“Apanya?”
“Kamu kenapa?” Pertanyaan semakin lembut tapi menghujam.
“Kenapa apanya?” Intonasi suaraku meninggi.
“Aku tahu ada sesuatu dari kamu!”
Aku hanya balas menyipitkan mata, meminta penjelasan lebih.
“Waktu perkenalan kelas, kamu keliatan pede di depan kelas tapi setelah kamu balik lagi ke belakang kamu tiba-tiba jadi pendiam, kamu gak bersuara lagi.”
Seperti yang kuduga sebelumnya, sejak saat itu dia terus memperhatikanku. “Emang aku harus ngomong terus gitu? Gak ada yang mau diomongin juga!” Ngeles adalah ciri khasku.
“Bukan begitu. Ada sesuatu dari kamu. Sesuatu yang kamu coba lupain mungkin? Sesuatu yang berusaha kamu tinggalin? Atau kamu sedang melarikan diri dari itu?”
Aku tertegun sejenak.
“Maksud kamu apa sih? Kenapa jadi bahas itu?” lirihku.
“Hey aku Angel! Aku ada untuk bantu kamu! Aku ngerti kamu sudah melalui hari-hari yang sulit.”
Kesedihan itu menghampiriku lagi, kini mulai terasa lagi. Meski kumenangis terisak sekali pun di hadapan wali kelasku yang begitu dekat denganku ketika kelas sebelas dulu, dia tak mengerti sama sekali. Bagaimana mungkin, orang yang baru beberapa hari yang lalu kukenal dapat melihat itu? Bagaimana dia bisa tahu? Dan....
“Kenapa kamu peduli?” Aku menunduk, tak ingin kulihat wajahnya. Dia lah yang terlihat berbeda, tak seperti Gio yang kulihat beberapa menit yang lalu.
“Raina mirip sama kamu!”
“Siapa Raina?” Tatapanku menghujamnya.
“Dia sahabat aku, dia sama seperti kamu.”
“Apanya yang sama?”
“Ini dia!” Gio menunjukkan foto Raina di handphonenya.
Gadis itu seusia dengan kami, perawakannya lebih kurang dengan Gio, dia sedikit gemuk dan cantik. Raina memasang wajah serius di foto itu meski Gio di sampingnya senyum cengengesan. Mereka tampak cukup cocok di foto itu.
“Dia orang yang paling dekat sama aku, dia tahu semua tentang aku.”
Aku diam tak mengubrisnya.
“Nangis aja!”
“Kha ngapain aku nangis!” Aku berusaha tetap terlihat santai.
“Ceritain aja semua, mau nangis juga boleh! Haha Raina nangis banjir pas cerita ke aku.”
Aku balas tersenyum tipis, sangat tipis. Kepalaku kembali menunduk, memandang kakiku―aku mengenakan sendal yang bagus untuk malam ini. Pikiranku kosong sedangkan rasa sedih itu telah memelukku. Aku menghela nafas berat, hal yang selalu kulakukan bila sesuatu terasa sulit. Mencoba tak mengubris rasa sedih, aku mengangkat kepalaku mengalihkan pandangan pada toko yang sudah tutup di seberang jalan sana. Memeriksa jam, masih jam sembilan malam belum terlalu larut. Paman pemilik kedai, membawakan pesanan kami, aku pun langsung menyesap minumanku.
“Makan?” Gio menawariku.
“Duluan aja!”
Gio mendekatkan piring canai ini padaku, memberiku kode untuk menyicipinya lebih dulu. Tanpa banyak bicara aku lalu mencobanya. Standar, rasanya tak jauh beda dari canai-canai kedai lain yang pernah kucoba.
Gio menyusul coba mencicipi juga. Santai sekali dia makan, tapi dia juga tampak kelaparan. Dia seg/era mengambil sendok lagi setelah sebelumnya melemparnya begitu saja di atas piring, dia terus menyantapnya meski sesekali menawariku dan aku menolak. Aku tak banyak bicara lagi hanya sibuk dengan handphoneku membalasi chat dari sahabatku Maira. Mai lah orang yang paling mengenal aku. Dia tahu semua tentangku, dan sebaliknya aku pun begitu. Aku paling terbuka padanya, meski sesekali aku merasa tak perlu lagi menceritakan tentang isi hatiku padanya. Terkadang aku tak mempercayainya, meski begitu dia sahabatku, dia orang yang paling setia padaku.
Mai tahu soal keadaanku. Namun dia hanya dapat memberikan saran sekedarnya. Itu tidak membantu, tapi cukup menyadari keberadaannya yang selalu di sisiku membuatku cukup tabah. Mengetahui kami akan terpisah cukup jauh dan akan jarang bertemu, aku menghabiskan banyak waktu bersenang-senang bersamanya saat tahun terakhir di SMA. Di saat bersamanya itu lah dapat kuhabiskan waktu dengan banyak tertawa, meski bila tiba waktu kusendiri aku kembali menangis di dalam kamar.
Sadar aku menjadi lebih diam dan tampak tak ingin bercerita, Gio bersua.