Scar

Sekarmelati
Chapter #18

Bab 17. Mengingat Mati


Tempat Pemakaman Umum itu tidak terlalu jauh dari rumah. Jaraknya kurang dari lima menit dengan mobil. Meski begitu aku jarang mendatanginya. Dari kejauhan aku bisa melihat pucuk-pucuk pohon kamboja. Ada desir di dalam dadaku. 

Aku tidak terlalu ingat kapan terakhir aku kemari. Tapi ada yang berbeda. Selain hamparan nisan-nisan, ada banyak tiang-tiang kayu dipasak ke tanah. Masing-masing tiang diberi papan kecil yang ditulisi dengan spidol. Semua jadi terlihat asing. 

Aku berdiri mematung tanpa tahu harus ke mana. 

Bayu menyusulku. Ia juga berhenti dan tertegun melihat pemandangan yang asing itu. 

"Yang mana makamnya?" 

Bayu mengedarkan pandangan. Sebagian besar nisan-nisan itu menghilang. 

Seorang ibu penjaga makam mendekat. Ia mengikat rambutnya ke atas dan menatap Bayu. " Cari siapa, Pak?"

"Makamnya kok beda, Bu?"

"Minggu lalu ada pengurukan tanah makam. Informasinya sudah dikirim ke semua ketua RT."

Aku menoleh ke Bayu. Ia mengangkat bahu. "Aku tidak menerima pesan apa-apa," sahutnya. 

"Yang mana makamnya?" Ibu itu mengikuti kami dari belakang. 

"Seingat saya, di dekat tiang lampu ini." Bayu berhenti.

Sebuah tiang dengan papan tanpa nama mencuat di tempat yang ditunjuk. 

"Saya bantu gali, Pak," kata ibu itu, lalu memanggil seseorang untuk membantu mereka. 

Aku menunggu di bawah teduh pohon kamboja. Tanah di bawah tiang itu digali dengan cangkul. Bayu menunduk, memegang lutut. Tanahnya gembur. Sebagian tanah yang sudah digali melorot turun lagi ke tempat semula. 

Urukan tanah itu ternyata tidak terlalu dalam. Sebentar saja, cangkul sudah membentur ujung nisan. Bayu ikut menggali dengan tangan dan mengangkat nisan kecil itu bersama-sama. Lubang di tanah kembali ditimbun dan nisan ditancapkan di atasnya. 

"Terima kasih, Pak, Bu," katanya sambil menyelipkan selembar uang ke tangan sang ibu. 

Setelah kedua orang itu menjauh, Bayu meraih tanganku. Kami berjongkok di samping makam anak kami. Aku memejamkan mata, membaca doa di dalam hati. Masih jelas di dalam ingatanku bagaimana wajah bayi itu. Pipinya yang bulat dan bibirnya yang biru. 

Aku lebih dulu berdiri. Bayu mendongak.

"Kita harus lebih sering kemari," kataku. 

...


Setelah drama hilangnya Rocky dan jantungku yang berdebar keras, aku kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah. Jadwal kemoterapi keempat sudah menunggu. Aku berusaha melakukan sebanyak mungkin pekerjaan sebelum teler selama seminggu penuh seperti biasa. 

Ketika aku kontrol ke dokter dua hari lalu, hasil tes darah menunjukkan kadar leukositku rendah. Dokter menunda jadwal kemoterapi dan menggantinya dengan suntik di perut. Banyak makan protein, kata dokter sambil mencatat jadwal baru untukku.

Kulitku pucat dan mataku cekung. Aku belum siap untuk kemo lagi. Penundaan itu sedikit membuatku merasa lega. Aku tidak peduli suntikan apa yang diberikan, asal jadwal bisa mundur beberapa hari saja sudah cukup bagiku. 

Perawat menyiapkan obat. Aku tidak merasakan apa-apa ketika dokter menyuntikkan obat ke perutku. Rasanya disuntik mati pun aku rela. Badanku seperti hilang kekuatannya. Aku hanya ingin tidur panjang dan tidak bangun lagi.

Kemoterapi ternyata lebih berat dari yang kukira. Mentalku ikutan lelah. 


Tempat sampah berantakan ketika aku pulang. Emosiku terpancing. 

"Siapa yang membongkar sampah?" geramku kepada Rocky. Kucing kecil itu memiringkan kepala. 

Aku tidak mungkin menyalahkan dua kucingku yang lain. Mereka sudah paham dengan aturan yang kuterapkan di rumah. Membongkar tempat sampah adalah salah satu yang dilarang keras.

Bayu menutup pintu dan berjalan melewatiku. Ia tampak tidak ingin terlibat di dalam pertengkaranku dengan Rocky.

"Jangan diulangi lagi," kataku, lalu memukul kupingnya. Rocky meloncat terkejut dan lari menyembunyikan diri di bawah sofa. 

Aku membereskan sampah yang berserakan di lantai sambil terus mengomel. Rocky muncul dan mengambil ancang-ancang. Ia berdiri dengan dua kaki belakang dan menyergap ujung sapu. Ia rupanya belum mengenal rasa takut. 

Aku membiarkannya bermain-main sebentar. Setelah tempat sampah beres, aku menggendongnya ke teras belakang lalu menutup pintu. 

Sakit dan obat-obatan membuat emosi naik turun dengan mudah. Ketika sakit, bukan hanya dirimu yang menderita, tapi juga orang-orang di sekelilingmu ikut terkena getahnya. Ketika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginanmu, rasanya ingin marah saja. 

Kadang aku hanya ingin sendiri. Tapi semua orang seolah enggan memberiku ruang. Bayu selalu mencemaskanku. Bahkan kucing-kucing terus-menerus membuntutiku. 

Lihat selengkapnya