Scar

Sekarmelati
Chapter #16

Bab 16. Mengingat Mati


Kedua kucingku menunggu dengan sabar di depan rak, tempat toples-toples berisi makanan kering disimpan. Aku mengisi mangkuk-mangkuk dengan makanan dan menaruhnya di lantai. 

Rocky tidak ada di antara mereka. Ke mana dia? Biasanya kucing kecil itu ribut sekali ketika waktunya makan. Ia bahkan sampai memanjat rak karena tidak sabaran. Aku mulai memanggil namanya. Tidak ada balasan. Aku mengelilingi halaman belakang, mencari-cari di sela-sela tanaman. 

"Ke mana adikmu?" tanyaku pada kedua kucingku yang lain. Kopi dan Foxy tampak tidak peduli. Keduanya terus makan dengan lahap tanpa merasa kehilangan. 

Aku kembali ke sofa. Apa anak kucing itu menyelinap keluar ketika Bayu pergi? Ia mungkin belum terbiasa terkurung di dalam rumah. Bisa saja ia meloloskan diri begitu ada kesempatan. 

Tapi pintu ruang tamu selalu tertutup. Bayu selalu menguncinya setiap berangkat. Apalagi karena belakangan aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar untuk tidur. 

Aku pernah melihat anak kucing tersesat. Ia muncul begitu saja di jalan depan rumah. Umurnya mungkin baru dua bulan. Kucing itu berjalan menyusuri jalan dengan cepat. Sebentar saja ia sudah tidak terlihat lagi. Jika benar Rocky menyelinap keluar, ia pasti sudah jauh sekarang. 

Kopi sudah selesai makan. Ia duduk di dekat kakiku, sibuk menjilati bulunya. 

Samar-samar kudengar suara anak kucing mengeong. Aku memasang telinga. Dari mana asal suara itu? Aku mengintip lewat jendela. Tidak ada siapa-siapa di teras. Suara itu bukan berasal dari sana. 

Aku mulai mencari-cari lagi. Kepalaku melongok ke bawah sofa. 

Suara itu terdengar lagi. Arahnya dari belakang. Aku berdiri dan mencari ke teras belakang. Hanya ada Foxy yang sedang tidur di bawah pohon belimbing. 

Ruang jemur di lantai dua. Suaranya berasal dari sana. Aku berhenti di ujung tangga dan mendongak. Mataharinya terang sekali. Mataku menyipit. Sinar matahari itu mulai membuatku pusing. Keraguan menyergapku. Biasanya aku naik-turun tanpa ragu, tapi kali ini berbeda. Aku seperti melihat bintang-bintang berkelip-kelip di atas sana. 

Aku kembali mendongak, membentengi mataku dengan tangan. Aku harus naik. Anak kucing itu mungkin saja terjebak dan tidak bisa turun. Anak tangga terasa bergoyang ketika aku menginjaknya. Aku seperti berjalan di atas kasur air yang bergelombang. Tanganku menggenggam erat pegangan tangga dan mulai naik selangkah demi selangkah. 

Jemuran pakaian bergerak-gerak ditiup angin. Mataku mulai berkunang-kunang. Ada yang aneh. Dadaku berdebar lebih cepat dari biasanya. Seperti seekor kuda pacu yang sedang melesat di lintasan, kakinya berderap seolah menginjak-injak jantungku. Aku mulai bernapas pendek-pendek. Kepanikan mulai menyesak. 

Anak kucing itu mengeong lagi. Di mana dia? Aku naik lagi. Lalu berhenti. Aku berusaha mengosongkan kepala. Segala kecemasan dan kekhawatiran yang tidak perlu harus kuusir sebelum mereka mendekam terlalu lama di dalam otakku. Perlahan aku menarik napas, mencoba memasukkan sebanyak-banyaknya udara melalui hidung. Aku lalu mengembuskan napas kuat-kuat. Aku mengulanginya sekali lagi. Dada yang semula sesak mulai terasa ringan. Kuda pacu itu melambat dan tidak lagi membalap. 

Aku mulai merasakan keheningan yang damai. 

Kepala kecil melongok ke arahku sambil mengeong.

