Jam sudah menunjukkan pukul 20:30, sedari tadi dia hanya membawaku memutar-mutar tidak jelas, tanpa tujuan.
“Kita mau ke mana sih?” Dengan lirih kubertanya.
“Cari tempat nongkrong kan.”
“Iya, di mana?”
“Ada café dekat sini gak?”
How can I know that? Gua orang baru di sini! “Yaa gak tahu.” Aku sungguh sopan sekali.
“Di mana yak. Mau makan gak?”
“Aku udah makan tadi.”
“Kok udah makan si?”
“Yaa aku laper aku makan lah!”
“Eh Ol, lu pikir gua gak laper apa?”
“Ya kan lu yang tiba-tiba ngajak keluar! Kalau mau makan ya udah makan aja. Tuh ada rumah makan padang tuh!”
“Terus gua makan sendiri gitu? Gak mau gua.”
“Lu ribet banget si ah.”
“Ya karena lu udah makan!”
Demi apa, dia membuatku geleng-geleng kepala lagi. “Ya udah gini aja, kamu kalau mau makan gak apa-apa aku temenin.”
“Kamu makan juga?”
“Ya enggak, masih kenyang aku.”
“Ya udah cari tempat nongkrong aja dah.”
Tanganku sudah mengepal hendak memukul kepalanya. Malam ini sungguh berangin, sudah hampir setengah jam kami berputar-putar di jalan. Aku mulai kedinginan di atas motornya. Tidak ambil pusing, aku mengalihkan perhatian pada langit malam. Tiap malam menjelang, bulan akan selalu tampak sama―namun yang berbeda saat ini adalah di mana aku berada. Tempat ini, sedikitpun tidak sama dengan tempat asalku. Kau dapat melihat ratusan bintang bertebaran sejauh mata memandang, bulan tampak bersinar terang meski sesekali ditutupi awan tebal hingga hujan turun dengan derasnya―menyapa aliran air sungai. Menghasilkan riak yang mengaburkan bayangan wajah basahku di bawah sinar lampu neon pinggir sungai. Dan yah, mengapa pula aku hujan-hujanan saat malam hari.
Sebuah bus penjual canai dan minuman berbagai varian terparkir anggun di pinggir jalan, dengan tiga buah bangku tersusun rapi di depannya yang masih kosong tanpa pengunjung. Kami berakhir singgah di sana. Di bangku yang telah kududuki, aku memeriksa menu. Tanpa selera sama sekali, aku menyerahkan menu pada Gio―bingung hendak memakan apa, karena aku sudah kenyang sekali. Gio sama saja, dia mengembalikan menu padaku tanpa memilih satu makanan pun.
“Pesan apa dong?”
“Terserah kamu, kan kamu yang traktir.”
Aku mengangkat kepala dari daftar menu, melirih wajahnya yang cengengesan. “Kok jadi aku sih, patungan setengah-setengah.”
“Eh Ol, yang mau makan siapa?”
“Kan kamu!”
“Kan kamu juga!”
“Terus?”