Scenario

Auli Inara
Chapter #2

Chapter 2

Tunggu seperti yang kalian duga, aku awalnya juga menduga itu dia. Tapi lupakan itu, aku tidak bisa terlanjur geer duluan. Dua menit berlalu aku pun membalas pesan itu.

Oke

Belum selesai aku mengetik untuk menanyakan namanya, dia mengirimi pesan lebih dulu.

Emang tahu??

Tapi, kamu siapa ya? Gak ada namanya soalnya

Gak tahu

Aku Angel

Serius lah

Mau disimpan gak kontaknya?

Awalnya terdengar omong kosong, tapi aku berpikir ulang. Apa memang ada anggota kelas yang namanya Angel?

“Emm... di kelas kita ada yang namanya Angel ya?” tanyaku pada Kak Dara dan Kasih yang sedang bersamaku berjalan menuju kantin seusai dari mesjid kampus.

“Ada kalau gak salah,” celetuk Kak Dara bersemangat. “Eh, ada ya? Iya ada kalau gak salah!” Kak Dara mulai terlihat ragu.

“Serius ada?” tanyaku memastikan.

“Mungkin.” Kasih pun terlihat tidak terlalu yakin.

“Iya iya ada yang namanya Angel, perempuan....” Aku tidak mendengar ucapan Kak Dara lagi dan segera mengirim pesan selanjutnya.

Sorry, namanya emang Angel ya?

Aku lupa soalnya

Beberapa menit berlalu, dia tidak membaca dan membalas pesanku. Sedangkan aku juga tidak terlalu peduli akan hal itu. Sesampainya di kantin, ternyata para cowok dari kelasku juga berkumpul di sana bersama teman-teman satu jurusan lainnya. Dan cowok yang kunotice tidak ada di sana. Masih bersikap biasa saja, aku hanya membeli beberapa cemilan sebagai pengganti makan siangku, Kasih dan Kak Dara pun sama. Sedang asiknya ngemil, seseorang datang dengan motornya, yang kemudian di parkir sembarangan―berhubung kantin ini tidak di dalam gedung kampus. Dia cowok yang kunotice, akkh... aku sedikit kesal karena tidak ingat namanya.

Dia mendekati kami―mungkin lebih tepatnya mendekati teman-temannya. Tapi setelah mengecek ponselnya saat mengambil air mineral dari kulkas dia memanggilku.

“Oli! Aku Angel!” lirihnya.

“Oh jadi ini kamu?” Sudah kuduga....

“Save yak disave!”

“Udah disave kok!”

Benar, nomornya sudahku save dengan nama Angel. Dan takkan aku rubah meski aku sudah tahu kalau itu dia, kerena aku tidak mengingat namanya.

Seminar fakultas akan diadakan di aula besok, yang lain sibuk membahasnya di grup chat. Aku hanya mengamatinya tidak ikut terlibat dalam chat-chat yang menurutku kurang penting. Info soal seminar ini begitu mendadak untukku, karena seolah hanya aku yang baru mengetahui akan ada seminar besok pagi. Aku merasa seperti sebegitu tidak pedulinya kah aku dengan kuliahku ini. Jantungku gugup tak menentu. Seberat ini kah rasanya harus ikut serta dalam proses perkuliahan dengan hati yang terpaksa? Melihat antusiasme teman-teman di grup chat membuatku semakin menciut. 

Tapi bukan itu intinya, kalian tentunya menunggu adegan inti dari pembukaanku tadi. Ya... siapa yang peduli dengan isi hati kecilku yang begitu sengsara ini. Karena dia juga ikut nimbrung dalam puluhan chat lainnya. Aku terus saja memantau, berharap ada salah satu chat dari cewek kebelet pacaran yang menyebutkan namanya. Tapi nihil, aku masih saja tidak tahu namanya. Beri aku ide untuk menanyakannya langsung padanya? Yang benar saja, aku hanya akan memperlihatkan sisi jelekku, dan lagi bagaimana kalau dia tersinggung karena aku melupakan namanya? Menanyakannya pada Kak Dara ataupun Kasih juga percuma, pertanyaanku itu justru akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan aneh lainnya dari mereka.

“Akh.... Nama dia siapa sih?” Aku menoleh ke belakang, memastikan apakah teriakan kecilku tadi didengar atau tidak oleh kakak seniorku di kost. Tidak, syukur lah. Jangan heran bila kalian melihatku tiba-tiba berteriak sendiri, itu menandakan bahwa aku masih hidup.

Pukul sembilan pagi, seminar diadakan. Aku siap mengambil peran!

***

Aku memasuki aula besar tempat seminar mulai dilangsungkan. Buru-buru aku mengambil langkah menyusul Kak Dara di depanku, tapi Kasih lebih santai lagi dia hanya berdiri diam setelah melewati pintu masuk beberapa langkah. Dengan cepat aku langsung mengisi buku kehadiran dalam seminar, dan berebut snack sebelum kehabisan. Memang itu lah tujuanku datang ke seminar ini.

Tapi kursi di ruang utama telah penuh, terpaksa kami disuruh mengangkat kursi masing-masing menaiki tangga ke lantai dua. Kasih menyodorkan sebuah kursi padaku, aku coba mengangkatnya, di luar dugaan kursi ini ternyata berat. Aku lantas menyeretnya lebih mendekat dengan tangga.

Lihat selengkapnya