Orang tua-orang tua zaman dahulu percaya bahwa ujian di dalam pernikahan datang setiap lima tahun. Semua itu bukan sekadar bualan, melainkan berdasarkan pengalaman hidup yang menempa mereka. Setelah kucermati, pernyataan itu ada benarnya juga. Aku dan Bayu kehilangan anak di tahun kelima pernikahan kami. Dan lima tahun setelah kejadian itu, kanker datang.
Operasi sudah kulakukan, kemoterapi sudah kujalani. Ujian itu seharusnya sudah selesai. Aku hanya perlu rutin minum obat dan kontrol sesuai jadwal. Semua kegiatan sudah kembali normal. Bayu sibuk dengan pekerjaannya, dan aku sudah mulai menulis lagi. Dalam hati aku berharap tidak ada kejadian buruk lain yang mungkin menimpaku di lima tahun ke depan.
Beberapa hari lalu, Mama dan Papa datang lagi mengunjungiku. Sayangnya, mereka tidak membawa berita baik.
Cucian sudah beres. Air menitik-nitik dari rak piring.
Aku melongok ke belakang. Papa sedang duduk di bangku yang biasa kupakai berjemur sambil merapikan tanaman di halaman belakang. Dua kucingku mengawasinya sambil berbaring di dekat kakinya. Rocky ada di bawah kursiku. Tubuhnya bergelung seperti bola. Sejak tadi posisi tidurnya belum berubah.
Mama menatapku sambil terus mengaduk kopinya.
"Teman Mama dulu juga pernah operasi mastektomi. Ia juga sudah kemoterapi. Tapi bulan lalu ia cerita kalau kankernya muncul lagi. Entah di mana salahnya." Sendok itu berhenti. Mama meletakkannya di samping cangkir. "Jangan sampai lupa minum obatmu," pesan Mama. Aku tercenung.
Aku masih rutin meminumnya. Dua butir obat mungil itu tidak mungkin lebih buruk daripada kemoterapi. Untuk seseorang yang sudah menghabiskan berkantong-kantong obat kemo, obat sekecil itu hanya memerlukan disiplin.
"Kapan waktunya ke dokter?"
Ketakutan itu memang ada. Apalagi belakangan ini aku merasa ada sensasi yang aneh di bekas luka operasiku. Menurut dokter Ali, sensasi itu cukup normal. Bekas luka sebesar itu pasti akan membutuhkan waktu untuk pulih. Sama seperti bekas operasi lainnya. Kadang timbul nyeri, gatal, atau semacamnya. Selama hasil kontrol baik, aku seharusnya tidak perlu cemas.
Ketika dokter Ali menganalogikan kanker seperti seekor harimau yang bersembunyi di dalam rimbun semak. Kurasa persamaan itu tidak keliru. Harimau itu mungkin saja masih berdiam di suatu tempat di dalam tubuhku. Asal aku tidak mengusiknya, ia tidak akan menerkamku.
Tapi sebenarnya apa yang membuat kanker muncul kembali? Mungkin saja ada sel-sel kanker yang tertinggal dan kebal dengan obat kemoterapi. Sel itu lalu tumbuh menjadi tumor baru. Atau bisa jadi sel yang tertinggal itu diam-diam diam-diam menyebar ke tempat lain dan berdiam di sana.
Aku mengembuskan napas. Pikiran-pikiran buruk seperti inilah yang membuatku merasa seperti berjalan di tempat. Kenapa aku belum merasa menang? Mungkinkah kanker akan menjegal langkahku sekali lagi?
...
Sekitar satu bulan setelah menjenguk Bu Yuni, ketika aku baru pulang dari rumah sakit untuk kontrol rutin, aku mendengar kabar kalau kondisinya menurun dengan cepat. Ia bahkan tidak bisa lagi berjalan. Tubuhnya tinggal tulang dibalut kulit. Aku dan beberapa tetangga lainnya mendatangi rumahnya. Namun tidak banyak yang bisa kami lakukan. Bahkan suaminya pun angkat tangan. Bu Yuni tetap menolak pergi ke rumah sakit. Tangan kurusnya terangkat dan memberi isyarat penolakan. Ia tidak bisa berbicara lagi. Kanker seolah mengunci lidahnya.
Aku pulang dengan langkah gontai.
Bayu menemukanku termenung di kamar. Tiga kucingku menemaniku melamun.
"Bagaimana kondisinya?" tanya Bayu hati-hati. Ia tampak tidak nyaman membicarakan soal Bu Yuni denganku. Mungkin ia takut jika aku ikut patah semangat.
Kepalaku menggeleng lemah. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Di satu sisi aku ingin membantunya, tapi di sisi lain aku kadang merasa takut. Bagaimana jika suatu hari nanti aku akan bernasib sama dengannya?"