Di hari-hari normal, aku dan Bayu biasanya mengobrol serius di jam dua pagi. Di luar rumah suasana sunyi senyap. Tepat di jam dua itu, seorang satpam akan melewati rumah kami lalu berhenti. Suara mesin motornya berdengung halus. Satpam itu memukul tiang listrik sebanyak dua kali. Lalu motor itu akan menderu menjauh.
Aku naik ke tempat tidur dengan enggan. Tamoxifen adalah obat terapi hormon. Hormon estrogen diketahui dapat membantu pertumbuhan kanker. Karena itu aku membutuhkan obat itu untuk menghambat estrogen agar sel-sel kanker itu tidak berkembang.
Namun setiap obat memiliki efek samping. Apalagi jika harus diminum setiap hari dalam jangka waktu panjang. Belakangan ini aku seolah kehilangan rasa. Sepertinya obat itu sudah berhasil mengacaukan hormonku.
Bayu mencoba mendekatiku beberapa kali dan aku selalu menolaknya. Kekecewaan terpancar jelas di wajahnya. Tapi aku benar-benar tidak ingin melakukannya. Aku hanya ingin tidur. Kepalaku terasa penuh.
Aku berbaring menatap langit-langit. Mataku seolah menolak memejam. Beberapa kali aku mengembuskan napas panjang.
Bayu berhenti memainkan ponselnya. "Kenapa tidak tidur?"
"Sepertinya ada yang salah dengan diriku," kataku sambil memandangi ujung kuku-kuku jari tanganku yang menghitam. Obat kemoterapi menembus tubuhku tanpa ampun. Bahkan urat nadiku ikut menghitam. Aku menyembunyikan tanganku ke bawah bantal. "Belakangan ini aku susah sekali menahan emosi. Kemarin aku memarahi semua kucing. Aku bahkan menampar telinga Rocky karena ia nekat naik ke sofa." Aku termangu. "Aku belum pernah menyakiti kucing sebelumnya."
"Kamu sekarang memang beda," kata Bayu.
"Masa?"
"Lebih galak," lanjutnya dengan mimik serius.
"Menurutku obat itu sudah berhasil mengubahku menjadi orang lain," sahutku. "Mungkin kalau aku menopause, aku bisa lebih uring-uringan lagi.
"Semoga saja tidak," kata Bayu. Ia mengetik sesuatu di ponselnya.
"Dokter Ali bilang, untuk kasusku, menopause dini itu pertanda bagus. Karena itu artinya hormonku berhenti bekerja dan kanker tidak akan datang lagi.
Bayu mendengarkan. Kelopak matanya tampak berat. Ia mungkin sudah mengantuk.
"Tapi kan tidak setiap hari aku marah-marah," lanjutku.
"Memang tidak," Bayu menguap lebar. "Tapi sekalinya marah, kau terlihat begitu mengerikan."
Aku tertawa geli, membayangkan diriku sendiri. "Apa aku pernah memarahimu?"