agar aku tetap beraktivitas seperti biasa.
"Jangan takut untuk bergerak, Bu," katanya kepadaku. Ia lalu menoleh ke Bayu. "Jika tidak banyak bergerak, nanti otot-ototnya malah kaku. Di area bekas luka, akan tampak memar, ungu-ungu begitu, dan terlihat bengkak. Itu semua wajar setelah operasi. Nanti perlahan-lahan lukanya akan membaik dan bengkaknya akan mengempis."
"Ada pantangan apa, Dok, selama masa pemulihan?" tanyaku.
Ia menggeleng. "Tidak ada pantangan apa-apa. Makan apa saja boleh, bergerak dan mengerjakan pekerjaan rumah juga tidak dilarang. Malah harus dilakukan untuk mempercepat penyembuhan luka. Jika ada rasa sakit atau tidak nyaman, nanti saya beri obat pereda nyeri."
Aku mencatat semua kata-katanya di dalam kepala.
Bayu sudah tampak lebih tenang sekarang. Matanya masih merah, mungkin karena ia kurang tidur. Atau ia terlalu banyak menangis.
...
Aku merebahkan diri dengan hati-hati di atas tempat tidur. Aroma sarung bantal dan seprai yang kurindukan membuatku nyaman.
Semua kucing juga sudah dibawa pulang. Rumah kembali ramai.
Pintu kamar terbuka sedikit, Bayu melongok ke dalam. Kopi ikut masuk ke kamar melalui celah pintu. Kucing bertubuh besar itu melihatku penuh rasa ingin tahu. Ia mengendus-endus. Mungkin bau rumah sakit masih melekat di tubuhku meski aku sudah berganti pakaian. Ia mendekati tempat tidur dan mengeong memanggilku.
Aku beringsut perlahan ke pinggir lalu menjulurkan tangan kanan untuk mengelus kepalanya. Kopi mendengkur. Ia menjatuhkan diri ke lantai.
Seluruh tubuhku masih terasa kaku. Aku mengembuskan napas panjang. Mataku memejam. Suara dengkuran itu masih terdengar.
Kucing baru itu berisik sekali. Suara Bayu terdengar dari teras belakang. Aku mencoba turun dari tempat tidur. Kepalaku sedikit pening. Berhenti sebentar sambil mengatur napas.
Aku duduk dengan kaki menggantung di atas lantai. Nyeri datang merambat. Ada rasa kesemutan menjalar di sisi kiri, tempat simpul benang berada. Botolnya sudah setengah terisi.
Pada kontrol pertama, Dokter Ali menyedot cairan itu dengan jarum suntik. Jumlah cairan yang keluar masih cukup banyak. Cairan kemerahan itu ditampung di dalam wadah. Perawat menunjukkannya kepadaku. Aku meringis menahan nyeri. Ngilu rasanya ketika membayangkan jika selang itu tak sengaja tersangkut dan terlepas dari tubuhku. Cairan berwarna merah itu pasti akan muncrat ke mana-mana. Aku bergidik.
Sebelum mempersilakanku turun dari ranjang, Dokter Ali melepas perbanku. Aku harus kembali lagi di hari Kamis.
Selama di rumah, botol infus itu kumasukkan ke dalam tas kain. Aku jadi lebih mudah membawanya ke mana-mana, bahkan ke kamar mandi. Tas itu kugantung di gagang pintu sewaktu aku buang air atau menyikat gigi. Aku belum berani mandi.
Bayu menawarkan diri untuk membantuku.
"Bagaimana caranya?" tanyaku sambil mengernyit. Aku curiga dia punya motif terselubung.
Bayu tertawa. "Aku tidak akan macam-macam. Janji."
Aku terpaksa menerima tawaran itu. Kulitku sudah gatal karena tidak mandi berhari-hari. Pelan-pelan aku membuka kancing piama dengan satu tangan. Tangan kiriku masih terlalu sakit jika digerakkan. Bayu menunggu dengan sabar.
Ia merendam handuk kecil ke dalam baskom berisi air hangat lalu mulai menyeka punggungku dengan hati-hati. Kepalaku merunduk, merasa malu. Tapi Bayu tidak mengatakan apa-apa.
Ada perasaan aneh menjalar di sepanjang punggung hingga ke tengkuk ketika handuk basah itu menjelajahi tubuhku. Aku belum berani mengangkat kepala. Handuk kembali direndam lalu diperas. Bayu berpindah posisi. Ia meraih tanganku dan mulai menyeka lagi. Melihatnya mengurusku dengan sabar membuatku merasa tidak berdaya.
"Sementara cukup," kata Bayu setelah selesai. Ia lalu membantuku berpakaian. "Pasti lebih segar kalau kamu nanti sudah berani mandi sendiri."
Aku menggamit lengannya. Mata kami bertemu.
"Terima kasih, Bay," kataku sungguh-sungguh.
Bayu tersenyum. Ia mencubit pipiku sekilas lalu membawa baskom itu keluar.
Aku memiringkan badan dan mencoba berbaring. Ada yang berubah, kataku dalam hati. Bukan hanya bagian tubuhku yang berubah, tapi hatiku yang sempat membeku perlahan mulai mencair. Aku mulai melihat sisi lain dari Bayu yang belum pernah kutahu sebelumnya.
Aku ingat betul wajahnya yang sembab ketika aku tersadar dari efek obat bius setelah operasi. Genggaman tangannya yang erat dan suaranya yang bergetar. Semua itu baru di mataku. Selama kami menikah, aku belum pernah melihatnya menangis, bahkan ketika kami kehilangan anak itu. Ternyata di balik sifatnya yang periang dan usil, Bayu menyimpan kelembutan.
Mataku perlahan menutup, tidak kuasa menahan kantuk.
Minggu pertama adalah fase terburuk. Demam mulai menyerang. Area di sekitar bekas luka seperti membengkak. Aku mendesis, menahan nyeri yang datang setiap kali aku mengubah posisi tidurku.
Sungguh sebuah pengalaman yang emosional. Biasanya aku bebas mondar-mandir di dalam rumah. Kini aku hanya bisa berbaring lemah. Berjalan pun harus merunduk-runduk karena rasa sakit menguasaiku.
Aku tidak ingin mengeluh, tapi rasa sakit itu benar-benar membuatku tidak nyaman. Ketika aku berbaring, lukaku mulai berdenyut-denyut. Rasanya seperti ada batu berukuran raksasa menindih dadaku.
"Berapa level sakitnya?" tanya Bayu sambil mengusap-usap punggungku. Wajahnya tampak prihatin.
"9 dari 10," keluhku.
"Apa ada yang bisa kubantu?"
"Bisa tolong ambilkan buku jurnal di atas mejaku?"
Bayu berdiri dan mengambil buku dan bolpoin.
Catatanku mulai berantakan. Tapi aku terus menulis meski lambat seperti seekor siput. Aku berusaha keras mencatat semua yang kualami dan rasakan agar tidak ada yang terlewat. Setiap nyeri yang muncul menjadi penanda kalau aku masih hidup, masih bisa merasa.
Lengan kiriku terasa kebas dan tebal. Aku bahkan tidak merasa geli ketika aku mencoba menggelitik ketiakku. Mungkin ada syaraf-syaraf yang terputus ketika operasi dilakukan. Entahlah.
Bayu kembali ke kamar dengan segelas teh hangat dan roti bakar. Aroma selai nanas menguar. Ia benar-benar memanjakanku.