Beri tahu padaku yang tidak terlalu pintar ini, skenario seniman mana yang paling berkesan? Cinderella oleh Giambattista Basile? Romeo dan Juliet oleh William Shakespeare? Atau Cleopatra masih dengan penulis yang sama―yaitu William Shakespeare? Atau mungkin, Dilan dan Milea oleh Pidi Baiq? Sebutlah itu kisahku, skenario yang langsung ditulis oleh tuhan. Seniman yang paling seniman.
Aku awalnya hendak melarikan diri saja, berjalan tanpa ketahuan menuju aula lagi. Namun urung, aku tidak mungkin meninggalkannya begitu saja. Dan alhasil, aku mengikutinya keluar dari klinik setelah diobati.
“Kamu mau ke mana?” Dia bertanya tiba-tiba.
“Emm.... Balik ke aula lagi deh kayaknya.”
“Ya udah sekalian aku mau lihat motorku tadi.”
Mulutku sungguh hendak mengucapkan berbagai alasan agar tidak ke sana bersama. Namun aku tak dapat memilah alasan macam apa yang pantas aku sampaikan di situasi ini. Akhirnya aku hanya menurutinya.
Kami hanya berjalan bersisian, dia pun tidak bicara sama sekali. Tak masalah, aku juga merasa lebih nyaman begitu. Langkah demi langkah. Waktu terasa berjalan sangat lambat dan cepat. Tak kuasa aku menahan malu akibat kejadian tadi, namun tak terasa kami telah sampai saja di depan aula. Kami mengambil arah yang berbeda. Aku bergegas masuk lagi ke dalam aula, sedangkan dia tetap berjalan lurus menuju motornya yang terparkir tidak jauh dari tempatnya jatuh tadi. Itu semua berlalu begitu saja. Dan aku masih saja tidak ingat namanya!!
***
Move on soal namanya yang tidak kuingat. Ketika sesi perkenalan lagi dengan dosen yang baru pertama kali masuk. Aku memperhatikan dengan betul namanya yang disebutkannya.
Dio.
Itu lah namanya, bila pendengaranku tidak salah. Aku lantas mencocokkan namanya di dalam absen yang dioper ke masing-masing orang untuk ditanda tangani. Benar saja, pendengaranku salah―tidak ada nama Dio di sini. Yang ada hanyalah Gio, Gio Mahesa Adiputra. Itu lah namanya yang sebenarnya.
Aku langsung mengambil ponselku dan merubah nama Angel menjadi Gio, jaga-jaga bila aku lupa lagi dengan namanya―meski Gio adalah nama yang mudah diingat.
Setelah kelas usai, aku membereskan buku dan alat tulisku bersama yang lain hendak pindah kelas. Karena kelas selanjutnya hanya berselang lima menit setelah berakhirnya kelas ini. setelah menunggu beberapa waktu, dosen tak kunjung masuk. Semangatku yang kecil menciut lagi. Aku berakhir termenung di bangku baris paling terakhir di kelas sembari mengotak-atik ponsel. Bahkan ketika ada yang tiba-tiba bersua bahwa dosen tidak masuk dan kami pulang saja, aku bergegas membakul tasku. Begitu pula ketika ada yang berkata lebih baik menunggu saja, aku kembali ke bangku ku dengan santainya dan kembali memainkan ponselku―meski hanya scroll-scroll tidak jelas.
Dan tanpa aku sadari, ada seseorang yang ternyata memperhatikan tingkah laku-ku itu.
Gio berjalan mendekat, kupikir hanya lewat sesaat tetapi dia mendekatiku. “Hei Buk!” Dia menoel belakang bahuku.
Aku menoleh padanya yang duduk sembarangan di bangku di belakangku. Memandangnya datar tanpa menyahut. Namun jari-jemariku terus menutar-mutar ponsel di genggamanku.
“Saya perhatikan anda santuy sekali ya!”
Aku bingung hendak menjawab apa, dan jemariku semakin cepat memutar ponsel. Aku marasa ada yang tak beres denganku, aku lantas melempar ponselku begitu saja dari genggaman.
“Dari tadi duduk, berdiri, terus duduk lagi. Santai sekali anda!”
Memang begitu ya? Ini anak mulai sok asik.
“Oh ya, aku mau bilang sesuatu sama kamu tapi rahasia!”
“Apa?”
“Jadi aku sebenarnya sama si Nusa lagi ngerebutin kamu!”
“Apa??” Aku memutar badan menghadapnya.
“Jadi pliss aku minta sama kamu buat jadiin aku pemenangnya!”
“Apa? Seriusan?”
Mustahil! Siapa aku memangnya direbutkan oleh dua orang cowok dari enam populasi pria di kelas ini diantara dua puluhan wanita lain yang tak kalah cantiknya. Dia bercanda! Sejak awal memenangkan satu hati pria dari banyaknya perempuan cantik di sini adalah hal yang tak dapat aku bayangkan.
“Iya, husst. Jangan bilang siapa-siapa ya! Nanti kita bahas lagi!” Dia lantas pergi.
Aku mendengus paksa. Apa-apaan tadi itu?
Demi apa, ucapannya tadi membuatku tak henti memperhatikannya. Ini sama saja halnya dengan Kana yang dulu sewaktu SMA pernah mengatakan bahwa dia naksir padaku tetapi tak kunjung nembak. Yang pada akhirnya justru aku lah yang jadi berharap padanya. Bagaimana tidak, Kana adalah murid paling pintar dan dia tak kalah tampan dan alimnya dari cowok-cowok lainnya di kelas. Dia sering menggodaku, meski aku tahu itu hanya becanda. Dan itu sangat menjengkelkan. Dan jangan harap aku akan merasakan hal yang sama, karena selama ini juga hatiku masih hanya untuk satu orang itu.
Aku menelungkup di atas kasur, sedang menonton drama korea sambil senyum-senyum sendiri. Kalian yang juga penggemar drakor pasti paham maksudku. Adegan di mana si dokter menyatakan pada wanitanya bahwa wanita itu membuat jantungnya berdebar kencang, yang membuat si wanita berlari terburu-buru karena malu. Ayo lah mengapa hidupku tidak seindah itu!! Huhu....