Scar

Sekarmelati
Chapter #14

Bab 14. Botak


Ubanku baru muncul di umur 39 tahun. Itu berarti setahun yang lalu. Hanya satu helai, menurut Bayu. Ia menyibak-nyibak rambutku. Semua masih berwarna hitam, kecuali satu helai itu saja. Sungguh sebuah prestasi yang membanggakan, karena itu berarti aku belum resmi menua. 

Tak kusangka, sekarang seluruh rambutku, termasuk sehelai uban itu akhirnya rontok juga. Ini menggelikan sekaligus mengesalkan. Dengan kepala plontos, sekarang aku benar-benar merasa tua dan terlihat seperti orang sakit. Padahal tahun kemarin aku merasa sangat sehat. Lalu pandemi datang. Dan kanker menyusul kemudian. Great


Menurut jadwal, aku harus menjalani enam sesi kemoterapi setiap tiga minggu sekali. Setelah mengalami langsung, aku bisa menilai jika seminggu pertama setelah kemoterapi adalah yang terburuk. Lalu semuanya membaik. Aku punya waktu dua minggu untuk mengisi ulang tenagaku. Ketika rasa mual hilang di hari ketujuh, aku mulai makan apa saja, sebanyak-banyaknya. Aku bahkan bisa minum kopi lagi!

Pekerjaan rumah yang tertunda, bisa kuselesaikan secara bertahap. Kucing-kucing bahagia karena kotak pasir akhirnya dibersihkan. Aku tidak bisa mengandalkan Bayu untuk hal yang satu itu. Ia bisa menggantikan tugasku memberi makan Kopi, Foxy, dan Rocky, tapi ia menolak keras bersentuhan langsung dengan sekop kotoran kucing. Semilir angin yang masuk melalui jendela kamar membawa aroma kotoran kucing yang menumpuk. Aku harus bersabar dan menunggu reaksi obat mereda sebelum kemudian mengerjakannya sendiri. 

Aku juga merapikan kembali jurnalku. Catatan-catatan kecil yang kutulis seadanya kusalin ulang agar lebih rapi. Lomba novel yang semula ingin kuikuti sudah kuikhlaskan. Kadang aku merasa imajinasi tidak mengizinkanku mengada-ada. Ada hari ketika kalimat-kalimat yang muncul di dalam kepalaku hanya kata-kata tanpa makna. Kalimat itu kadang tidak utuh dan tidak saling berkaitan. Aku sampai harus membuat folder khusus untuk menampung kalimat-kalimat itu. Rasanya sayang jika tidak disimpan, suatu hari nanti bisa saja aku membutuhkannya. 

Selama ini aku menulis tanpa target. Hidupku seolah jalan di tempat. Umurku 40 tahun ketika kanker menyapa. Masih adakah waktu untukku setelah ini? Bukankah mereka selalu bilang kalau life begin at forthy!?


...


Besok adalah sesi kemoterapi kedua. Malam sebelumnya, aku pergi tidur tanpa prasangka. Aku berniat memanfaatkan waktu yang kupunya sebelum kemoterapi dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan. Namun kenyataan tak urung menyengatku. 

Aku menemukan beberapa helai rambut di atas bantal. Apa ini rambutku? Rambut siapa lagi? Hanya aku yang memiliki rambut super lurus dengan potongan pendek. Rambut Bayu ikal. Ini pasti rambutku. 

Aku menyentuh kepala, lalu menarik rambutku perlahan. Belasan rambut tersangkut di jariku dan jatuh ke atas seprai. Aku menarik lagi. Dan rambut-rambut itu kembali berjatuhan. Meski aku sudah mempersiapkan mental, tapi melihat rambutku berguguran ternyata berhasil membuatku stres.

...


Aku orang pertama yang datang. Sesuai jadwal, kemoterapi kedua kali ini di rumah sakit tempat operasi mastektomiku dilaksanakan. Tidak perlu ada antrian panjang, tidak ada kerumunan orang. Hanya ada seorang perawat di dalam kamar. Ia mengenakan baju APD lengkap dengan masker dan penutup kepala. Ia mirip seperti astronaut. Sebuah kaca mata plastik melengkapi penampilannya. 

Apa tidak gerah berpakaian serumit itu, batinku. Untung saja suhu kamar ini sangat dingin. 

"Selamat siang, Ibu Ranti," sapanya ramah.

"Siang, Suster."

Bayu membuntutiku. 

Ada tiga tempat tidur di dalam ruangan. Karena datang duluan, aku bisa memilih tempat yang kusuka. Aku memilih yang terdekat dengan kamar mandi. 

Perawat itu mengacungkan jempol. Ia kembali ke meja, melihat catatannya dan membolak-balik berkasku.

Aku melepas sepatu dan berbaring. Bayu menaruh tasku di atas bufet kecil di samping tempat tidur. Ia mengeluarkan selimut dari dalam tas dan menutupi separuh badanku. Di atas kepalaku, pendingin ruangan menderu-deru. 

"Maaf, tapi Bapak tidak bisa tinggal di ruangan," kata perawat sambil menyiapkan obat dan infus. 

"Baik, Sus. Berapa lama kemo-nya?"

Lihat selengkapnya