Bayu berkali-kali mengecek kalender. Raut mukanya tampak gelisah. Aku duduk menghadap laptop. Sesekali aku menyesap es kopi, menikmati indera pengecapku yang berfungsi seperti biasa. Ketika semua indera sudah kembali. Mulut jadi tidak pahit lagi. Mual menghilang dengan sendirinya. Kopi dingin dengan lima es batu bisa kunikmati. Rasanya segar sekali. Kopi membuatku bahagia.
Aku memiringkan kepala, memperhatikan gerak-gerik Bayu yang aneh.
"Kapan kemonya?" tanya Bayu tanpa melihatku. Tangannya bergerak cepat menulis pesan. Mungkin ia sedang ada tenggat proyek. Ia selalu terlihat serius jika menyangkut masalah pekerjaan.
Belakangan ini Bayu lebih sering keluar rumah. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di lokasi proyek, mengejar tenggat pengerjaan renovasi yang sempat tertunda di awal pandemi.
Aku membuka jurnal. "Tiga hari lagi."
Bayu mengacak-acak rambutnya dengan panik. "Bagaimana ini?" katanya pada dirinya sendiri.
"Kamu ada kerjaan?"
Ia menoleh. "Aku harus keluar kota. Cuma dua hari. Tapi tanggalnya bertabrakan dengan jadwal kemo."
Punggungku menegak. Bagaimana pun aku tidak ingin menghalangi pekerjaannya. Bayu sudah bekerja keras. Selama beberapa bulan setelah status pandemi diumumkan secara resmi oleh pemerintah, semua pekerjaan dan proyek terpaksa dihentikan. Pekerja bangunan dipulangkan dan menganggur. Semua orang terpaksa bertahan hidup dari uang tabungan untuk sementara waktu.
Perekonomian memburuk dengan cepat. Banyak orang yang mengalami kesulitan finansial. Mereka bekerja serabutan demi mendapatkan uang untuk hidup sehari-hari. Bekerja pun harus kucing-kucingan dengan aparat karena waktu itu Pembatasan Sosial Berskala Besar sedang diterapkan di seluruh daerah.
Setelah sekitar setahun pandemi berjalan, peraturan mulai dilonggarkan seiring dengan vaksinasi masal yang dilakukan oleh pemerintah. Waktu itu karyawan, pekerja kantoran, sampai anak-anak sekolah diwajibkan vaksin sebagai syarat bekerja atau sekolah. Kegiatan kembali berjalan perlahan-lahan. Dan Bayu mulai mendapat telepon dari rekan-rekan kerjanya. Proyek renovasi dan pembangunan akan dimulai lagi.
Sejak itu, ia mulai sibuk. Komputernya menyala hampir sepanjang hari. Kadang ia bahkan baru tidur menjelang pagi.
Meski mulai disibukkan dengan pekerjaan, Bayu tidak pernah absen mengantarku ke rumah sakit. Ia memastikan aku sudah masuk ke kamar kemoterapi, baru kemudian berangkat bekerja. Bayu juga tidak pernah terlambat menjemputku setelah sesi kemoterapinya selesai.
Aku melipat tangan di meja, menatap layar laptopku yang perlahan menggelap.
"Aku bisa berangkat sendiri," kataku setelah beberapa saat.
Kepalanya menggeleng. "Tidak, tidak. Setiap selesai kemo, badanmu selalu lemah. Mana bisa pulang sendiri?"
"Aku naik taksi saja. Bisa kok."
Bayu mendesah.
"Aku sudah lima kali kemoterapi. Dan setiap kali kemo kamu selalu mengantar jemput. Mungkin sesi terakhir ini aku memang harus jalani sendiri," kataku sambil mengedipkan sebelah mata.
Ia mengembuskan napas keras-keras, lalu kembali ke ponselnya. "Kita lihat saja nanti," sahutnya.
...
Keajaiban itu ada. Dan malaikat hadir dalam wujud orang tua. Sehari sebelum jadwal kemoterapi terakhirku, keajaiban terjadi.
Bel rumah berbunyi. Aku tidak sedang menunggu siapa-siapa. Suara mesin mobil yang terdengar berhenti di depan pagar berbeda dengan suara mobil kami. Aku mengintip dari jendela dan seketika itu juga menghambur keluar ketika tahu siapa yang datang.
"Rantiii," seru Mama sambil melambaikan tangan.
Aku membuka pagar dan memeluknya erat-erat.
"Hei, Mama belum ganti baju."
"Tidak apa-apa," kataku sambil menangis.
Papa turun dari mobil dan aku ganti memeluknya. "Ranti, maaf kami datang mendadak. Tadinya Mamamu tidak yakin kita bisa sampai ke sini. Di jalan-jalan banyak sekali pos penjagaan darurat."
"Posnya ada, tapi petugasnya tidak," sahut Mama sambil tertawa.
Papa mengambil tas dari dalam mobil.
"Papa menyetir sendiri?" Aku menggelengkan kepala.
"Kalau kami naik bus, atau kereta api, bisa-bisa kena razia," jelasnya. "Naik kendaraan pribadi lebih aman. Seharusnya kami datang lebih awal."
"Kami sengaja tidak mengabari. Takutnya kami tidak sampai kemari. Bisa saja kami dicegat di tengah jalan dan langsung putar balik pulang."
"Yang penting Papa Mama sudah sampai," kataku, tersenyum lebar.