"Rocky!" panggilku.

Jantungku mendadak kembali berdetak cepat. Aku terduduk di anak tangga. Ini membingungkan sekali. Pikiran buruk dengan cepat menguasaiku. Bagaimana jika aku mati karena serangan jantung?

"Ranti!" Bayu berteriak memanggilku. 

Aku melongok ke bawah. Bayu sudah berlari menaiki tangga. 

Aku menutup mata dan telinga. Suaranya gaduh sekali. Seperti ada rombongan anak berbaris menabuh drum keras-keras tepat di telingaku.  

Bayu memegang erat kedua lenganku dan mengguncangnya. "Kita ke dokter sekarang!"


...


Jadwal kontrol setelah kemoterapi sebenarnya masih beberapa hari lagi. Dokter Ali terkejut melihatku. Detak jantungku sudah kembali normal. Tapi Bayu tetap memaksaku menemui dokter. Mukaku yang pucat mungkin membuatnya takut. 

"Apa keluhannya, Bu?" tanyanya.

"Dada saya berdebar keras. Biasanya tidak begitu."

Ia menunduk, membaca berkasku. Lalu ia menuliskan surat rujukan. 

"Ke Radiologi, untuk foto thorax ya. Hanya untuk memastikan saja."

Bayu menemaniku hingga ke depan ruang rontgen. Ia seolah berat melepasku. 

Tangannya mencekal lenganku kuat-kuat. "Kau membuatku takut," desisnya sebelum aku masuk.

"Bagaimana Rocky?"

Bayu merengut. "Sejak awal aku tidak setuju kalau kita harus menambah kucing baru. Bukan karena aku jahat, tapi untuk saat ini, prioritas kita adalah kesehatanmu. Yang lain tidak penting."

Aku tidak mampu membantah. Dari raut mukanya aku bisa tahu kalau Bayu marah betulan. Ia tidak sedang bercanda. Dua ekor kucing seharusnya sudah cukup. Tapi tiga? Mungkin aku memang sudah kelewatan.

"Jangan khawatir," suaranya melembut. "Aku tidak menyuruhmu membuang kucing itu. Tapi kau harus berjanji, pikirkan dirimu sendiri mulai dari sekarang. Berhentilah memikirkan kucing-kucing itu sebentar saja. Mereka akan baik-baik saja."

Kali ini, aku setuju dengan pendapat Bayu. 

Dokter Ali membaca hasil foto rontgen. Hasilnya baik. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Jantungku berdebar karena efek obat kemoterapi, hal yang normal menurutnya. Tapi dokter Ali tetap memintaku memeriksakan diri segera seandainya terjadi hal-hal yang tidak wajar.

Bayu lebih banyak diam sepanjang perjalanan pulang. Aku menopang dagu, memandang ke jendela. Kematian tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Mungkin aku terlalu percaya diri, seperti ketika aku menjalani mastektomi tanpa pikir panjang. Operasi sekecil apa pun pasti ada risikonya. Aku mungkin selamat, tapi aku juga bisa tiba-tiba mengalami infeksi yang mengakibatkan kelumpuhan atau hal-hal mengerikan lainnya. 

Batas antara hidup dan mati begitu tipis. Aku lalu teringat pada anak kami, pada detak jantung yang bisa mendadak hilang.

Meski dokter bilang hasil rontgennya baik, tapi bagaimana kalau sesuatu terjadi? What if I die in my sleep?

...


Tempat Pemakaman Umum itu tidak terlalu jauh dari rumah. Jaraknya kurang dari lima menit dengan mobil. Meski begitu aku jarang mendatanginya. Dari kejauhan aku bisa melihat pucuk-pucuk pohon kamboja. Ada desir di dalam dadaku. 

Aku tidak terlalu ingat kapan terakhir aku kemari. Tapi ada yang berbeda. Selain hamparan nisan-nisan, ada banyak tiang-tiang kayu dipasak ke tanah. Masing-masing tiang diberi papan kecil yang ditulisi dengan spidol. Semua jadi terlihat asing. 

Aku berdiri mematung tanpa tahu harus ke mana. 

Lihat selengkapnya