Aku pernah menonton film COCO. Musical animasi ini menghadirkan cerita yang begitu menguji akal sehat. Pikirkan lah bagaimana tengkorak dapat bergerak dan berjalan tanpa otot yang melekat, tanpa sendi yang menghubungkan, tanpa lambung saat makan, tanpa hidung saat bernapas, atau yang paling mudah dicerna―berpikir tanpa otak.
Aku tidak akan mempromosikan film di sini. Namun ada satu hal yang menarik dari film itu. Terdapat motto yang begitu melekat yaitu: SEIZE YOUR MOMENT. Karena aku sungguh ingin menerapkannya hari ini. Aku menunggu-nunggu saat yang tepat agar dapat bicara dengan pria yang cengengesan di dekat pintu sana.
Aku mendengus. Ingin dilihat bagaimana pun, anak itu seharusnya masih masuk ruang bermain anak-anak saat di puskesmas. Masih perlu diimunisasi. Aku curiga dia belum disunat. Tapi meski begitu, dia terlihat jauh lebih baik dibanding aku yang hanya duduk diam di bangku baris paling belakang. Aku tahu, yang lain pasti sedikit aneh melihatku yang begitu pendiam ini. Aku hanya... hanya nyaman begini.
Sepertinya memang tidak datang waktuku untuk dapat bicara padanya hari ini. Memang siapa sih gadis pendiam ini bisa-bisanya berniat bicara pada cowok paling tampan di kelas ini. Paling tampan dari lima cowok lainnya di kelas. Tapi sebenarnya dia cowok paling tampan satu jurusan angkatan tahun ini―karena aku tidak memperhatikan bagaimana rupa setiap cowok di jurusan ini. Namun dia cukup menocolok, mungkin karena itu aku menotice-nya.
Aku mulai gerah dengan kebisingan yang ditimbulkan kelas ini. Kak Dara dan Kasih juga sibuk sendiri dengan ponsel mereka masing-masing. Aku merogoh tasku, mengeluarkan handset, mencolokkannya ke handphone, dan memutar lagu kesukaanku. Ini cukup membantu menenangkan otakku yang tegang karena terlalu banyak berpikir. Aku merebahkan kepala di atas meja beralaskan kamus tebal. Dan menutup mataku.
“Dengerin apa?” Seseorang berbisik di telingaku.
Aku sontak bangun setelah dia menarik sebelah handset di telingaku. Gio menghadap tepat di wajahku. Aku mengerjab karena kaget.
Dia seperti menahan tawa, “keluar yuk, aku mau ngomong.”
“Di sini aja.”
“Gak ah, ntar yang ada kamu diam-diam aja.”
“Aku diam bukan berarti gak bisa ngomong!”
“Udah keluar aja, nanti aku dibilang kegatelan lagi.”
“Emang gatel!”
“Kamp*et lu!”
“Pig!”
“Lu bilang gua apa?”
“Emang gua bilang apa?”
“Pig itu babi loh.”
“Oh ya, baru tahu gua.” Aku menahan tawa.
“Udah lah keluar!”
Aku berjalan duluan di depannya. Dia menjaga jarak, aku sempat menunggnya di depan kelas. Pastinya bibirku sudah mayun ke depan karena kesal. Dia niat ngomong sama gua gak sih? Setelah muncul, dia menyuruhku mengikutinya menjauh sedikit dari kelas.
“Soal yang gua bilang kemarin, gua gak serius.”
“Maksud lu?” Dia membuatku kaget lagi.
“Gua mau jadi temen lu!”
“Haah.... Maksud lu gimana sih?”
“Lu tahu, sejak awal gua tahu ada yang beda sama lu. Lu mirip teman gua.”
“Teman?”
“Iya lu mirip teman gua. Ada sesuatu yang lu senbunyiin. Ada apa sama lu?”