Scar

Sekarmelati
Chapter #17

Bab 16. Kematian


Kedua kucingku menunggu di depan rak, tempat toples-toples berisi makanan kering disimpan. Aku mengisi mangkuk-mangkuk dengan makanan dan menaruhnya di lantai. 

Rocky tidak ada di antara mereka. Biasanya kucing kecil itu ribut sekali ketika waktunya makan. Ia kadang memanjat rak karena tidak sabaran. 

Kopi dan Foxy tampak tidak peduli. Sepertinya mereka tidak merasa kehilangan. Keduanya terus makan dengan lahap. 

Aku kembali ke sofa. Apa anak kucing itu menyelinap keluar ketika Bayu pergi?

Tapi pintu ruang tamu selalu tertutup. Bayu selalu menguncinya setiap berangkat. Apalagi karena belakangan aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar untuk tidur. Jika benar ia menyelinap keluar, Rocky pasti sudah jauh sekarang. 

Aku pernah melihat anak kucing tersesat. Ia muncul begitu saja di jalan depan rumah. Mungkin umurnya baru dua bulanan. Dan kucing itu berjalan cepat sekali. Sebentar saja ia sudah tidak terlihat lagi. 

Rocky mungkin belum terbiasa terkurung di dalam rumah. Bisa saja ia meloloskan diri begitu ada kesempatan. 

Kopi sudah selesai makan. Ia duduk di dekat kakiku, sibuk menjilati bulunya. 

Samar-samar kudengar suara anak kucing mengeong. Aku memasang telinga. Dari mana asal suara itu? Aku mengintip lewat jendela. Tidak ada siapa-siap di teras. Suara itu bukan berasal dari sana. 

Aku mulai mencari-cari lagi. Kepalaku melongok ke bawah sofa. 

Suara itu terdengar lagi. Arahnya dari belakang. Aku berdiri dan mencari ke teras belakang. Hanya ada Foxy yang sedang tidur di bawah pohon belimbing. 

Ruang jemur di lantai dua. Aku berhenti di ujung tangga dan mendongak. Mataharinya terang sekali. Mataku menyipit. Sinar matahari itu mulai membuatku pusing. Aku seperti melihat bintang-bintang berkelip-kelip di atas sana. 

Pusing itu membuatku ragu untuk naik. Tapi aku harus menjemput Rocky. Anak kucing itu mungkin saja terjebak dan tidak bisa turun. Aku memberanikan diri untuk naik. Biasanya aku naik-turun tanpa ragu, tapi kali ini berbeda. Anak tangga terasa bergoyang ketika aku menginjaknya. Aku menggenggam erat pegangan tangga dan mulai naik selangkah demi selangkah. 

Jemuran pakaian bergoyang-goyang ditiup angin. Mataku mulai berkunang-kunang. Ada yang aneh. Dadaku berdebar lebih cepat dari biasanya. Seperti ada seekor kuda pacu yang sedang melesat di lintasan. Derap kaki-kaki itu seolah bertalu-talu menjejak jantungku. 

Aku mulai bernapas pendek-pendek. Kepanikan mulai menyesak. Ini membingungkan sekali. 

Pikiran buruk dengan cepat menguasaiku Bagaimana jika aku mati karena serangan jantung?

Lihat selengkapnya