Kanker payudara tidak selalu terjadi karena faktor genetik. Mama menguatkan pernyataan itu. Begitu tahu aku memiliki benjolan di payudara, ia merunut setiap orang di dalam silsilah keluarganya. Tidak ada seorang pun yang mempunyai riwayat kanker. Begitu juga dari keluarga Papa. Aku resmi menjadi satu-satunya orang di dalam pohon keluarga yang mengidap kanker.
Ucapan-ucapan bernada prihatin dan 'semoga cepat sembuh' dari keluarga besar, berdatangan di awal diagnosisku. Semua terkejut. Karena pandemi sedang berlangsung, mereka hanya bisa mendoakanku dari jauh. Tapi aku tidak keberatan. Aku malah lebih senang menjalani semua proses pengobatanku sendirian.
Sebenarnya ada banyak faktor yang bisa menyebabkan kanker itu muncul. Dokter Saraswati pernah memberitahuku soal itu. Pola makan yang tidak terjaga, paparan asap rokok, menstruasi yang datang terlalu cepat, melahirkan di usia rawan, tidak pernah menyusui, atau pernah menjalani operasi operasi tumor jinak pada payudara.
Tapi tidak ada yang tahu pasti, faktor mana yang memicu kanker itu di dalam tubuhku. Bahkan dokter tidak bisa menjawabnya.
Dari hasil pemeriksaan jaringan payudara dan kelenjar darah beningku, kanker itu terjadi karena hormon estrogen di dalam tubuhku menggila.
Mastektomi di bulan November 2020 dan dilanjutkan dengan enam sesi kemoterapi di awal tahun 2021. Bulan September tahun 2021, warna kukuku sudah kembali normal. Tapi masih ada rasa sakit yang menetap di tubuhku. Aku masih bangun dengan nyeri di sekujur tubuh. Jari-jari tanganku masih kaku. Setiap kali aku mencoba menggerakkannya, aku menjerit kesakitan. Aku seolah terperangkap di dalam tubuh tua yang menderita radang sendi dan rematik menahun.
Karena tangan masih sulit mengepal sempurna, barang-barang kerap terlepas dari genggaman. Kekuatan tanganku jauh di bawah normal. Bahkan memukul nyamuk pun menjadi hal yang menantang karena aku selalu meleset. Meski kesal, aku tetap tertawa.
Menurut dokter Ali, rasa kaku itu berasal dari efek obat kemoterapi yang belum hilang sepenuhnya. Aku mengembuskan napas. Sesi kemoterapi itu sudah empat bulan lewat, sampai kapan rasa sakit itu akan menetap?
Mastektomi dan rangkaian sesi kemoterapi yang terjadi secara beruntun sudah mengubah hidup kami. Kanker sudah mengubah semuanya. Bahkan sakit yang kualami seolah ikut mengubah Bayu. Ia jadi seperti punya tanggung jawab lebih besar untuk menjagaku. Kadang Bayu tampak berlebihan dalam mengurusku. Tapi bukankah itu memang tugas seorang suami? Aku juga pasti melakukan hal yang sama seandainya Bayu sakit. Kepalaku menggeleng, berusaha menepis pikiran buruk itu. Semoga keluarga kecil kami dijauhkan dari segala macam penyakit, batinku.
Kadang pertanyaan muncul di dalam benakku: apa yang terjadi semisal aku tidak melakukan operasi itu? Bagaimana jika aku membiarkan benjolan itu dan tidak pergi ke dokter? Apa mungkin aku masih di sini?
"Berjanjilah padaku. Jika kanker itu kembali, jika semua pengobatan itu ternyata tidak berhasil, kuburkan aku di dalam liang yang sama dengan anak kita. Supaya ia tidak sendirian lagi," kataku di dalam perjalanan pulang.
Bayu membuang muka. Ia seolah enggan menanggapi permintaan itu.
"Aku tahu aku masih di sini sekarang. Tapi siapa yang bisa memprediksi masa depan?"
"Kau juga bukan Tuhan. Jadi sebaiknya kau berhenti meramalkan nasibmu."
Aku diam memangku tangan. Pertengkaran itu masih ada rupanya. Kukira setelah semua yang kami jalani berdua waktu itu, hubungan kami sudah membaik. Ternyata kami tidak pandai berpura-pura.
Ada masalah yang belum selesai. Tidak terlihat, tapi bisa dirasakan, membuatnya sulit untuk diabaikan.
Aku teringat pada nisan kecil di area pemakaman tempat anak kami bersemayam. Mataku melirik. Bayu masih cemberut. Bibirnya mengatup kuat. Harus ada yang memulai pembicaraan soal anak kami. Aku hanya tidak ingin menjadi yang pertama memulai.
...